Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

73 Tahun Merdeka, Kita Masih Mudah Diadu Domba

16 Agustus 2018   11:56 Diperbarui: 17 Agustus 2018   04:04 1959
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak terasa sudah 73 tahun kita menikmati udara kemerdekaan, dan sudah banyak perubahan yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tetapi masih ada satu persoalan yang tertinggal hingga saat ini.

Di awal kemerdekaan kita sibuk bebenah menyisir sisa-sisa penjajahan Belanda yang masih coba untuk mengangkangi negeri ini dengan membonceng tentara NICA.

Lima tahun berikutnya pemerintah sibuk memadamkan api pemberontakan yang terjadi di daerah karena kurangnya perhatian pemerintah pusat, hingga periode presiden pertama berakhir pasca peristiwa pemberontakan G30S/PKI yang masih menghantui hingga saat ini.

Periode presiden kedua, kondisi negara relatif stabil sehingga kita bisa membangun. Pembangunan berlangsung di mana-mana, walau sebagian besar masih terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Sumatera.

Sementara pulau-pulau lain lebih banyak dieksploitasi sumberdaya alamnya untuk kepentingan pembangunan tersebut. Ketimpangan mulai tampak di akhir periode pemerintahan presiden kedua yang berujung pada pergantian kepemimpinan di tengah jalan.

Kestabilan bak api dalam sekam dan baru muncul setelah kejatuhan presiden kedua. Timor Timur lepas dari genggaman, Aceh dan Papua kembali menggeliat, sementara konflik horizontal mulai marak seperti terjadi di Ambon dan Sampit, serta bibit terorisme mulai tumbuh.

Kondisi politik kembali labil dengan mudahnya dua presiden lengser dalam waktu yang tak terlalu lama. Presiden kelima mencoba membenahi situasi yang kurang kondusif tersebut dan berhasil menyelenggarakan pemilu presiden langsung untuk pertama kalinya.

Presiden berikutnya yang merupakan mantan tentara berhasil mengkondisikan negara kembali stabil dan tidak banyak riak terjadi pada masa pemerintahannya. Aceh berhasil didamaikan, Papua juga mulai redam walau masih ada serpihan separatis yang tetap aktif. Konflik horizontal mulai mereda.

Sayangnya di periode kedua berbagai kasus korupsi yang menimpa partainya mulai terungkap satu persatu sehingga agak mencoreng namanya di penghujung pemerintahannya.

Pilpres 2014 seperti membuka kotak pandora yang selama ini tertutup rapat, yaitu betapa mudahnya kita diadu domba bahkan oleh orang kita sendiri. Meski belum benar-benar terbuka, sepertinya.

Presiden ketujuh yang sedang giat membangun kembali negara melalui program infrastrukturnya menjadi sasaran hoax para pemilih penantangnya, mulai dari isu PKI, anti Islam, pro-Tiongkok, dan isu-isu sejenis yang sedikit banyak mengganggu kecepatan gerak pembangunan yang sedang diselesaikannya satu demi satu.

Bangsa ini seolah terpecah menjadi dua kubu antara yang pro pemerintah, tepatnya pro presiden sekarang dengan penentang yang menjadi pendukung penantangnya dulu.

Situasi ini masih berlangsung meski sang petahana telah menggandeng 'lawannya' untuk berada dalam satu bahtera pada pilpres mendatang. Belum terlihat perubahan signifikan setelah pengumuman capres cawapres seminggu lalu, malah kecenderungan golput tampak semakin meningkat.

Penerapan praktik devide et impera atau pecah belah dan jajahlah ala Belanda terhadap Indonesia di masa lalu seperti menemukan buktinya saat ini. Bangsa ini ternyata rapuh, mudah sekali dikompori oleh pihak lain yang sebenarnya berkaki dua, satu kaki berada di pihak pendukung petahana, satu kaki lagi berada di pihak penantang.

Mereka inilah yang menginginkan Indonesia kembali berantakan lalu dengan mudah kembali menguasai sumberdaya alam yang semakin menipis.

Menyatukan 300-an etnis dalam satu negara memang tak mudah. Ada banyak kepentingan yang harus diakomodasi, namun tak mungkin semuanya bisa dipenuhi.

Kita seharusnya bersyukur tidak ada satupun dari etnis tersebut yang benar-benar ingin memisahkan diri dari NKRI. Bayangkan, tidak mudah menyatukan ratusan etnis dalam satu negara selama 73 tahun masih eksis.

Yugoslavia adalah contoh mudah betapa rapuhnya suatu negara multi etnis yang tidak dibarengi kepemimpian yang kuat, begitu Tito wafat, lambat laun etnis penghuni negara tersebut memisahkan diri membentuk entitas negara sendiri walau harus melalui perang yang berkepanjangan.

Uni Soviet juga demikian, 15 negara bagian yang pernah bersatu di era Stalin lepas pasca reformasi yang digaungkan oleh Mikhail Gorbarchev.

Untunglah Rusia sebagai negara bagian terbesar masih mampu mempertahankan ratusan etnis yang ada di dalam wilayahnya hingga saat ini, walau satu dua negeri di wilayah Kaukasus masih berupaya mencoba untuk memisahkan diri.

Di bawah Putin, Rusia kembali bangkit untuk bertarung melawan Amerika Serikat dan merebut kembali kejayaan Uni Sovyet yang mampu menciptakan perang dingin melawan dunia barat.

Melihat situasi sekarang ini, masih jauh rasanya perpecahan itu bakal terjadi. Apalagi percampuran etnis yang terjadi berkat pernikahan antar suku di Indonesia membuat anak-anak kita tak lagi bisa mengatakan berasal dari suku A atau B karena ayah dan ibunya sudah berbeda suku.

Inilah yang membedakan Indonesia dengan Yugoslavia karena mereka masih banyak yang mempertahankan kemurnian etnisnya daripada membuat pernikahan antar suku.

Perpecahan yang terjadi masih sebatas di media sosial dan lebih kepada pilihan politik. Namun apabila situasi devide et impera saat ini dibiarkan begitu saja tanpa ada solusi, jangan harap perang hanya terjadi di dunia maya saja, karena bibit-bibit perpecahan akibat pilihan politik sudah mulai merambah ke dunia nyata, pertemanan berubah jadi permusuhan, persaudaraan menjadi putus ikatan darah, dan sebagainya.

Bukan tidak mungkin konflik horizontal kembali terbuka selama tidak ada penyelesaian tegas dari semua pihak yang berkepentingan, tidak hanya dari pemerintah saja tapi juga masyarakat itu sendiri dan tokoh-tokoh kharismatis yang mampu meredam segala isu yang berkembang.

Bangsa ini, dan Asia pada umumnya masih memandang pemimpin dari kharismanya, bukan dari sistem yang dibangun seperti di dunia barat. Kharisma yang kuat (atau dipaksakan kuat) akan melindungi suatu bangsa dari ancaman perpecahan. Sebaliknya lemahnya kharisma akan mempercepat proses disitegrasi bangsa.

Oleh karena itu, diperlukan kepemimpinan yang kuat untuk tetap mempersatukan bangsa ini dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika.

Terakhir, semoga bangsa ini tetap hidup hingga seribu tahun lagi, seperti kata seorang pujangga di masa kemerdekaan dulu.

"Aku mau hidup seribu tahun lagi ...." Chairil Anwar, Maret 1943 dalam sajak 'Aku'

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun