Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Sulitnya Mencari Parkiran Mobil di Kampus

14 Mei 2019   11:27 Diperbarui: 14 Mei 2019   11:32 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mahasiswa Parkir di Tepi Jalan (Sumber: pasangmata.detik.com)

Menjelang reformasi, kebetulan menjelang berakhir pula waktu studi saya menjadi mahasiswa di sebuah kampus ternama di kota kembang. Waktu itu kampus saya termasuk kampus kaum proletar namun terdidik dengan baik, terbukti masuknya susah dan isinya rata-rata sepuluh besar di SMA waktu itu. 

Saya termasuk beruntung karena bukan siapa-siapa di SMA tapi berhasil lolos dari lubang jarum dalam percobaan UMPTN yang kedua (sekarang disebut SBMPTN).

Penghuni kampus tersebut sebagian besar berasal dari kampung, bahkan ada yang rela naik bis ALS tiga hari dua malam dari ujung Sumatera hanya demi mendaftar ulang dan kuliah di kampus tersebut. 

Sewaktu kuliah masih banyak mahasiswa yang tampangnya kucel dan bersendal jepit masuk ruang kelas (sekarang mungkin bakalan disuruh pulang) dengan cueknya. Sementara para dosen dengan galaknya menyampaikan materi kuliah, bahkan tak segan membuat mahasiswa bertemu dirinya lagi tahun depan.

Mahasiswa abadi, begitulah julukan para pengabdi kampus yang tak bosan bertemu dosen yang itu-itu saja, yang selalu menyuruh menutup pintu dari luar bila terlambat masuk kelasnya. 

Selama masih ada perpanjangan waktu, selama itulah sang mahasiswa betah nangkring di kampus, aktif di kegiatan ekstra kurikuler, juga di pergerakan mahasiswa macam HMI atau GMNI. Mereka tak ingin buru-buru bekerja karena masih ingin menikmati indahnya kuliah di kampus biru, bercengkerama dengan alam dan teman wanitanya yang lugu.

Parkiran penuh dengan motor-motor plat daerah yang bahkan tidak familiar bagi saya, pertanda memang sebagian besar berasal dari kampung. Sementara di sebelahnya hanya tampak segelintir mobil milik mahasiswa terparkir rapi di bawah rindangnya pohon beringin yang menaungi kampus. 

Masih jarang anak orang kaya berkuliah di tempat saya, apalagi yang membawa mobil sendiri. Kadang yang kayapun tahu diri, tidak membawa mobilnya ke kampus, tapi lebih memilih naik angkot untuk menghargai rekan-rekannya yang masih mengharap kiriman tidak telat dari orang tuanya.

Sewaktu reformasi, mahasiswa dari kampus ini ikut bergerak bersama mahasiswa dari kampus-kampus lainnya di seantero negeri. Semua menginginkan perubahan karena sudah muak dan bosan melihat perilaku rezim yang terlalu lama berkuasa. 

Keadaan semakin mencekam karena harga-harga semakin membumbung tinggi akibat anjloknya nilai tukar rupiah waktu itu. Kerusuhanpun tak terhindarkan lagi karena rakyat sudah semakin kelaparan dan tak sanggup lagi membeli makanan dengan harga tinggi.

Singkat kata, reformasi yang diinisiasi oleh mahasiswa berhasil menumbangkan rezim orde baru. Orde reformasi mulai berjalan, keadaan mulai tenang, namun pergantian rezim masih juga terjadi hingga pemilu langsung tahun 2004 dilaksanakan. 

Situasi semakin stabil dan keadaan ekonomi makin membaik. Kelas menengah mulai tumbuh ditandai dengan semakin banyaknya mobil berseliweran menimbulkan kemacetan parah tak hanya jam pergi pulang kerja tapi hampir setiap hari diisi dengan tumpukan mobil. 

Bahkan hari Sabtu dan Minggu kemacetan bisa jadi lebih parah karena banyak orang yang selama ini menggunakan angkutan umum ketika bekerja, pergi berlibur dengan menggunakan kendaraan pribadi.

