Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

ILC yang (Tak) Lagi Seru Namun Lebih Berbobot

10 Oktober 2018   12:20 Diperbarui: 10 Oktober 2018   12:24 1156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi yang menonton acara ILC (Indonesia Lawyers Club) di sebuah stasiun TV swasta dengan tema "Di Balik Drama Hoax Ratna Sarumpaet" pasti menemukan ada hal yang agak sedikit ganjil.

Tak seperti acara-acara ILC sebelumnya yang selalu ramai dan gaduh oleh riuh rendahnya para narasumber yang saling bersahutan satu sama lain, ILC kali ini terkesan 'santun' dan cenderung normatif. Sebuah antiklimaks mengingat dalam acara tersebut yang paling ditunggu adalah serunya perdebatan antar sesama narasumber.

Dari awal acara yang dibuka dengan penyampaian pesan Ratna Sarumpaet oleh pengacaranya Desmihardi hingga menjelang acara ditutup yang diakhiri oleh penyampaian kondisi psikologis Ratna Sarumpaet oleh psikiater Hubertus Kasan Hidayat, nyaris tak ada pertempuran seru di antara narasumber. 

Hampir semua narasumber menyampaikan pendapatnya secara normatif, bahkan Dahnil sekalipun yang mewakili timses Prabowo Sandi tampak lugu dan hanya menyampaikan kronologis peristiwa kebohongan Ratna Sarumpaet dengan datar nyaris tanpa ekspresi, hanya di akhir sedikit membandingkan bahwa Presiden Jokowipun pernah tertipu oleh Archandra Tahar yang ternyata masih warga negara AS.

Fahri Hamzah yang biasanya berapi-api kali ini juga tampil antiklimaks seperti pesan yang disampaikannya sendiri. Walau masih tetap melakukan serangan terhadap lawan politik (dalam hal ini Budiman Sudjatmiko), namun tutur katanya masih jauh lebih santun dibanding edisi-edisi sebelumnya. 

Hanya Budiman Sudjatmiko saja yang tampak agak berapi-api seolah hendak memuntahkan amarahnya karena masih tak terima inkonsistensi kubu lawan, ketika Ahok harus 'dipaksa' mengikuti proses hukum padahal sudah meminta maaf, sementara kubu lawan tak mau diproses hukum dengan alasan sudah meminta maaf.

Tidak adanya narasumber yang biasa mengisi ILC seperti Mahfud MD, Rocky Gerung, Fadli Zon, Ruhut Sitompul memang sangat terasa, ibarat makan ikan tanpa garam. Perdebatan hanya terjadi antara Fahri dan Budiman, itupun hanya Budiman yang tampak bersemangat, sementara Fahri terlihat setengah hati menanggapi serangan Budiman. Sementara Saor Siagian yang melaporkan Fahri dan Prabowo nyaris diabaikan padahal penyampaiannya tak kalah berapi-api dari Budiman, namun tak digubris oleh Fahri Hamzah yang turut mendengarkan uraiannya.

Narasumber lainnya seperti pak Setyo Wasisto dari Polri, Ilham Bintang dari Dewan Kehormatan PWI, Prof. Andi Hamzah ahli hukum pidana, Burhanuddin Muhtadi pengamat politik, tampil datar dan nyaris tak ada nada tinggi dalam penyampaiannya. 

Hanya Setyo sedikit mengklarifikasi pernyataan Ilham Bintang bahwa semua press release ada bukti rekamannya, jadi tak ada isu lain diluar rilis yang telah dikeluarkan Polri. Masing-masing hanya menyampaikan sudut pandangnya sesuai keahlian yang dimiliki.

Inti dari semua pembicaraan ini pada akhirnya meminta semua pihak untuk tidak lagi mempolitisasi kasus ini dan cukup berhenti di Ratna Sarumpaet saja. Lagipula bagi 'die harder' Prabowo, nyaris tak ada pengaruhnya sama sekali terhadap penurunan elektabilitas beliau, hanya sedikit berpengaruh pada swing voter yang masih galau menentukan pilihan, namun karena pilpres masih lama, bisa saja angin kembali bertiup ke kubu Prabowo.

