Warung kopi tradisional menyatukan semua kelas, warung kopi modern memisahkan kelas.
Sejak dulu bangsa Indonesia terkenal sebagai penikmat kopi. Hingga kini terutama di Sumatera dan luar pulau Jawa, kedai kopi tradisional selalu ramai pengunjung.Â
Lihatlah kedai kopi Aceh, Manggar, Pontianak, hingga Ambon, selalu penuh pengunjung yang setia menyeruput kopi ditemani rokok dan teman kongkow sepanjang malam selepas Maghrib hingga menjelang Subuh.Â
Tiap daerah memiliki kekhasan tersendiri, misal ada Kopi Aceh, Jambi, Lampung, Toraja, Flores, dan sebagainya. Rasanyapun bervariasi walau semuanya tetap saja pahit tanpa pemanis.
Kadang tak terasa bergelas-gelas kopi habis dan berpuluh batang rokok teronggok di asbak dengan mulut berbusa-busa bergosip ria sambil melepas penat di warung kopi.Â
Sekelompok orang berkumpul dalam satu meja, dan kelompok lainnya berkumpul di meja samping kiri kanan depan belakang, membentuk komunitas ngerumpi terutama bapak-bapak atau anak-anak muda lelaki yang masih menanti panggilan kerja.Â
Apa saja mereka bicarakan di warung kopi hingga menjelang matahari terbit, mulai dari urusan keluarga, kantor, hingga urusan pilkada dan pilkades.
Tradisi tersebut berlangsung selama puluhan tahun hingga saat ini. Warung kopi merupakan tempat lobi paling ampuh untuk mengumpulkan pendukung calon bupati atau kepala desa.Â
Di warung kopi pula silaturahmi terjalin dan koordinasi bisa berlangsung dengan lancar tanpa formalitas yang membelenggu. Ibarat kalau orang kaya kudu bermain golf untuk lobi-lobi, orang kebanyakan cukup nangkring di warung kopi.
Di sisi lain, terutama selama lima tahun terakhir belakangan ini, mulai tumbuh subur warung kopi modern yang mengadopsi kedai kopi ternama Starbucks termasuk menu-menunya.Â