Mudik sudah menjadi ritual tahunan bagi saya dan jutaan orang lainnya yang mengais sesuap berlian di kota-kota besar. Pulang kampung serasa kembali ke masa kecil dulu, mengenang tingkah polah bermain bersama teman-teman sekampung, masuk keluar sawah, bertandang ke rumah tradisional warisan orang tua dulu. Rasanya menyenangkan mengingat memori puluhan tahun lalu saat desa masih seperti apa adanya.
Namun beberapa tahun terakhir ini terasa sekali perbedaan desa dulu dan sekarang. Lahan sawah mulai berkurang, berganti menjadi lahan perumahan dan bangunan lainnya seperti pabrik, pertokoan, rumah sakit, dan sebagainya.Â
Duopoli mart juga sudah merambah hingga ke desa-desa, dan beberapa mart lain yang mengikuti jejak mereka. Ojek online juga sudah merangsek ke kota-kota kecil, dengan gagah terlihat jaket warna hijau wira-wiri di sepanjang jalan kabupaten, bahkan terkadang masuk ke jalan desa yang tak jauh dari kota.
Menurut teori yang saya pahami sewaktu sekolah dulu, desa adalah sebuah wilayah yang didominasi oleh sektor pertanian dan turunannya, termasuk kebun, hutan, dan aneka keragaman hayati lainnya.Â
Sementara kota adalah wilayah yang dikuasai oleh kegiatan non pertanian seperti industri, perdagangan skala menengah dan besar, perkantoran, dan sejenisnya. Jadi bila lahan pertanian dan sejenisnya mulai berkurang, bisa diartikan bahwa desa tersebut mulai bertransformasi menjadi kota.
Setiap tahun mudik ke kampung halaman, hampir pasti ada bangunan baru atau retail baru yang membuka cabang di kota kecil. Retail tradisional seperti Sri Ratu yang pernah merajai Jawa Tengah tumbang ditelan oleh raksasa besar asal Jakarta.Â
Tidak ada lagi ruang bagi desa untuk mempertahankan jati dirinya. Sedikit demi sedikit lahan-lahan yang tersisa diokupasi orang-orang kota. Plang tanah dijualpun terpampang jelas di depan sawah, pertanda nilainya sudah tidak produktif lagi dibanding harga tanah yang semakin menggiurkan.
Jumlah manusia semakin bertambah, namun luas lahan pertanian semakin berkurang. Dampaknya mulai terasa ketika kita tak lagi mampu berswasembada beras. Sembako lainnya pun juga terpaksa harus impor karena tingginya kebutuhan berbanding terbalik dengan hasil panen yang semakin berkurang.Â
Tanah-tanah subur di Jawa semakin terdesak oleh dorongan investasi rakus lahan namun minim feedback atau umpan balik bagi desanya sendiri.
Generasi muda di desa juga sudah tak mau lagi menjadi petani. Mereka lebih senang berjuang di kota besar dan mudik dengan membawa segala kesuksesan yang mereka telah raih daripada mempertahankan desanya untuk tetap menghasilkan beras dan sembako lainnya.Â
Gaya hidupnya pun sudah seperti orang kota, memegang ponsel sambil browsing medsos sudah menjadi hal biasa. Motor sudah menjadi kebutuhan primer, minimal setiap rumah punya 2-3 motor walau sebagian (atau seluruhnya) hasil dari kredit.
Sayangnya gaya hidup tersebut belum disertai dengan perubahan mental. Banyak dari mereka yang akhirnya harus berurusan dengan aparat hukum karena ikut menyebar hoax yang bahkan mereka sendiri juga mungkin tidak paham konsekuensinya.Â
Kecelakaan juga sering terjadi akibat semakin banyaknya motor yang berseliweran tidak diikuti dengan kematangan berlalulintas. Jeratan fintech atau rentenir juga semakin menghantui penduduk karena perubahan gaya hidup yang tidak diimbangi dengan peningkatan penghasilan. Tanah pun digadaikan atau dijual demi memenuhi kebutuhan yang sebenarnya belum terlalu mendesak.
* * * *
Itulah gambaran sekilas yang saya perhatikan sendiri saat menjalani ritual mudik beberapa tahun belakangan ini. Perubahan atau konversi lahan berdampak kepada perubahan gaya hidup yang belum diimbangi dengan perubahan mental sehingga masih banyak orang yang tergagap dengan kemajuan ekonomi dan teknologi tanpa berpikir dampak atau konsekuensi yang harus ditanggung bersama.
Memang dengan adanya dana desa, ada hal positif seperti mengubah desa menjadi obyek wisata atau sentra ekonomi lokal, namun sayangnya belum semua desa bisa memanfaatkan dana tersebut untuk dikembangkan secara produktif.Â
Sebagian masih digunakan hanya untuk sekadar mempercantik desa, menambal jalan rusak, membangun pos ronda, gedung pertemuan, dan sebagainya yang hanya sekadar menghabiskan penggunaan dana desa saja.Â
Oleh karena itu perlu diarahkan penggunaan dana desa tersebut untuk membangun pusat pertumbuhan ekonomi yang produktif untuk masyarakatnya sehingga tidak perlu mengubah desa menjadi kota. Biarlah desa tetap menjadi desa yang menyangga kebutuhan dasar bagi seluruh masyarakat, tidak hanya untuk orang kota saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H