Saya hanya tertarik meng'quote' pandangan ahli psikiater pak Kasan yang menyatakan bahwa di negara kita banyak pemimpin kurang matang. Beliau mencontohkan Fahri bahwa sebenarnya hatinya baik, tapi mulutnya celaka, sudah minta maaf tapi menyerang lagi. Cara ngomong itulah yang menggambarkan kurang matangnya para tokoh ternama di negeri ini dalam menanggapi suatu masalah.

Namun, ada sisi positif dari narasumber yang tampil, walau terkesan santun namun agak berbobot materinya, tidak sekedar debat kusir seperti yang sering terjadi selama ini. Masing-masing ahli tampak lebih kompeten dalam menyampaikan pandangannya, termasuk Burhanuddin Muhtadi yang selama ini cenderung kepada Jokowi-Ma'ruf mampu menyampaikan pandangan secara obyektif, bahwa belum ada bukti sebuah skenario besar di balik kebohongan tersebut, juga memuji Dahnil dalam meredam situasi ketika timnya menjadi korban kebohongan tersebut.

Demikian pula Prof. Andi Hamzah yang mempertanyakan pasal-pasal yang digunakan untuk menjerat Ratna Sarumpaet. Ada ketidaktepatan penggunaan Pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 karena belum terjadi keonaran secara fisik akibat berita bohong tersebut. Keonaran baru sebatas ada di medsos dan itupun belum bisa dianggap sebagai keonaran fisik. Penggunaan UU ITE juga kurang tepat karena kata bohong termasuk delik materiil dalam hal transaksi elektronik.

Ilham Bintang sendiri mengatakan bahwa keonaran di medsos masih sebatas hiburan, belum sampai pada naiknya harga beras atau demo di SPBU. Kalau menggunakan UU ITE bisa jadi semua wartawan masuk penjara karena turut menyebarkan berita bohong tersebut dan melanggar kode etik wartawan yang harus memvalidasi berita sebelum diturunkan. Politik di Indonesia masih main-main, belum terlalu serius berpolitik.

Pak Setyo sendiri menyampaikan kronologis tindakan yang dilakukan Polri untuk menanggapi isu tersebut, mulai dari menyisir rumah sakit hingga menemukan yang bersangkutan ternyata ada di sebuah klinik bedah plastik. Lalu setelah diolah oleh tim penyidik, baru dilakukan konferensi pers untuk menyampaikan kabar sesungguhnya dengan bukti-bukti otentik yang tak terbantahkan. Hal inilah mungkin yang mendorong Ratna Sarumpaet untuk mengakui kebohongannya setelah kejadian sebenarnya diungkap oleh polisi.

Terakhir, psikiater Kasan Hidayat menyampaikan pandangannya tentang gangguan kejiwaan yang disebut hipomania, dengan ciri-ciri semangat, aktif, banyak ide, dan tak kenal lelah hingga batas tertentu menjadi kelainan yang disebut bipolar. 

Kondisi orang dengan gejala tersebut adalah mood naik turun, bila semangat hajar terus, esoknya depresi sehingga mengaku. Berkaitan dengan Ratna, ini murni terjadi karena reaksi kepanikan karena efek bedah plastik, bukan niat untuk berbohong. Sayangnya yang menerima pesan dari Ratna terlalu reaktif menanggapi pesan tersebut sehingga timbul kehebohan.

Itulah kira-kira pesan yang dapat saya tangkap dari acara ILC semalam. Tampak kurang seru namun lebih berbobot materinya karena masing-masing narasumber mencoba menyampaikan narasinya secara ilmiah dan logis, tidak sekedar mengumbar emosi yang berlebihan (kecuali satu dua narsum yang memang berseberangan). 

Lalu, suasana ILC yang cenderung 'santun' ini apakah terpengaruh peristiwa sehari sebelumnya (sumber di sini) ketika sang pemilik mengundang timses Jokowi-Ma'ruf ke rumahnya? Apakah ada pesan khusus dari sang pemilik untuk lebih soft mencari narasumber? Hanya Tuhan yang tahu. 

Tapi yang jelas, nuansa yang terlihat dalam acara ILC malam tadi benar-benar jauh dari harapan penonton yang masih ingin menyaksikan serunya 'debat kusir' antar narasumber. Ke depan, apakah ILC bakal tampil lebih santun seperti ini? Kita tunggu edisi selanjutnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun