Foto di atas saya ambil saat bertugas ke Palu beberapa tahun lalu, dan rasanya pas dengan kondisi akhir-akhir ini dimana banyak pejabat mulai dari anggota DPR, gubernur, bupati walikota, dan para pejabat struktural lainnya terkena OTT KPK. Mural tersebut seolah mengingatkan kita bahwa berandalan sebenarnya adalah para 'tikus' pejabat di negeri ini, bukan anak punk yang penampakannya saja mirip berandalan.
Maraknya OTT yang dilakukan KPK terhadap pelaku korupsi khususnya para pejabat negeri ini menimbulkan pertanyaan, apakah pejabat sekarang masih pantas untuk menjadi panutan. Jabatan menjadi identik dengan mata pencaharian sehingga wewenang apapun yang diberikan padanya wajib menghasilkan uang walaupun belum tentu legal secara hukum. Para pejabat seperti menargetkan jumlah tertentu sebagai imbal balik atas 'jasanya' meloloskan proyek atau kegiatan publik oleh pihak ketiga yang dipilihnya.
* * * *
Pejabat sejatinya adalah orang yang diberi amanah untuk mengemban tugas melayani masyarakat tanpa mengharap imbalan apapun dari jabatan yang dipegangnya.
Pejabat sudah sepantasnya dan seharusnya memberikan layanan terbaik kepada warga yang diayominya sesuai dengan wewenang yang diberikan oleh negara kepadanya.
Pejabat juga tidak boleh menerima imbalan dalam bentuk apapun di luar yang diperbolehkan oleh peraturan negara.
Pejabat harus netral, tidak boleh memihak pada golongan tertentu dalam masyarakat, dan harus bisa bersikap adil walau belum tentu dapat memuaskan semua pihak.
Karena beratnya amanah yang diemban, maka pejabat termasuk golongan orang yang 'dianggap' mulia.
Pejabat merupakan orang pilihan di antara ribuan orang yang menginginkan kursi empuknya. Segala fasilitas diberikan oleh negara kepada pejabat agar dapat melaksanakan amanah rakyat yang mulia tersebut.
Privilege atau perlakuan istimewa yang diterima pejabat tersebut membuat banyak orang berebut untuk duduk di kursi empuk tersebut, walau secara materi sudah kaya raya. Jadi pejabat bukan sekedar cari kaya, tapi juga kehormatan dan kebanggaan bagi diri dan keluarga serta golongannya.
Pernah saya ngobrol dengan seseorang yang akan jadi pejabat, padahal dia sudah kaya. Jawabannya sederhana: "Saya sudah memperoleh kekayaan, istri cantik, tapi cuma satu yang kurang, kursi bupati."Â
"Kenapa pak? Bukannya yang bapak peroleh sudah lebih dari cukup?" tanya saya.
"Kaya tanpa memegang jabatan ibarat makan sate tanpa bumbu kecap. Hambar rasanya. Jabatan itu ibarat perhiasan yang tak perlu dipamerkan karena semua orang sudah tahu kalau kita ini pejabat. Orang belum tentu tahu kalau saya kaya, tapi pasti tahu kalau saya jadi bupati." terangnya santai.
Berbagai cara dilakukan agar bisa menjadi pejabat karena kemampuan dan kepandaian diri saja tidaklah cukup. Perlu modal besar serta nyali tinggi untuk menjadi pejabat.
Sudah sering kita dengar untuk menjadi seorang kepala daerah atau anggota dewan butuh puluhan milyar rupiah. Walau sudah kaya, tapi rugi bandar donk kalau duitnya sendiri habis hanya untuk biaya pemilu.
Untuk itu dia harus patungan dengan pengusaha atau konstituennya dengan janji akan dikembalikan setelah menang nanti.
Jadi wajarlah kalau sudah menjabat dia harus kembalikan modal yang sudah keluar. Gaji pejabat kecil tentu tak bakal cukup melunasi hutang, sementara tak mungkin lagi baginya merangkap jadi pengusaha setelah menduduki jabatan publik.
Caranya sudah tentu dengan memainkan kewenangan yang dimilikinya untuk mengembalikan modal yang sudah keluar.
Para pendukung diberi fasilitas kemudahan memperoleh proyek sebagai imbalan 'jasa' atas kemenangannya, yang tentunya diambil dari uang negara.
* * * *
Di sisi lain, anak punk adalah representasi kaum jalanan yang hidupnya 'tampak' serampangan, tidak bisa diatur, dan cenderung semau gue.
Cirinya tampak jelas dari potongan rambut jabrik seperti helm tentara Romawi zaman dulu, dengan tato menghiasi tubuh dan mengenakan rompi kulit atau oscar. Wajah-wajah mereka tampak seperti calon penghuni neraka yang bakal dijauhi para orang tua yang tak menginginkan anaknya punya pacar orang tak jelas seperti ini.
Namun perkembangan zaman menimbulkan kesadaran kolektif di alam bawah sadar masyarakat kita. Maraknya pengajian dan hiburan bernuansa agamis membuat sebagian para punkers beralih status menjadi seorang muslim metallers.
Masih ingat kan teriakan salam satu jari? Ini untuk membedakan dengan salam tiga jari ala para metalis dengan meneriakkan salam tauhid alias berkhidmat hanya pada Tuhan yang Esa.
Salah satunya adalah Purgatory yang membawakan lagu-lagu beraliran punk metal yang bernafaskan Islam serta mengenalkan 'one finger movement' atau pergerakan salam satu jari.
Mereka ingin menghapus citra negatif para pemusik metal dan punkers yang erat dengan minuman keras dan seks bebas.
Mereka juga ingin membuat kesan bahwa tak semua punkers atau metallers berbuat seperti itu, bahkan sebaliknya menjadi rajin mengikuti pengajian, memberikan contoh hidup Islami, serta menyebarkan dakwah melalui musik metal.
* * * *
Lalu, siapakah sebenarnya yang lebih berandalan? Anak punk atau 'tikus' pejabat? Silakan menilai sendiri. Pastinya mural ini menunjukkan kekesalan yang amat sangat dari anak punk terhadap perilaku 'berandalan' pejabat yang melebihi seekor tikus yang masih saja terbukti hingga kini.
Catatan: Tulisan ini sebagai pengantar pameran foto di booth Kotekasiana pada acara ICD di Malang 5 Agustus 2018 dengan tema 'the Other Side of Travelling (OST)'.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H