Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Ngoepi, Tradisi atau Tren Sesaat?

5 Oktober 2019   17:51 Diperbarui: 6 Oktober 2019   13:40 502
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kopi Modern (Dokpri)

Hal ini mengingatkan saya pada tumbuhnya Bakmi Margonda yang mengekor Bakmi GM, ayam krispi yang mengikuti KFC, atau martabak yang mendompleng kesuksesan Orin. Satu tumbuh pesat yang lain mengikuti dengan harapan yang sama.

Saat Bakmi Margonda berjaya, bermunculan bakmi-bakmi lain sejenis. Namun perlahan tapi pasti satu persatu bakmi sejenis mulai berguguran. Martabak juga demikian, hanya nama pertama saja yang masih bertahan, lainnya satu persatu mulai menutup gerainya. 

Hanya bisnis ayam krispi yang tampak stabil, mungkin karena merupakan kebutuhan dasar, bukan cemilan seperti martabak atau makanan seminggu sekali seperti bakmi.

Secara psikologis, masyarakat Indonesia senang mencoba hal baru apalagi yang heboh atau viral di medsos. Berbondong-bondong orang mengantri produk makanan baru hanya untuk sekedar mencicipi rasanya. 

Namun setelah dimakan, rata-rata cukup sekali saja menikmati, lalu beralih ke cemilan lain yang lebih menggiurkan. 

Kurang enak sedikit, harga mulai mahal, atau kurang cozy tempatnya, konsumen langsung beralih ke tempat lain yang murah, enak, dan cocok buat kongkow. Jarang sekali makanan yang viral di medsos bertahan lebih dari tiga tahun, ibaratnya setelah penduduk satu kota mencicipi semuanya, habis sudah konsumennya.

Hal ini berbeda dengan kedai kopi tradisional yang masih bertahan hingga puluhan tahun dari generasi kakek hingga cucunya yang mengelola warung tersebut. 

Selain kopinya khas, ada yang bahkan punya kebun sendiri, juga konsumen bebas nangkring berjam-jam sambil ngebul dan ngobrol ngalor ngidul. Pengunjung juga bisa menikmati suara pengamen jalanan yang khas, desingan mobil bersliweran, udara segar tanpa pendingin. Semuanya alami tanpa polesan apapun.

Coba nangkring di kedai kopi modern, para perokok merasakan diskriminasi dengan menempatkannya di sudut yang gelap, bahkan ada yang tegas melarang merokok di tempat tersebut. 

Padahal sejatinya ngopi tanpa rokok ibarat minum teh tanpa gula, garing rasanya. Tempatnya juga terlalu rapi, membuat orang risi untuk bersuara keras atau sekedar meluapkan kegembiraan. 

Konsumen tampak asyik dengan gawainya sendiri, paling mentok ngobrol berdua-tiga orang saja. Terlalu kaku dan formil, lagipula harganya juga bisa tiga hingga sepuluh kali lipat dari kedai kopi tradisional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun