Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Stop MRT, Kembangkan BRT di Kota Metropolitan

28 Januari 2019   10:33 Diperbarui: 28 Januari 2019   10:52 643
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Trans Jakarta vs MRT (Sumber: Sindonews.com)

Indonesia khususnya ibukota DKI Jakarta boleh dibilang terlambat untuk mengembangkan transportasi massal terutama dengan menggunakan moda kereta. Mahalnya harga lahan dan teknologi pembangunan kereta komuter membuat Gubernur Sutiyoso saat itu membuat terobosan dengan meluncurkan bus Trans Jakarta yang berbasis BRT pada tahun 2004. 

Konsep ini mengadopsi sistem transportasi massal berbasis bus (BRT) dari kota Bogota di Kolombia yang dinilai sukses.

Setelah 15 tahun beroperasi, boleh dibilang Trans Jakarta sukses dan konsisten menjalankan model BRT tersebut. Dimulai dari dua koridor Jakarta - Kota dan Pulogadung - Kalideres, sekarang sudah berkembang menjadi 13 koridor beserta anak-anak cabangnya dan bis-bis pengumpan (feeder bus) yang melayani wilayah pinggiran Jakarta seperti Bekasi, Tangerang, Bogor, dan Ciputat. 

Ke depan direncanakan 4 koridor baru lagi sehingga total bakal berjumlah 17 koridor yang melayani hampir 80% wilayah DKI Jakarta.

Di era Gubernur Jokowi ide pembangunan MRT kembali muncul dan sebagai tahap awal dibangunlah Fase I dari Lebak Bulus ke Bundaran HI dengan panjang 15,7 Km yang rencananya akan diresmikan pada bulan Maret 2019 ini. 

Namun pembangunannya cukup menuai kontroversi karena mahalnya biaya konstruksi yang mencapai 16 Trilyun Rupiah, belum lagi biaya operasionalnya. Tarifnyapun direncanakan bakal lebih mahal dari busway yaitu dua hingga tiga kali lipatnya yaitu dari 7000 - 10.000 Rupiah sekali jalan.

Di sisi lain, pemprov DKI juga telah membangun jalur layang busway pertama di Indonesia pada koridor 13 dari Ciledug (Petukangan) ke Tendean sepanjang 9,3 Km dengan biaya hanya 2,3 Trilyun Rupiah saja. 

Koridor ini dibangun untuk mengatasi kemacetan akut yang terjadi di sepanjang jalan yang dilalui koridor tersebut dengan harapan para pengendara kendaraan bermotor pindah menggunakan angkutan umum. Sejak diresmikan tahun 2017 lalu, jumlah penumpang mencapai 15.000 orang per hari. 

Bahkan ketika jam operasional ditambah dari pukul 19.00 menjadi 23.00, jumlah penumpang meningkat menjadi rata-rata 17.500 orang per hari. Hal ini menunjukkan betapa tingginya animo masyarakat menggunakan busway koridor 13 yang menggunakan jalur layang tersebut karena bebas macet dan ngetem.

* * * *

Dilihat dari biaya pembangunan dan tarif yang (bakal) dikenakan, sebaiknya pemerintah perlu berpikir ulang untuk membangun jalur MRT atau LRT karena jauh lebih efisien membangun BRT daripada kedua jalur kereta tersebut. Bandingkan saja untuk jarak 15,7 Km butuh 16 Trilyun, artinya diperlukan 1 Trilyun lebih untuk 1 kilometernya dengan variasi elevated dan terowongan. 

Sementara untuk jalur layang busway hanya menghabiskan anggaran 2,3 Trilyun untuk jarak 9,3 Km atau sekitar 250 Milyar per kilometer, sekitar seperempatnya saja dari biaya pembangunan MRT.

Sementara itu anggaran yang direncanakan untuk membangun jalur MRT Fase II dari Bundaran HI ke Ancol Timur diperkirakan membengkak hingga 38 Trilyun Rupiah karena ada perubahan rute dari Kampung Bandan ke Ancol sehingga diperlukan penambahan jalur sepanjang 6,1 Km dari panjang sebelumnya 8,5 Km sehingga total panjang menjadi 14,6 Km. 