Mahasiswapun berubah, dus di kampus tempat saya menimba ilmu dulu. Mungkin karena gizi semakin meningkat, semakin banyak orang pandai keturunan orang-orang berada. 

Saya cukup kaget karena sulitnya mencari parkiran mobil di sekitar kampus saya dulu, padahal ini hari kerja dan kebetulan saya ada undangan acara di kampus. 

Saya hampiri tukang parkir yang dulu tampak santai, sekarang sibuk mengatur keluar masuknya mobil di parkiran yang masih sama seperti dulu. Setelah dapat parkir, saya tanya siapa saja yang parkir disini. 

Jawabnya, semuanya mahasiswa, bukan tamu atau pengunjung kebon binatang yang ada di samping kampus. Sekarang ini kampus sudah seperti mal, susah sekali memperoleh parkiran sampai harus menitipkan kunci ke tukang parkir.

Kampus yang dulu menampung orang-orang pandai namun kurang mampu berubah menjadi kampus orang-orang borjuis. Mungkin sama-sama pandai, namun karena kemampuan finansial lebih memadai membuat mereka ini mampu membayar lebih mahal daripada kaum proletar. 

Sejak reformasi, biaya kuliah meningkat drastis, kalau dulu cukup bayar 240.000 per semester, sekarang bisa 8-10 juta per semesternya. 

Memang masih ada beasiswa, namun jumlahnya terbatas dan tidak semua fully funded sehingga sebagian mahasiswa penerima harus banting tulang mencari tambahan untuk hidup.

Pemandangan yang sama ternyata tidak hanya di kampus saya saja, tapi juga di kampus-kampus negeri lainnya. Kendaraan roda empat memenuhi parkiran yang ada, sebagian besar milik mahasiswa, bahkan kadang mobil punya dosennyapun kalah merk dan tipenya dibanding mahasiswanya itu sendiri. 

Pengguna sepeda motor juga tambah banyak hingga meluber di sisi jalan depan kampus, pertanda semakin mudah memiliki kendaraan dibanding zaman saya kuliah dulu.

Semakin padatnya jadwal kuliah dan praktikum, membuat mahasiswa semakin malas berkegiatan. Apalagi lowongan kerja semakin sulit, membuat mereka ingin cepat-cepat lulus dengan nilai tinggi, kalau bisa memperoleh predikat cum laude daripada terlambat lulus predikatnya ke laut aje. Predikat ini penting untuk ditulis dalam CV ketika melamar kerja, agar lebih diprioritaskan daripada pesaing lainnya yang berjumlah ribuan.

Apa lagi yang harus dicari, apalagi di demo? Toh mahasiswa sudah hidup nyaman dan mudah, harga-harga relatif stabil walau tetap saja naik perlahan. Pemerintahan relatif stabil, mungkin ada sedikit riak di sana sini yang tidak signifikan secara nasional. Paling banter pasca pemilu ini, ada beberapa pihak yang tidak puas berusaha untuk kembali menggerakkan mahasiswa melalui people power.

Mahasiswa tampaknya semakin tidak tertarik bahkan kehilangan daya kritisnya menyikapi kondisi yang masih timpang di negeri ini. Malah demonya justru ketakutan kehilangan pekerjaan karena bakal digantikan oleh robot yang justru bakal diciptakannya sendiri ketika bekerja nanti.

 Mereka sudah terlalu nyaman dengan segala kemudahan yang diberikan orang tua dan fasilitas yang dimiliki kampus ditambah kuliah yang dibikin sibuk sehingga nyaris tak ada waktu lagi menyusun pergerakan.

Sayup-sayup masih terdengar suara-suara protes dari segelintir mahasiswa, namun tak ada gayung bersambut dari mahasiswa lain atau kampus-kampus lainnya. Justru yang ramai saat ini adalah tawuran antar kampus yang memalukan karena merekalah kaum intelektual yang seharusnya memberi contoh baik bagi generasi berikutnya atau rekan-rekan setara yang tidak sempat menikmati bangku kuliah.

Lalu, akankah kondisi seperti ini akan kita biarkan begitu saja? Tiada lagikah perubahan negeri yang berawal dari kampus?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun