Masuknya Gibran dalam bursa calon walikota Solo cukup mengagetkan mengingat sejak dulu ayahnya sendiri melarang aktivitas putra putrinya yang berhubungan langsung di pemerintahan sesama beliau menjabat baik saat menjadi walikota hingga presiden.Â
Namun berkaitan dengan pencalonan putranya, Jokowi justru mendukung keputusan anaknya untuk berkarir di bidang politik seperti diungkapkanya seusai membaca hasil survei sebagaimana ditulis di atas.
Politik dinasti rupanya sudah menjadi budaya bangsa Indonesia. Dulu bentuknya kerajaan atau raja-raja kecil dalam lingkup kabupaten, dimana raja atau bupati digantikan oleh anaknya setelah lengser karena mangkat atau mengundurkan diri. Sekarang dengan model pilkada langsung, banyak daerah terutama di tingkat kabupaten/kota yang melanggengkan politik dinasti tersebut.Â
Kalau anaknya masih kecil, istrinya yang melanjutkan kiprah suaminya. Contohnya Kabupaten Klaten, Kabupaten Kendal, Kota Cimahi, Kabupaten Tangerang, Lebak, Kutai Kartanegara, Bangkalan, serta Jambi untuk tingkat provinsi. Bahkan korupsinyapun juga jadi turun temurun seperti Kutai Kartenegara.
Apakah dengan demikian Gibran tidak boleh mencalonkan diri? Tidak ada aturan yang melarang alias boleh-boleh saja, sah-sah saja secara hukum tertulis yang berlaku di negeri ini.
 Lalu apakah etis ketika bapaknya menjadi pejabat nomor satu di negeri ini lantas anaknya mencalonkan diri? Tergantung cara memandangnya.Â
Saya melibat ini lebih sebagai aji mumpung menumpang popularitas ayahnya ketimbang kemampuannya mengelola sebuah wilayah yang penuh dengan intrik politik.
Amat sangat disayangkan bila Gibran benar-benar 'memaksakan' diri menjadi walikota Solo. Tentu ini mencoreng integritas ayahnya yang selama ini berusaha untuk tidak mengaitkan bisnis anaknya dengan proyek-proyek pemerintah seperti dilakukannya saat menjadi walikota Solo maupun gubernur DKI Jakarta. Benar bahwa bisnis berbeda dengan politik, namun bukan berarti wilayah politik bebas conflict of interest.
Justru sebaliknya akan muncul banyak conflict of interest ketika ayah dan anak sama-sama menjabat sebagai orang nomor satu. Bisa saja nantinya Solo semakin jadi anak emas karena semakin banyaknya APBN mengucur ke sana karena kedekatan dengan ayahnya. Padahal masih banyak daerah lain yang jauh lebih membutuhkan ketimbang kota Solo yang bisa lebih mandiri dalam membangun kotanya.
Kalaupun ingin mencalonkan, sebaiknya bersabar hingga ayahanda turun tahta setelah tahun 2024 nanti. Â Paling tidak untuk menghindari adanya conflict of interest seperti telah diuraikan di atas. Toh usianya masih sangat muda, lebih baik malah bertarung menjadi anggota DPR atau DPRD terlebih dahulu agar mengetahui seluk beluk dan sarut cengkarut di dalam dunia politik. Dunia politik penuh ketidakpastian, berbeda dengan bisnis yang cenderung mencari kepastian.
Lagipula, dirinya baru saja mendaftarkan diri jadi kader PDIP, koq ujug-ujug langsung menanyakan formulir pendaftaran calon walikota. Bagaimana perasaan kader PDIP yang sudah senior macam Achmad Purnomo yang sudah berjuang dari bawah tiba-tiba disalip begitu saja oleh anak kemarin sore.Â