Baru-baru ini kita heboh dengan munculnya item Lem Aibon, pulpen, dan alat tulis lainnya dalam rancangan usulan anggaran dinas yang nilainya dianggap di atas kewajaran.Â
Berbagai komentar baik yang mendukung maupun menolak keras ramai memenuhi jagat media sosial maupun media online lainnya. Kecurigaanpun muncul, siapakah yang sebenarnya 'bermain-main' dalam penyusunan anggaran tersebut, apakah oknum dinas, oknum anggota DPRD, atau malah pimpinan daerahnya sendiri.
Pengalaman saya waktu bertugas di Bappeda dulu, menyusun anggaran itu memang gampang-gampang susah. Gampangnya karena masing-masing dinas sudah 'dijatah' anggarannya sesuai dengan kinerja tahun sebelumnya ditambah sekian persen jika ada kenaikan APBD. Namun karena beban kerja setiap dinas berbeda, ada dinas yang anggarannya besar sekali setinggi gunung, ada pula yang anggarannya tipis, setipis sutera. Disinilah muncul istilah dinas air mata dan dinas mata air.
Susahnya karena tidak semua dinas siap dengan kegiatan yang diusulkan sesuai dengan anggaran yang tersedia. Untuk dinas atau instansi mata air seperti dinas pendidikan, besarnya alokasi anggaran membuat mereka sedikit gagap untuk melahap anggaran sebesar itu.
Padahal kinerja dinas diukur dengan seberapa jauh mereka mampu menyerap anggaran secara maksimal. Oleh karena itu amat sangat wajar bila akhirnya muncul usulan memasukkan lem aibon, pulpen, dan atk lainnya karena saking bingungnya menghabiskan alokasi anggaran yang demikian besar.
Sebaliknya dengan dinas atau instansi air mata, kadang karena beban pekerjaannya sedikit dan juga sedikitnya anggaran, mereka bingung mencari 'judul' anggaran yang tepat. Akhirnya kegiatannya lebih banyak mengarah pada kajian-kajian konsultasi yang tidak jelas outputnya, atau kegiatan sosialisasi untuk mempercepat proses penyerapan  anggaran. Biasanya dinas atau instansi ini dibuat bukan karena memang diperlukan, tapi lebih untuk menampung para pejabat yang 'terbuang' dari posisi strategis.
Selain itu pengukuran kinerja berbasis anggaran menyebabkan banyak instansi yang berlomba menghabiskan uang negara hingga menyisakan 1-2% saja untuk dikembalikan ke kas negara.Â
Bila penyerapan kurang dari 90% maka tahun berikutnya anggaran instansi tersebut akan dikurangi karena dianggap tidak mampu menyerap sampai angka maksimal. Akibatnya apapun dibelanjakan walau belum tentu berguna demi menghabiskan anggaran.
Kesenjangan inilah yang membuat para abdi negara berebut untuk menduduki posisi penting pada dinas mata air bagaimanapun caranya. Sikut-sikutanpun tak terhindarkan, makanya jangan heran kalau di daerah kita temukan kepala dinas PU dijabat oleh bekas kepala sekolah atau sarjana agama karena kedekatannya dengan pimpinan daerah. Sementara insinyur sipil malah ditaruh menjadi kepala kantor arsip alias 'diarsipkan' karena berseberangan dengan pimpinannya.
Banyaknya anggaran di dinas mata air membuat instansi tersebut tentu mengundang semut-semut mengerubungi gula. Banyaknya gula yang harus dibagi membuat para abdi negara di dalamnya pontang panting mencari slot anggaran yang bisa 'dititipkan' gula tersebut. Apalagi kalau ada acara-acara yang tidak menggunakan anggaran negara alias non budgeter, dinas inilah yang pertama kali dilirik untuk memberikan sumbangan.Â
Salah satu cara menitipkan tentu dengan menyisipkan barang atau kegiatan yang tidak terlalu penting di antara ribuan item kegiatan di dinas tersebut, sambil berharap tidak terkena sisir para anggota dewan dan pimpinan daerah. Toh sebenarnya mereka juga sudah TST koq asal tidak ada yang berisik. Masuknya lem aibon, pulpen, dan sebagainya merupakan contoh terkini bagaimana menyusupkan barang dalam ribuan item usulan kegiatan yang didanai APBD.