Tahun ini mungkin menjadi tahun yang takkan terlupakan buat maskapai kebanggaan negeri ini. Mulai dari harga tiket paling mahal, laporan keuangan tidak kredibel, gagal bertahan di 10 besar Skytrax, hingga kasus sepele tulisan tangan menu makanan. Hampir semua pihak menyudutkan Garuda atas berbagai persoalan yang menimpanya akhir-akhir ini.
Reaksinya juga boleh dibilang masih seperti jaman dulu, melarang berfoto, lapor polisi dengan alasan pencemaran nama baik, menyuntikkan piutang sebagai pendapatan, mengurangi fasilitas penumpang. Padahal masih banyak cara lain yang bisa dilakukan tanpa harus mengurangi kredibilitas Garuda sebagai maskapai milik negara ini.
Lagi-lagi sampai bosan mengatakan sebagai pelanggan setia, saya mengamati bahwa Garuda selama sepuluh tahun lebih nyaris tidak ada inovasi baru. Cobalah lihat interior pesawatnya, nyaris tak ada perubahan signifikan sejak pertama kali naik belasan tahun lalu.Â
Cuma nomor tempat duduknya saja berubah, dari nomor 4 jadi 21 untuk kelas ekonomi serta kursi DEF jadi HJK untuk pesawat Boeing 737. Selebihnya tetap sama, termasuk pramugarinya yang tampak semakin menua usianya.
Saat maskapai lain berinovasi, Garuda malah seperti jalan di tempat. Hingga saat ini di dashboard layar monitornya belum tersedia colokan USB, padahal beberapa maskapai lain sekelas sudah menggunakannya seperti MAS, Emirates, Qatar, dan sebagainya. Layarnya juga modelnya masih seperti dulu, belum ada perubahan wajah dan bentuknya. Sementara Philippine Airlines yang tidak memiliki layar monitor di bangkunya justru bisa memanfaatkan hape kita dengan mengunduh aplikasinya dan kita bisa menonton hiburan lewat aplikasi yang terhubung sinyal wifi di pesawatnya.
Menu makanannya juga itu-itu saja, bahkan sekarang makin menurun fasilitasnya seperti pernah saya tulis di sini. Sementara maskapai sejenis menunya bisa 3-4 macam jenis dan penyajiannya menarik. Bicara harga, semurah-murahnya promo Garuda tetap masih lebih mahal dibanding promo maskapai lain sejenis, bisa dicek di tulisan saya beberapa tahun lalu.
Coba lihat iklan di bandara, koran, televisi, dibanding maskapai lain Garuda kalah jauh kalau tidak boleh dibilang sangat irit beriklan. Mungkin karena merasa pede pelanggannya tidak akan lari sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya untuk iklan secara berlebihan. Ketika maskapai lain mengadakan lomba seperti selfie di pesawat, Garuda justru malah sempat melarang berfoto di pesawat.
Garuda seperti telah berpuas diri dengan apa yang diperolehnya tanpa berusaha untuk lebih meningkatkan lagi performanya. Segmen pasar yang jelas serta minim saingan membuat Garuda terlena dan cenderung tidak melakukan inovasi baru. Toh orang tidak akan berpaling berapapun harga tiket yang ditawarkan, karena memang tidak ada lagi pesaing berat sejenis.
Namun bila dibiarkan begini terus menerus, perlahan tapi pasti Garuda bakal ditinggalkan para pelanggannya yang juga sudah mulai menua. Persaingan bisnis yang menuntut efisiensi perusahaan membuat para karyawannya diminta beralih menggunakan maskapai lain yang jauh lebih murah.Â
Harga tiket yang mahal di atas standar harga pemerintah juga membuat beberapa instansi mengalihkan penerbangannya dengan maskapai lain. Saya sendiri terpaksa mix, berangkat naik maskapai lain pulangnya baru naik Garuda agar tidak melampaui SBU atau standar harga yang ditetapkan Kemenkeu.
Mumpung momentumnya tepat, sudah saatnya Garuda mulai berinovasi dari sekarang. Jangan kalah dengan KAI yang selalu berinovasi dan DAMRI yang juga mulai bertransformasi sebagai sesama BUMN bidang transportasi. Jangan hanya seragam pramugarinya saja yang diganti, tapi juga layar monitornya yang sudah usang itu, lengkapi dengan colokan USB agar tidak perlu menyalakan power bank dalam pesawat.