Inilah yang membedakan Indonesia dengan Yugoslavia karena mereka masih banyak yang mempertahankan kemurnian etnisnya daripada membuat pernikahan antar suku.
Perpecahan yang terjadi masih sebatas di media sosial dan lebih kepada pilihan politik. Namun apabila situasi devide et impera saat ini dibiarkan begitu saja tanpa ada solusi, jangan harap perang hanya terjadi di dunia maya saja, karena bibit-bibit perpecahan akibat pilihan politik sudah mulai merambah ke dunia nyata, pertemanan berubah jadi permusuhan, persaudaraan menjadi putus ikatan darah, dan sebagainya.
Bukan tidak mungkin konflik horizontal kembali terbuka selama tidak ada penyelesaian tegas dari semua pihak yang berkepentingan, tidak hanya dari pemerintah saja tapi juga masyarakat itu sendiri dan tokoh-tokoh kharismatis yang mampu meredam segala isu yang berkembang.
Bangsa ini, dan Asia pada umumnya masih memandang pemimpin dari kharismanya, bukan dari sistem yang dibangun seperti di dunia barat. Kharisma yang kuat (atau dipaksakan kuat) akan melindungi suatu bangsa dari ancaman perpecahan. Sebaliknya lemahnya kharisma akan mempercepat proses disitegrasi bangsa.
Oleh karena itu, diperlukan kepemimpinan yang kuat untuk tetap mempersatukan bangsa ini dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika.
Terakhir, semoga bangsa ini tetap hidup hingga seribu tahun lagi, seperti kata seorang pujangga di masa kemerdekaan dulu.
"Aku mau hidup seribu tahun lagi ...." Chairil Anwar, Maret 1943 dalam sajak 'Aku'
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H