Namun, ada sisi positif dari narasumber yang tampil, walau terkesan santun namun agak berbobot materinya, tidak sekedar debat kusir seperti yang sering terjadi selama ini. Masing-masing ahli tampak lebih kompeten dalam menyampaikan pandangannya, termasuk Burhanuddin Muhtadi yang selama ini cenderung kepada Jokowi-Ma'ruf mampu menyampaikan pandangan secara obyektif, bahwa belum ada bukti sebuah skenario besar di balik kebohongan tersebut, juga memuji Dahnil dalam meredam situasi ketika timnya menjadi korban kebohongan tersebut.
Demikian pula Prof. Andi Hamzah yang mempertanyakan pasal-pasal yang digunakan untuk menjerat Ratna Sarumpaet. Ada ketidaktepatan penggunaan Pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 karena belum terjadi keonaran secara fisik akibat berita bohong tersebut. Keonaran baru sebatas ada di medsos dan itupun belum bisa dianggap sebagai keonaran fisik. Penggunaan UU ITE juga kurang tepat karena kata bohong termasuk delik materiil dalam hal transaksi elektronik.
Ilham Bintang sendiri mengatakan bahwa keonaran di medsos masih sebatas hiburan, belum sampai pada naiknya harga beras atau demo di SPBU. Kalau menggunakan UU ITE bisa jadi semua wartawan masuk penjara karena turut menyebarkan berita bohong tersebut dan melanggar kode etik wartawan yang harus memvalidasi berita sebelum diturunkan. Politik di Indonesia masih main-main, belum terlalu serius berpolitik.
Pak Setyo sendiri menyampaikan kronologis tindakan yang dilakukan Polri untuk menanggapi isu tersebut, mulai dari menyisir rumah sakit hingga menemukan yang bersangkutan ternyata ada di sebuah klinik bedah plastik. Lalu setelah diolah oleh tim penyidik, baru dilakukan konferensi pers untuk menyampaikan kabar sesungguhnya dengan bukti-bukti otentik yang tak terbantahkan. Hal inilah mungkin yang mendorong Ratna Sarumpaet untuk mengakui kebohongannya setelah kejadian sebenarnya diungkap oleh polisi.
Terakhir, psikiater Kasan Hidayat menyampaikan pandangannya tentang gangguan kejiwaan yang disebut hipomania, dengan ciri-ciri semangat, aktif, banyak ide, dan tak kenal lelah hingga batas tertentu menjadi kelainan yang disebut bipolar.Â
Kondisi orang dengan gejala tersebut adalah mood naik turun, bila semangat hajar terus, esoknya depresi sehingga mengaku. Berkaitan dengan Ratna, ini murni terjadi karena reaksi kepanikan karena efek bedah plastik, bukan niat untuk berbohong. Sayangnya yang menerima pesan dari Ratna terlalu reaktif menanggapi pesan tersebut sehingga timbul kehebohan.
Itulah kira-kira pesan yang dapat saya tangkap dari acara ILC semalam. Tampak kurang seru namun lebih berbobot materinya karena masing-masing narasumber mencoba menyampaikan narasinya secara ilmiah dan logis, tidak sekedar mengumbar emosi yang berlebihan (kecuali satu dua narsum yang memang berseberangan).Â
Lalu, suasana ILC yang cenderung 'santun' ini apakah terpengaruh peristiwa sehari sebelumnya (sumber di sini) ketika sang pemilik mengundang timses Jokowi-Ma'ruf ke rumahnya? Apakah ada pesan khusus dari sang pemilik untuk lebih soft mencari narasumber? Hanya Tuhan yang tahu.Â
Tapi yang jelas, nuansa yang terlihat dalam acara ILC malam tadi benar-benar jauh dari harapan penonton yang masih ingin menyaksikan serunya 'debat kusir' antar narasumber. Ke depan, apakah ILC bakal tampil lebih santun seperti ini? Kita tunggu edisi selanjutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H