Hal ini berarti butuh biaya 2,6 Trilyun Rupiah per kilometer karena konstruksi seluruhnya berada di bawah tanah alias berbentuk terowongan. Tentu ini jauh lebih mahal ketimbang membangun jalan layang busway yang bisa memanfaatkan median jalan tanpa harus menggali terowongan.

Dari sisi tarif juga demikian, tarif Trans Jakarta disubsidi sehingga masih berada pada angka 3500 Rupiah, sementara tarif MRT direncanakan sekitar 7000 - 10000 Rupiah atau sekitar 8500 Rupiah bila dianggap flat.

Tentu para pengguna Trans Jakarta akan berpikir keras untuk berpindah ke MRT karena perbedaan tarif yang signifikan, kecuali bila tarif Trans Jakarta dinaikkan setara dengan tarif MRT. Rencana Pemprov DKI untuk menghapus koridor 1 Blok M - Kota demi 'memaksa' orang untuk berpindah ke MRT juga patut ditinjau kembali karena sistemnya belum terintegrasi dengan jaringan Trans Jakarta lainnya.

Dari sisi penggunaan lahan juga lebih efisien bis daripada kereta karena ukuran bis lebih pendek dari gerbong kereta, lagipula bis lebih fleksibel menggunakan lahan untuk parkir atau menepi daripada kereta yang harus memiliki depo tersendiri yang harus terhubung dengan rel. 

Memang kelebihan kereta dari bis adalah kemampuannya menarik hingga beberapa gerbong sekaligus dalam satu waktu sehingga lebih efisien dalam mengangkut penumpang di waktu sibuk, namun jadi tidak efisien bila dioperasikan di luar jam sibuk karena banyak gerbong yang kosong melompong. 

Sementara bis bisa diatur intervalnya saat jam sibuk maupun jam sepi penumpang sehingga tidak harus semua bis beredar dalam jumlah yang sama dalam satu waktu tertentu.

* * * *

Melihat kondisi sekarang ini dimana pembangunan MRT jauh lebih mahal daripada BRT, ada baiknya pemerintah menghentikan pembangunan MRT untuk selamanya dan melirik kembali BRT untuk dikembangkan menjadi jalur layang. 

Kesuksesan jalur layang Ciledug-Tendean patut diapresiasi dan dijadikan contoh untuk membangun jalur layang berikutnya baik di Jakarta maupun di kota-kota besar lainnya di Indonesia.

Sayangnya memang kesuksesan Trans Jakarta mengelola BRT belum diikuti oleh trans-trans lainya di Indonesia seperti Semarang, Palembang, Bandung, Balikpapan dan sebagainya. Hanya Trans Jogja saja yang cukup sukses mengikuti jejak Trans Jakarta dalam hal disiplin menaik turunkan penumpang, pemeliharaan halte dan prasarana buswaynya walau belum memiliki jalur busway tersendiri. 

Sementara lainnya masih seperti bis biasa yang kadang masih berhenti di sembarang tempat, haltenya tidak terurus, ngetem sembarangan, dan sebagainya.

Oleh karena itu, yang perlu segera dibenahi dalam pengembangan BRT di Indonesia adalah masalah pengelolaan prasarana seperti pembuatan dan pengamanan jalur busway, pemeliharaan halte, serta disiplin baik pengemudi maupun masyarakat untuk tidak berhenti sembarangan, tepat waktu, dan tidak ugal-ugalan mengejar setoran. 

Perlu kemauan dan konsistensi dari pemerintah maupun masyarakat untuk tetap bertahan dalam waktu lama seperti Trans Jakarta dan Trans Jogja.

Di tengah semakin mahalnya harga lahan dan biaya konstruksi, pembangunan BRT menjadi solusi paling efisien untuk mengatasi pergerakan penduduk di dalam suatu wilayah yang semakin tinggi dan semakin jauh daya jangkaunya. 

Pembangunan MRT hanya bisa dilakukan pada kota baru atau kota yang sedang berkembang ketika harga tanah masih murah serta konstruksinya tidak memerlukan biaya besar. Stop bangun MRT, kembangkan BRT untuk Indonesia maju.

Sumber informasi:
Transjakarta
MRT Jakarta
@kumparannews

Biaya Pembangunan MRT vs Bus Layang:
Proyek Busway Tendean Telan Rp 23 TRiliun
infastruktur
proyek mrt

Tarif MRT vs Busway vs Ojol

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun