Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Dicari Capres yang Berani Memberantas "Lelang Jabatan"

28 Maret 2019   21:05 Diperbarui: 29 Maret 2019   10:58 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Debat Keempat Capres (Sumber: tribunnews.com)

Kasus OTT salah seorang ketua partai besar di negeri ini ternyata menguak adanya praktik jual beli jabatan di lingkungan sebuah kementerian. Sebelumnya mantan Bupati Klaten juga tertangkap OTT karena kasus serupa di lingkungan pemerintah daerah dua setengah tahun lalu. Dua kasus tersebut bak seperti gunung es di tengah banyaknya kasus-kasus seperti itu namun tak pernah bisa terungkap.

Jual beli jabatan sepertinya sudah menjadi hal yang lumrah terjadi di kalangan birokrat. Jarang sekali saya mendengar orang promosi atau mutasi karena prestasi. Justru lebih sering terdengar kalau si A promosi karena dekat dengan menteri, atau si B mutasi ke tempat basah karena menjadi 'tambang emas' pak dirjen, atau si C anak tokoh berpengaruh sehingga cepat mendapatkan posisi cantik. 

Kompetensi cenderung diabaikan, lebih condong kepada kedekatan pada pihak-pihak tertentu yang berkuasa saja.

Sebenarnya banyak orang pintar dan orang baik menjadi abdi negara. Namun biasanya kalah dengan orang-orang yang loyal dan royal kepada pimpinan. Pimpinan lebih memperhatikan anah buah yang setia kepadanya, apalagi yang rajin mentraktir atau menjamu pimpinannya. 

Loyalitas dan royalitas merupakan point penting penentu nasib seseorang di hadapan para pimpinan. Percuma pintar dan baik kalau berani membantah perintah pimpinan walau sikap tersebut dibenarkan bila perintah pimpinan di luar ketentuan, apalagi bila disampaikan secara lisan.

Jadi tidak heran kalau banyak pejabat yang bicara belepotan ketika diwawancara atau presentasi dalam sebuah acara. Lha wong diangkatnya saja dengan cara-cara seperti itu, karbitan, sehingga tidak menguasai masalah yang menjadi wewenangnya. 

Sementara orang-orang yang berpengalaman malah disingkirkan atau diarsipkan karena mereka takut kalau promosi bakal menyaingi dirinya, atau tidak ada lagi orang yang bisa membantunya kalau yang bersangkutan pindah. Jadilah orang-orang berpengalaman tersebut 'fosil' abadi karena tidak pernah dipromosikan walau sudah kenyang asam garam di tempat tersebut.

Saya merasakan sendiri para pimpinan datang dan pergi, sementara saya sendiri duduk manis sampai kapalan selama belasan tahun, nyaris tidak diperhatikan. Para pimpinan itu cuma mengeruk informasi berharga, dipoles sana sini, lalu ngomong ga jelas sampai bingung menjawab pertanyaan. 

Kalau sudah bingung kita pula yang harus menghadapi mereka-mereka yang bertanya setajam silet. Setelah itu pimpinan lama pergi, ganti lagi pimpinan baru, perilakunya setali tiga uang, sebelas duabelas dengan yang lama.

Mungkin bukan tidak ada perhatian dari pimpinan langsung, namun ada sebuah lembaga yang disebut Baperjakat yang menentukan nasib orang-orang di bawah. Walau kita sudah setengah mati membantu pimpinan, kalau para anggota Baperjakat yang lain tak kenal, jangan harap nama kita disebut-sebut untuk dipromosikan. Kadang saking sebelnya istilah tersebut sering dipelesetkan menjadi Baper Jahat, sudah baperan jahat pula.

Sekarang memang sudah dimulai lelang jabatan terbuka yang dapat diikuti oleh PNS yang memenuhi syarat minimal. Namun seperti disinyalir oleh Prof. Mahfud di ILC minggu lalu, yang masuk ranking siapa yang dilantik siapa. 

Lelang jabatan yang legal kalah dengan 'lelang jabatan' di bawah tangan. Ranking pertama hasil lelang jabatan belum pasti jadi dilantik, bisa jadi kalah 'lelang jabatan' dengan yang dilantik. Sayangnya 'lelang jabatan' ini seperti kentut, sulit dicari buktinya, namun terasa sekali baunya.

Problem inilah yang membuat pelayanan publik lamban sekali kemajuannya. Banyaknya pejabat yang diangkat lebih karena kedekatan pada pihak tertentu yang berkuasa membuat semua urusan menjadi lebih mudah diproses secara 'ilegal' daripada resmi. 

Mengutip ucapan mantan ketua MK Jimly Asshiddiqie, mereka lebih takut dipecat atau dicopot dari jabatannya ketimbang masuk penjara. Jadi jangan heran walau sudah ratusan kali OTT, tetap saja bakal ada lagi OTT berikutnya akibat dikejar setoran untuk mengembalikan uang yang telah dikeluarkan demi menduduki sebuah jabatan.

Memang tidak semua pejabat seperti itu, namun jumlah pejabat yang benar-benar amanah mungkin hanya bisa dihitung dengan jari. Itupun biasanya menjadi tameng untuk menunjukkan bahwa ada lho orang bersih di instansinya. 

Saya benar-benar salut dengan mereka yang berhasil menduduki jabatan tinggi tanpa neko-neko, karena berhasil melawan mafia percaloan jabatan di lingkungan instansi tersebut.

Oleh karena itu, saya hanya berharap para capres lebih fokus untuk memberantas percaloan jabatan, mengingat right man on the right place sangat menentukan maju mundurnya negeri ini. 

Saya ingin tahu apa solusi manjur mengatasi hal tersebut, bukan jawaban normatif seperti mengadakan lelang jabatan resmi, tapi juga ketegasan untuk segera melantik orang-orang yang lolos seleksi, bukan malah membiarkan orang lain mengadakan "lelang jabatan" sendiri secara ilegal dengan memanfaatkan kedekatan dengan orang penting seperti anggota dewan, ketua parpol, dan sebagainya seperti yang dilakukan tersangka OTT kasus Romy.

Kalau ingin Indonesia maju, harus ada perubahan revolusioner terhadap sistem kepegawaian kita sekarang. Tidak ada lagi istilah 'jadi PNS ga bakalan dipecat kecuali korupsi'. Kalau memang tidak kompeten sebaiknya diberhentikan dengan hormat saja, jangan sekedar dimutasi atau dipindahkan ke tempat lain karena akan jadi benalu yang membebani anggaran negara saja. 

Bayangkan kalau ada pejabat yang dicopot, akhirnya dipindah ke fungsional karena "tidak enak", padahal boleh dikatakan orang tersebut tidak produktif tapi masih tetap digaji negara, berapa anggaran yang harus dikeluarkan untuk menggaji orang-orang "pengangguran" tersebut. 

Lebih baik anggaran tersebut dialihkan untuk meningkatkan kinerja pegawai yang masih produktif bekerja demi kemajuan negara. Saya akan pilih capres yang memperhatikan nasib abdi negara seperti saya dan teman-teman saya yang berpotensi namun terabaikan selama ini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun