Jauh sebelum hiruk-pikuk Jiwasraya yang baru terungkap sekarang ini, saya pernah menjadi nasabahnya, sekitar 18 tahun lalu, ketika anak pertama baru saja lahir.
Kebetulan waktu itu saya bekerja di Pemda dan ada sales asuransi Jiwasraya yang menawarkan asuransi pendidikan untuk anak.
Preminya lumayan murah (waktu itu), hanya Rp 52,5 ribu per bulan, atau Rp 625 ribu per tahun selama 12 tahun. Bayarnya bisa bulanan, triwulanan, atau setahun sekaligus dan besarannya flat.
Dari premi tersebut nanti bisa dicairkan 10 persen ketika anak masuk SD atau setelah 5 tahun ikut asuransi, lalu 20 persen ketika masuk SMP, dan 30 persen saat masuk SMA. Sisanya nanti dikembalikan dalam bentuk uang bulanan selama kuliah sebesar Rp 50 ribu per bulan selama 5 tahun.
Jadi anggap saja menabung di asuransi karena bila tidak terjadi apa-apa uang kembali 100 persen. Nilai pertanggungannya dua kali lipat dari nilai premi total yang dibayarkan, atau sekitar Rp 15 juta. Tentu ini menggiurkan karena kita tidak rugi, bahkan boleh dibilang untung kalau terjadi apa-apa.
Setelah resmi menjadi nasabah, sang sales tiap bulan rajin menagih ke kantor kami, karena ada beberapa teman juga yang ikutan. Lama kelamaan karena merasa tidak enak ditagih tiap bulan, lagipula kasihan juga melihat salesnya yang sudah cukup berumur, saya putuskan untuk ditagih sekaligus saja setahun penuh.Â
Memang agak berat waktu itu, tapi daripada beliau harus menelepon atau sms saya bila sudah jatuh tempo sementara saya tidak di kantor, lebih baik dirapel saja. Waktu itu belum ada WA atau messenger, jadi lumayan juga biaya sekali telpon atau SMS saat menagih tiap bulannya.
Ternyata walau dirapel tetap saja saya sering telat bayar. Salesnya sampai datang ke rumah untuk mengejar tagihan premi dan alhamdulillah kebetulan masih ada uang tunai di rumah sehingga tak perlu bolak balik menagih premi.Â
Seiring waktu saya pindah ke instansi pusat, jadi sales tersebut agak kesulitan menagih di kantor, sehingga menitipkan nomor rekening Jiwasraya untuk dibayar langsung lalu dikonfirmasi lewat SMS atau telpon.Â
Dua tahun berjalan, saya pindah rumah dari Bekasi ke Ciledug. Kebetulan pas waktunya untuk menagih jatah yang 20 persen itu.
Ternyata, urusannya tidak mudah, dan saya harus bolak-balik menyetorkan sertifikat premi untuk diproses di Bekasi, lalu satu minggu kemudian baru bisa diambil uangnya karena harus dilaporkan dulu ke kantor cabangnya, di Cirebon.Â