Sayangnya gaya hidup tersebut belum disertai dengan perubahan mental. Banyak dari mereka yang akhirnya harus berurusan dengan aparat hukum karena ikut menyebar hoax yang bahkan mereka sendiri juga mungkin tidak paham konsekuensinya.Â
Kecelakaan juga sering terjadi akibat semakin banyaknya motor yang berseliweran tidak diikuti dengan kematangan berlalulintas. Jeratan fintech atau rentenir juga semakin menghantui penduduk karena perubahan gaya hidup yang tidak diimbangi dengan peningkatan penghasilan. Tanah pun digadaikan atau dijual demi memenuhi kebutuhan yang sebenarnya belum terlalu mendesak.
* * * *
Itulah gambaran sekilas yang saya perhatikan sendiri saat menjalani ritual mudik beberapa tahun belakangan ini. Perubahan atau konversi lahan berdampak kepada perubahan gaya hidup yang belum diimbangi dengan perubahan mental sehingga masih banyak orang yang tergagap dengan kemajuan ekonomi dan teknologi tanpa berpikir dampak atau konsekuensi yang harus ditanggung bersama.
Memang dengan adanya dana desa, ada hal positif seperti mengubah desa menjadi obyek wisata atau sentra ekonomi lokal, namun sayangnya belum semua desa bisa memanfaatkan dana tersebut untuk dikembangkan secara produktif.Â
Sebagian masih digunakan hanya untuk sekadar mempercantik desa, menambal jalan rusak, membangun pos ronda, gedung pertemuan, dan sebagainya yang hanya sekadar menghabiskan penggunaan dana desa saja.Â
Oleh karena itu perlu diarahkan penggunaan dana desa tersebut untuk membangun pusat pertumbuhan ekonomi yang produktif untuk masyarakatnya sehingga tidak perlu mengubah desa menjadi kota. Biarlah desa tetap menjadi desa yang menyangga kebutuhan dasar bagi seluruh masyarakat, tidak hanya untuk orang kota saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H