Sebagai sebuah daerah baru hasil pemekaran pasca Orde Baru, Sulawesi Barat atau disingkat Sulbar, mungkin belum banyak dikenal dan dibahas orang.
Saya sendiri termasuk beruntung sempat menjelajahi Sulbar melalui jalan darat dari Makassar. Perjalanan mengambil masa sekitar sepuluh jam dari Makassar hingga ke Mamuju termasuk istirahat makan dan mampir sebentar di kota Majene.
Mungkin karena baru sekali lewat terutama jalur Pare-Pare hingga Mamuju, perjalanan darat yang begitu lama ternyata tidak membosankan.
Dari Makassar sampai ke Pare-Pare sebagian sudah dua jalur empat lajur dan hanya memakan waktu tiga jam saja karena sudah bisa lari kencang pada rute tersebut. Lagipula saya sudah beberapa kali melintasi jalur tersebut sejak masih sempit hingga lebar seperti sekarang ini.
Kami sempat beristirahat sejenak makan siang di sebuah saung tak jauh dari kota Pinrang. Satu jam beristirahat sudah cukup untuk melanjutkan perjalanan.
Tak sampai satu jam, kami sudah melintasi perbatasan Provinsi Sulsel (Sulawesi Selatan) dengan Sulbar (Sulawesi Barat) yang masih ditandai dengan patok lama Polmas, singkatan dari Polewali Mamasa sebelum pecah menjadi dua Kabupaten, Polewali Mandar dan Mamasa.
Kami beristirahat sejenak sambil mengabadikan pulau tersebut dari tepi jalan. Perjalanan kemudian dilanjutkan hingga memasuki kota Majene, kami pun mampir sejenak ke lokasi kegiatan yang sedang kami survey.
Menjelang azan maghrib kami tinggalkan kota Majene menuju Mamuju sebagai tempat pemberhentian terakhir kami.
Kalau malam hantunya bergentayangan, mengganggu siapapun yang lewat untuk menemani para korban sebelumnya. Bulu kuduk pun mulai berdiri ketika tepat jam sembilan malam kami benar-benar akan melintasi jembatan tersebut.
Walaupun sudah diterangi cahaya PJU, namun tetap saja suasana mistis sangat terasa di sini. Lampu hanya berada di area jembatan, sementara sebelum dan sesudahnya tetap gelap seperti sediakala.
Lagipula apakah cahaya lampu PJU mampu menembus kolong jembatan, saya juga tidak tahu persis. Jangan-jangan itu mobil jadi-jadian, karena setelah saya masuk ke dalam mobil dan berlalu meninggalkan jembatan, ketika saya tengok ke belakang mobil tersebut tak tampak lagi beserta para penumpangnya. Hanya cahaya lampu menyisakan misteri siapa saja yang pernah melintasi jembatan tersebut.
Tidak ada yang tahu pasti kapan jembatan tersebut pertama kali dibangun. Namun sejak jaman Belanda jembatan tersebut sudah ada dan menjadi satu-satunya penghubung antara Mamuju dan Majene.Â
Sekarang sebutannya menjadi jembatan kuning setelah direnovasi pemerintah dan diberi warna cat kuning. Sejak renovasi selesai, jembatan ini menjadi obyek wisata warga setempat di siang hari.
Di tengah perjalanan kami beristirahat sebentar di daerah Sendana, di sebuah rumah makan tepi pantai yang eksotis. Jangan lupa, pantai di sekitar sini juga menyimpan misteri jatuhnya pesawat Adam Air di perairan laut Sulawesi.Â
Beberapa serpihannya terdampar di pantai barat Majene dan sudah diamankan oleh penduduk setempat. Rencananya di tempat ini akan dibangun Monumen Adam untuk memperingati para korban jatuhnya pesawat tersebut.
Bahkan untuk membawa saya pun tidak sanggup karena terlalu lebar badannya. Saking kecilnya, si pengayuh becaknya malah lebih besar daripada becaknya itu sendiri.
Semoga ke depan ada perhatian dari pemerintah pusat maupun daerah untuk mengelola potensi obyek wisata tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H