Heboh masjid yang diarsiteki oleh RK beberapa waktu lalu seolah membangkitkan kenangan lama akan teori iluminati. Sejak saya masih berseragam biru muda, bahkan biru tua, konsep ini sudah lama didengung-dengungkan sebagai sebuah teori konspirasi dari sekelompok orang tertentu terhadap kelompok lain. Bahasa kerennya ghazwul fikri atau perang pemikiran untuk menguasai dunia antara kelompok-kelompok tersebut.Â
Perang tidak lagi berwujud fisik tapi lebih kepada saling memengaruhi satu sama lain, infiltrasi pemikiran, gaya hidup, budaya, ilmu pengetahuan, dan sebagainya yang ditengarai bakal menggerus iman atau keyakinan seseorang. Kondisi inilah yang dikhawatirkan sebagian umat akan larinya iman kepada Tuhan karena derasnya arus perang pemikiran tersebut.
Saya tidak akan membahas iluminati dan kawan-kawannya karena sudah banyak bertebaran di mbah gugel. Silakan cari sendiri baik pro dan kontranya di sana. Namun yang lebih mengkhawatirkan adalah ilusi-ilusi yang tercipta akibat teori konspirasi tersebut. Ilusi bahwa suatu saat semua orang akan berpaling dari agamanya, berubah jadi atheis atau agnostik.Â
Penindasan suatu kaum terhadap kaum lainnya, meredupnya iman karena semakin banyaknya godaan di era teknologi canggih sekarang ini, menjadi penegas munculnya ilusi-ilusi tersebut.
Lalu muncullah gejala eksklusivitas sekelompok orang tertentu. Istilah ngepopnya hijrah terutama di kalangan kelas menengah ke atas yang galau ketika sudah memperoleh segalanya, kecuali iman.Â
Contoh nyata dari hal ini adalah tumbuhnya perumahan-perumahan eksklusif seperti yang sedang viral beberapa waktu lalu, sekolah-sekolah alam atau lembaga pendidikan eksklusif yang bermunculan dimana-mana, dan sebagainya.
Di satu sisi, ini merupakan gejala positif ketika ada sekelompok orang yang berupaya untuk kembali ke jalan yang lurus. Kerusakan moral yang semakin masif belakangan ini harus dihindari kalau memang tidak bisa diluruskan. Niatnya tentu baik untuk kembali ke ajaran agama yang benar agar tidak terkontaminasi pergeseran budaya yang semakin bebas tak terkendali.
Namun di sisi lain, muncul gejala satu kelompok merasa lebih baik 'imannya' dari kelompok lain walau sebenarnya masih satu agama. Bahkan ekstrimnya sampai rela mengorbankan nyawa demi memperoleh surga yang dijanjikan entah oleh siapa dengan cara-cara instan.Â
Padahal perasaan lebih baik dan lebih benar dari orang lain, apalagi sampai melakukan bunuh diri, adalah hal yang dilarang dalam agama manapun.Â
Agama mengajarkan kerendahan hati dan bekerja keras untuk mencapai hasil maksimal disertai dengan keikhlasan untuk meraih surga, bukan dengan cara-cara instan seperti itu.
Gejala inilah yang kemudian diglorifikasi menjadi sebuah kekuatan baru yang menandai kebangkitan umat. Sebuah kekuatan untuk mengembalikan lagi saat-saat kejayaan dulu, menemukan ilmu pengetahuan baru, menjadi penerang di masanya. Berbekal ilusi-ilusi tadi, diharapkan terbentuk sebuah negeri yang aman damai sentosa berbasis ajaran agama.
Sayangnya, glorifikasi tersebut masih sebatas pada hal-hal yang bersifat simbolik. Berbusana sesuai akidah, namun hatinya masih penuh sumpah serapah. Rasa kekhawatiran yang berlebihan membuat sebagian orang misalnya enggan beribadah di tempat ibadah tertentu karena dianggap bagian dari iluminati seperti pada pembuka tulisan ini. Simbol-simbol itulah yang menuai kekhawatiran sekaligus merasa lebih benar dari yang lain, padahal belum tentu substansinya memang demikian.
Itulah sebabnya dalam ajaran agama dikenal istilah kaffah atau menyeluruh, artinya belajarlah agama secara utuh, tidak sepotong-sepotong. Cari asal usul sebab turunnya wahyu Ilahi, peristiwa apa yang mendasarinya, lalu bagaimana konteksnya pada saat ini sesuai dengan ijtima' ulama. Kaffah juga berarti tidak hanya sekedar menyerap simbol-simbol atau sesuatu yang tampak mata saja, tapi juga substansi atau filosofi dibalik wahyu tersebut.
Demikian pula sebaliknya, substansi tanpa simbol juga ibarat ruh tanpa raga atau OTB alias organisasi tanpa bentuk. Percaya saja pada Tuhan tidaklah cukup tanpa disertai dengan ibadah untuk menunjukkan ketaatan pada Tuhan. Jadi harus ada sinkronisasi antara simbol dengan substansi agar ketemu jalan yang lurus dan diridhoi olehNya.
Simbol tanpa substansi akan terjebak pada ilusi, sementara substansi tanpa simbol juga akan terperosok pada fantasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H