Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Ngoepi, Tradisi atau Tren Sesaat?

5 Oktober 2019   17:51 Diperbarui: 6 Oktober 2019   13:40 502
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Warung kopi tradisional menyatukan semua kelas, warung kopi modern memisahkan kelas.

Sejak dulu bangsa Indonesia terkenal sebagai penikmat kopi. Hingga kini terutama di Sumatera dan luar pulau Jawa, kedai kopi tradisional selalu ramai pengunjung. 

Lihatlah kedai kopi Aceh, Manggar, Pontianak, hingga Ambon, selalu penuh pengunjung yang setia menyeruput kopi ditemani rokok dan teman kongkow sepanjang malam selepas Maghrib hingga menjelang Subuh. 

Tiap daerah memiliki kekhasan tersendiri, misal ada Kopi Aceh, Jambi, Lampung, Toraja, Flores, dan sebagainya. Rasanyapun bervariasi walau semuanya tetap saja pahit tanpa pemanis.

Kadang tak terasa bergelas-gelas kopi habis dan berpuluh batang rokok teronggok di asbak dengan mulut berbusa-busa bergosip ria sambil melepas penat di warung kopi. 

Sekelompok orang berkumpul dalam satu meja, dan kelompok lainnya berkumpul di meja samping kiri kanan depan belakang, membentuk komunitas ngerumpi terutama bapak-bapak atau anak-anak muda lelaki yang masih menanti panggilan kerja. 

Apa saja mereka bicarakan di warung kopi hingga menjelang matahari terbit, mulai dari urusan keluarga, kantor, hingga urusan pilkada dan pilkades.

Tradisi tersebut berlangsung selama puluhan tahun hingga saat ini. Warung kopi merupakan tempat lobi paling ampuh untuk mengumpulkan pendukung calon bupati atau kepala desa. 

Di warung kopi pula silaturahmi terjalin dan koordinasi bisa berlangsung dengan lancar tanpa formalitas yang membelenggu. Ibarat kalau orang kaya kudu bermain golf untuk lobi-lobi, orang kebanyakan cukup nangkring di warung kopi.

Di sisi lain, terutama selama lima tahun terakhir belakangan ini, mulai tumbuh subur warung kopi modern yang mengadopsi kedai kopi ternama Starbucks termasuk menu-menunya. 

Hal ini mengingatkan saya pada tumbuhnya Bakmi Margonda yang mengekor Bakmi GM, ayam krispi yang mengikuti KFC, atau martabak yang mendompleng kesuksesan Orin. Satu tumbuh pesat yang lain mengikuti dengan harapan yang sama.

Saat Bakmi Margonda berjaya, bermunculan bakmi-bakmi lain sejenis. Namun perlahan tapi pasti satu persatu bakmi sejenis mulai berguguran. Martabak juga demikian, hanya nama pertama saja yang masih bertahan, lainnya satu persatu mulai menutup gerainya. 

Hanya bisnis ayam krispi yang tampak stabil, mungkin karena merupakan kebutuhan dasar, bukan cemilan seperti martabak atau makanan seminggu sekali seperti bakmi.

Secara psikologis, masyarakat Indonesia senang mencoba hal baru apalagi yang heboh atau viral di medsos. Berbondong-bondong orang mengantri produk makanan baru hanya untuk sekedar mencicipi rasanya. 

Namun setelah dimakan, rata-rata cukup sekali saja menikmati, lalu beralih ke cemilan lain yang lebih menggiurkan. 

Kurang enak sedikit, harga mulai mahal, atau kurang cozy tempatnya, konsumen langsung beralih ke tempat lain yang murah, enak, dan cocok buat kongkow. Jarang sekali makanan yang viral di medsos bertahan lebih dari tiga tahun, ibaratnya setelah penduduk satu kota mencicipi semuanya, habis sudah konsumennya.

Hal ini berbeda dengan kedai kopi tradisional yang masih bertahan hingga puluhan tahun dari generasi kakek hingga cucunya yang mengelola warung tersebut. 

Selain kopinya khas, ada yang bahkan punya kebun sendiri, juga konsumen bebas nangkring berjam-jam sambil ngebul dan ngobrol ngalor ngidul. Pengunjung juga bisa menikmati suara pengamen jalanan yang khas, desingan mobil bersliweran, udara segar tanpa pendingin. Semuanya alami tanpa polesan apapun.

Coba nangkring di kedai kopi modern, para perokok merasakan diskriminasi dengan menempatkannya di sudut yang gelap, bahkan ada yang tegas melarang merokok di tempat tersebut. 

Padahal sejatinya ngopi tanpa rokok ibarat minum teh tanpa gula, garing rasanya. Tempatnya juga terlalu rapi, membuat orang risi untuk bersuara keras atau sekedar meluapkan kegembiraan. 

Konsumen tampak asyik dengan gawainya sendiri, paling mentok ngobrol berdua-tiga orang saja. Terlalu kaku dan formil, lagipula harganya juga bisa tiga hingga sepuluh kali lipat dari kedai kopi tradisional.

Ngopi di kedai kopi modern bukanlah membeli kopi, tapi suasananya yang nyaman dan berpendingin udara. Kopi hanyalah gimmick yang menemani konsumen menyewa sepetak ruang dengan satu kursi dan meja. 

Lucunya lagi justru banyak penikmat kopi modern membelinya melalui aplikasi alias untuk diminum di rumah. Ngopi hanya sekedar untuk menuntaskan rasa haus, bukan untuk menikmati harga sewa ruang yang telah dibayar dalam secangkir kopi yang dipesannya.

Ini berbeda dengan kedai kopi tradisional yang harganya memang benar-benar untuk meracik sebuah kopi, dengan bonus bisa nangkring berjam-jam tanpa takut diusir sang pemilik. Ngopi juga bisa menjadi sarana bersosialisasi dengan konsumen lain, dengan sesama warga kota atau pendatang yang kebetulan sedang ikut ngopi. 

Itulah nilai lebih dari kedai kopi tradisional dibanding warung kopi modern. Walau di warung kopi modern juga bisa lobi-lobi, tapi biasanya lebih didominasi kelas menengah atas, tidak semua kalangan seperti warung kopi tradisional.

Merujuk pada psikologi masyarakat, berhubung kopi bukanlah makanan primer seperti ayam krispi, saya lihat hanya ada beberapa saja yang bisa bertahan lebih dari lima tahun. Selebihnya akan surut perlahan dengan sendirinya. 

Apalagi harganya cukup mahal dibanding kopi di warmindo, membuat orang lebih selektif minum kopi modern. Berbeda dengan warung kopi tradisional yang masih bertahan karena selain harganya murah, mereka punya pelanggan fanatik yang juga turun temurun seperti pemilik warung kopi.

Kalau ingin bertahan, warung kopi modern harus mampu menyerap nilai-nilai yang dianut warung kopi tradisional. Tampil alamiah tanpa banyak polesan, harga murah, bisa kongkow, dan tentu bebas berasap. 

Kondisinya dibalik, yang non smoking diberi ruang khusus berpendingin udara, pisahkan dengan para smokers on the coffee water. Mungkinkah itu terjadi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun