Setelah lama tak menginjakkan kaki lagi di Indonesia Timur, kali ini saya berkesempatan kembali ke ujung timur selatan Papua. Masih ingat lagu Dari Sabang Sampai Merauke? Itulah tujuan saya kali ini, menapaki jejak langkah menjelang penghujung akhir tahun ini.Â
Seperti biasa, saya selalu berusaha menemukan tempat-tempat unik saat bertugas luar kota apalagi menyeberang pulau.
"Mau tempat antik di sini pak?" supir yang mengantar memancing rasa penasaran saya.
"Apa tuh?"
"Belum pernah lihat kan ada makam warna warni?"
"Setahu saya sih kampung warna warni, kalau makam ya jelas belum pak."
Melihat saya penasaran, supir langsung tancap gas menuju lokasi. Kebetulah tempatnya tepat berada di depan kantor yang akan saya kunjungi, jadi tak perlu repot-repot menyiapkan waktu khusus.
Dari pinggir jalan tak tampak kalau tempat itu dulunya sebuah makam. Di depan pintu tertulis "Omen Garden" sebagai penanda taman. Entah apa maksudnya dinamai Omen, mungkin supaya orang ingat ada makam di situ.Â
Masuk ke dalam, tampak beberapa makam masih utuh, sementara makam lainnya tampak sudah tidak beraturan lagi bentuknya. Ada reruntuhan pusara yang tergeletak begitu saja, ada pula makam-makam kecil tersebar di antara tanaman.
Rupanya makam tersebut baru saja dicat tahun 2017 karena selama ini tidak ada yang mengurus sehingga tampak kumuh. Kadang orang buang sampah sembarangan dan kalau malam terlihat angket karena gelap.Â
Pak Bupati Merauke suka keindahan dan ingin meniru kota-kota lain dalam menata taman kota sehingga memerintahkan Dinas Pemakaman dan Pertamanan untuk menata makam tersebut.
Walau tampak sepi di hari-hari biasa, ternyata saat menjelang Natal setiap tahunnya selalu ada orang bule berziarah ke tempat tersebut. Sepertinya mereka adalah keluarga penghuni makam yang masih ingat bahwa ada anggota keluarga mereka yang dimakamkan jauh dari tanah leluhurnya.Â
Hebat juga kesetiaan mereka, rela jauh-jauh datang dari Belanda hanya untuk berziarah setiap tahunnya sekaligus bernostalgia masa lalu saat bertugas di Merauke.
Ada hal lain yang cukup mengagetkan juga, ternyata di Merauke dulu pernah ada jalur trem karena kantor yang sekarang dipakai dinas merupakan bekas stasiun. Sayangnya tidak tampak lagi bekas-bekas relnya, hanya bangunannya saja yang masih tersisa.Â
Informasi mengenai kereta maupun makampun tak jelas karena sudah tak ada lagi saksi sejarah yang bisa ditemui. Hanya hal tersebut menandakan bahwa Merauke zaman Belanda dulu merupakan salah satu kota yang cukup maju di Papua.
Saya pikir banyak yang nongkrong, ternyata sepi tak tampak satu batang hidungpun. Kata orang dinas tadi, sebelum dipagar makam tersebut sering dipakai nongkrong orang-orang yang sedang mabuk sehingga pak Bupati memerintahkan pemagaran makam.Â
Setelah dipagar sepertinya tak ada lagi orang yang berani nangkring, mungkin takut tiba-tiba dikunci dari luar oleh makhluk halus penghuni makam. Sayapun buru-buru keluar karena takut terkunci juga di dalam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H