Panasnya kuah membuat perut mengeluarkan angin, pertanda saya harus ke toilet untuk mengeluarkan isi perut yang telah berubah bentuk. Maklum, saya punya penyakit kembung sehingga gampang sekali masuk angin. Setelah minum Tolak Angin, saya langsung menuju toilet untuk BAB sekaligus mengeluarkan angin barang sejenak.
Sekitar setengah jam istirahat, perjalanan lanjut menuju kota Solo sebagai tempat persinggahan pertama. Sebenarnya bisa saja lanjut hingga ke Malang, namun karena faktor usia terpaksa saya harus transit untuk menghemat tenaga. Perjalanan cukup lancar mulai dari tol Cirebon hingga ke Brexit, dilanjutkan dengan jalur pantura yang ramai dengan truk dan bus.Â
Sampai di Semarang, kami kembali masuk jalan tol hingga keluar Salatiga. Sayang karena sudah larut malam gunung Merapi yang jadi latar belakang gerbang tol Salatiga tak nampak berganti awan hitam kelam menyelimuti gunung.Â
Tak ada halangan berarti hingga tiba di Solo pukul dua malam. Sebelum tidur, saya kembali mengkonsumsi Tolak Angin agar tidur pulas dan angin cepat berlalu dari tubuh.
Jalan tol ini tampak sepi, jarang sekali pengguna, mungkin karena baru sepotong sehingga orang malas membuang uang 20 Ribu Rupiah hanya untuk menghemat setengah jam saja.Â
Setelah keluar Sragen jalan menyempit hingga Ngawi melalui hutan jati Mantingan yang terkenal sebagai tempat hilangnya gubernur Suryo pada masa perang kemerdekaan lalu.
Setelah itu lagi-lagi kembali ke jalan biasa melalui Nganjuk hingga Kertosono sebelum kembali masuk jalan tol di daerah Bandar. Seperti di jalur Solo-Sragen, jalan tol Kertosono-Surabaya juga tampak sepi, jarang sekali kendaraan lewat, mungkin karena mahal dan belum terlalu penting untuk mengejar selisih waktu sehingga orang malas lewat jalan tol.
Suasana rest area juga sepi, hanya ada satu toko serba ada dan satu restoran yang buka, selebihnya masih tutup. Hanya ada dua mobil saja yang istirahat selain kami. Jalan tol sepertinya belum menjadi kebutuhan pengendara roda empat di Jatim kecuali saat lebaran saja.