Mereka cukup aktif untuk berdiskusi maupun mengikuti acara-acara bertemakan sejarah baik di kota Malang maupun kota-kota lainnya seperti Jogja dan Jakarta. Namun saat itu belum ada tempat yang pasti untuk nangkring atau sekedar ngopi bareng, lokasinya masih berpindah-pindah di seputaran Kota Malang.
Walau bukan warga asli Kampung Tawangsari, sebagai abdi negara yang bertugas di kelurahan tersebut Pak Eko melihat adanya potensi sejarah di kampung ini karena disini pernah tinggal seorang jenderal bernama Sumitro (mantan Pangkopkamtib) yang turut berjuang merebut kemerdekaan di kota Malang.Â
Potensi itulah yang kemudian dimanfaatkan untuk mengembangkan kampung tersebut sebagai kampung sejarah. Kebetulan Pemkot Malang saat itu mengadakan lomba tematik antar kampung dan Pak Eko tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut untuk mengikutsertakan kampung Tawangsari sebagai salah satu pesertanya.
Rupanya "sambutan" luar biasa dan tak diduga tersebut justru membuat Pak Wali terkesan sehingga langsung menobatkan kampung tersebut sebagai salah satu pemenang lomba serta diganjar satu buah gedung yang berdiri di tanah Pemda yang terletak di kampung tersebut.
Awalnya mereka sempat bingung hendak diisi apa gedung tersebut, namun prinsip Pak Eko lebih baik mulai dari apa yang ada ketimbang hanya berwacana tanpa aksi nyata, membuat mereka bergotong-royong mengumpulkan barang-barang terkait perang untuk dipajang di museum tersebut.
Pertama masuk ke museum saya langsung kagum dengan pembuatnya yang berhasil menciptakan diorama seperti di Museum Satriamandala atau Museum Jogja Kembali. Sebenarnya Pak Eko pernah diberikan hibah beberapa senjata asli dari seseorang, namun karena takut bermasalah di kemudian hari Pak Eko menitipkan senjata tersebut di Museum Brawijaya.Â