Ngopi di kedai kopi modern bukanlah membeli kopi, tapi suasananya yang nyaman dan berpendingin udara. Kopi hanyalah gimmick yang menemani konsumen menyewa sepetak ruang dengan satu kursi dan meja.Â
Lucunya lagi justru banyak penikmat kopi modern membelinya melalui aplikasi alias untuk diminum di rumah. Ngopi hanya sekedar untuk menuntaskan rasa haus, bukan untuk menikmati harga sewa ruang yang telah dibayar dalam secangkir kopi yang dipesannya.
Ini berbeda dengan kedai kopi tradisional yang harganya memang benar-benar untuk meracik sebuah kopi, dengan bonus bisa nangkring berjam-jam tanpa takut diusir sang pemilik. Ngopi juga bisa menjadi sarana bersosialisasi dengan konsumen lain, dengan sesama warga kota atau pendatang yang kebetulan sedang ikut ngopi.Â
Itulah nilai lebih dari kedai kopi tradisional dibanding warung kopi modern. Walau di warung kopi modern juga bisa lobi-lobi, tapi biasanya lebih didominasi kelas menengah atas, tidak semua kalangan seperti warung kopi tradisional.
Merujuk pada psikologi masyarakat, berhubung kopi bukanlah makanan primer seperti ayam krispi, saya lihat hanya ada beberapa saja yang bisa bertahan lebih dari lima tahun. Selebihnya akan surut perlahan dengan sendirinya.Â
Apalagi harganya cukup mahal dibanding kopi di warmindo, membuat orang lebih selektif minum kopi modern. Berbeda dengan warung kopi tradisional yang masih bertahan karena selain harganya murah, mereka punya pelanggan fanatik yang juga turun temurun seperti pemilik warung kopi.
Kalau ingin bertahan, warung kopi modern harus mampu menyerap nilai-nilai yang dianut warung kopi tradisional. Tampil alamiah tanpa banyak polesan, harga murah, bisa kongkow, dan tentu bebas berasap.Â
Kondisinya dibalik, yang non smoking diberi ruang khusus berpendingin udara, pisahkan dengan para smokers on the coffee water. Mungkinkah itu terjadi?