Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Pengalaman Menjadi Nasabah Jiwasraya

17 Januari 2020   10:39 Diperbarui: 17 Januari 2020   12:09 1268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Jiwasraya (KONTAN/Cheppy A. Muchlis)

Jauh sebelum hiruk-pikuk Jiwasraya yang baru terungkap sekarang ini, saya pernah menjadi nasabahnya, sekitar 18 tahun lalu, ketika anak pertama baru saja lahir.

Kebetulan waktu itu saya bekerja di Pemda dan ada sales asuransi Jiwasraya yang menawarkan asuransi pendidikan untuk anak.

Preminya lumayan murah (waktu itu), hanya Rp 52,5 ribu per bulan, atau Rp 625 ribu per tahun selama 12 tahun. Bayarnya bisa bulanan, triwulanan, atau setahun sekaligus dan besarannya flat.

Dari premi tersebut nanti bisa dicairkan 10 persen ketika anak masuk SD atau setelah 5 tahun ikut asuransi, lalu 20 persen ketika masuk SMP, dan 30 persen saat masuk SMA. Sisanya nanti dikembalikan dalam bentuk uang bulanan selama kuliah sebesar Rp 50 ribu per bulan selama 5 tahun.

Jadi anggap saja menabung di asuransi karena bila tidak terjadi apa-apa uang kembali 100 persen. Nilai pertanggungannya dua kali lipat dari nilai premi total yang dibayarkan, atau sekitar Rp 15 juta. Tentu ini menggiurkan karena kita tidak rugi, bahkan boleh dibilang untung kalau terjadi apa-apa.

Setelah resmi menjadi nasabah, sang sales tiap bulan rajin menagih ke kantor kami, karena ada beberapa teman juga yang ikutan. Lama kelamaan karena merasa tidak enak ditagih tiap bulan, lagipula kasihan juga melihat salesnya yang sudah cukup berumur, saya putuskan untuk ditagih sekaligus saja setahun penuh. 

Memang agak berat waktu itu, tapi daripada beliau harus menelepon atau sms saya bila sudah jatuh tempo sementara saya tidak di kantor, lebih baik dirapel saja. Waktu itu belum ada WA atau messenger, jadi lumayan juga biaya sekali telpon atau SMS saat menagih tiap bulannya.

Ternyata walau dirapel tetap saja saya sering telat bayar. Salesnya sampai datang ke rumah untuk mengejar tagihan premi dan alhamdulillah kebetulan masih ada uang tunai di rumah sehingga tak perlu bolak balik menagih premi. 

Seiring waktu saya pindah ke instansi pusat, jadi sales tersebut agak kesulitan menagih di kantor, sehingga menitipkan nomor rekening Jiwasraya untuk dibayar langsung lalu dikonfirmasi lewat SMS atau telpon. 

Dua tahun berjalan, saya pindah rumah dari Bekasi ke Ciledug. Kebetulan pas waktunya untuk menagih jatah yang 20 persen itu.

Ternyata, urusannya tidak mudah, dan saya harus bolak-balik menyetorkan sertifikat premi untuk diproses di Bekasi, lalu satu minggu kemudian baru bisa diambil uangnya karena harus dilaporkan dulu ke kantor cabangnya, di Cirebon. 

Setelah itu saya juga sering telat bayar premi hingga lewat jatuh tempo, jadi harus bayar denda dan diurus langsung ke kantor Jiwasraya di Bekasi, tidak bisa di kantor terdekat dengan tempat kerja sekarang.

Karena malas bolak-balik, tiga tahun kemudian saat menagih yang 30 persen saya putuskan untuk menutup premi, dan uang pun dikembalikan penuh. Sisanya setelah dipotong nilai premi yang belum dibayarkan.

Kalau dihitung-hitung sebenarnya tidak rugi-rugi amat, karena dipotongnya tidak sampai Rp 300 ribu. Anggap saja uang administrasi selama menabung, daripada terpakai tak jelas, minimal pas butuh biaya anak sekolah ada sedikit tambahan.

Memang, sih, kalau dilihat dari inflasi ya tidak untung juga, tapi daripada ditabung konvensional yang gampang tergoda untuk diambil setiap saat, mending dijadikan premi asuransi saja.

Berbeda dengan marketing asuransi lain yang tampil kinyis-kinyis dan serius, sales Jiwasraya waktu itu malah orang tua yang sekilas tidak menarik untuk dilihat. Mungkin karena kasihan saja melihat beliau yang gigih mencari nasabah akhirnya banyak yang tertarik untuk menjadi kliennya.

Lagipula preminya flat sehingga dapat dipastikan tunggakan setiap bulannya dan nilainyapun lebih kompetitif dan terjangkau oleh pegawai negeri yang gajinya pas-pasan, pas butuh pas ada. 

Uang yang ditabungpun relatif utuh nilainya, walaupun kalau diperhitungkan dengan inflasi tentu bisa dibilang rugi, tapi wajar saja wong tagihannya juga flat.

Cuma waktu itu prosedur pengambilan jatahnya masih konvensional sehingga harus datang langsung ke Bekasi yang cukup jauh dari kantor.

Walaupun uangnya bisa ditransfer dan tak perlu balik lagi, tapi tetap saja butuh setengah hari bolos untuk mengurus administrasinya. Namanya juga BUMN, cara kerjanya mirip dengan birokrasi yang sangat prosedural dan lamban.

Apalagi kantor di Bekasi adalah anak cabang dari kantor cabang Cirebon, jadi harus dibawa dulu dokumennya untuk diverifikasi di sana walaupun yang mengurus mereka sendiri. Entahlah sekarang apa masih seperti itu atau semuanya sudah diproses secar digital.

* * * *

Dibanding asuransi swasta yang lain, Jiwasraya memang lebih menarik bagi para pegawai negeri yang penghasilannya jauh di bawah pegawai swasta. Besaran preminya jauh di bawah asuransi swasta.

Tentu dengan nilai pertanggungan yang kecil pula. Namun potongan administrasinya tidak sebesar di asuransi swasta sehingga terjangkau oleh pegawai yang digaji di bawah atau sama dengan UMR.

Amat disayangkan bila ternyata Jiwasraya terjerembab dalam kasus yang melibatkan nilai triliunan rupiah. Kasihan para pegawai kecil yang preminya ditangguhkan akibat kasus tersebut.

Mereka bukan nasabah kaya yang mungkin tidak terlalu peduli kehilangan uang puluhan juta rupiah. Nilai jutaan rupiah tentu sangat berharga bagi pegawai negeri atau pegawai rendahan lainnya yang menjadi nasabah Jiwasraya.

Saya tak tahu lagi nasib teman-teman yang pernah menjadi nasabahnya, apakah masih tetap berlanjut atau berhenti di tengah jalan.

Kalau lancar, seharusnya saya dan teman-teman sudah selesai membayar premi tahun lalu dan tinggal menikmati sisa uang Rp 50 ribu per bulan hingga tiga tahun ke depan.

Entahlah ke mana sisa uang tersebut, bila memang benar-benar ditangguhkan pembayaran manfaat preminya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun