Salah satu tradisi lebaran terutama buat anak-anak adalah pemberian angpao alias salam tempel dari orang-orang tua, paman, bibi, pakde, bude, om, tante, tetangga atau kerabat dekat. Biasanya salam tempel diberikan ketika bermaaf-maafan setelah sholat Ied dan makan ketupat. Kalau orang beken biasanya mengadakan open house buat salam-salaman sekaligus memberikan sedikit berkah kepada yang disalami.
Tradisi ini rupanya sudah lama dikenal dalam sejarah peradaban manusia. Baik di Tiongkok maupun di Arab, tradisi ini sudah berlangsung sejak ribuan tahun lalu dan biasanya dilakukan pada saat setelah melaksanakan ibadah di hari raya, atau saat ada perayaan pesta atau kematian. Besaran angpao atau salam tempel tidak ditentukan, tapi kalau di Tiongkok ada pertanda unik, angkanya jika dijumlahkan tidak boleh angka '4' karena berarti kematian.
Di satu sisi, salam tempel bagi si pemberi adalah sedekah sekaligus silaturahmi dengan anak-anak yang diberi. Dengan memberikan sejumlah uang diharapkan bisa membantu anak buat jajan besar setahun sekali. Selain itu salam tempel juga digunakan sebagai sarana balas budi. Kadang kita malu kalau memberi ke orang tuanya karena saya yakin mereka dulu ikhlas membantu kita, jadi balas budinya dilakukan dengan memberi ke anaknya.
Namun di sisi lain, salam tempel juga berefek negatif terutama buat yang menerimanya. Saya masih ingat waktu kecil dulu, saat lebaran selalu berusaha menyempatkan diri mampir ke rumah om X karena kalau memberi salam tempel. besarannya lumayan. Bahkan sebelum orang tua mengajak, kadang saya sudah duluan ke rumahnya sampai-sampai ortu kaget karena saya sudah nongol duluan pas mereka datang.Â
Sekali waktu om X sedang bangkrut dan tak punya cukup anggaran untuk memberi salam tempel, saya langsung pasang muka merengut seperti tak rela menerimanya. Ketika dilapori ke orang tua, beliau malah balik marah ke saya.Â
"Untuk apa kamu minta-minta ke Om X? Bikin malu papa aja! Emang papamu bokek apa!" Teriak papa nyaris membangunkan semua orang di sekitarnya.Â
Saya hanya bisa tertunduk malu dan menangis tersedu mendengar omelan papa.
Mama kemudian mendekat dan memeluk saya.
"Nak, tak semua orang punya duit waktu lebaran. Memang dulu Om X kaya, tapi kan sekarang lagi bangkrut," jelas mama padaku.Â
"Bangkrut itu apa sih Mam?" tanyaku polos.
"Bangkrut itu uangnya habis, tidak ada uang masuk ke perusahaan Om. Jadinya Om ga punya duit, paham?"
"Iya Ma....." aku belum begitu mengerti, tapi daripada kena omel lagi mending diam saja.
* * * *
Sekarang kelakuan itu menular ke anakku. Ketika berkunjung ke salah satu famili, tiba-tiba anakku berteriak,"Budee, mana angpaonya? Koq cuma salaman aja!"
Mukaku langsung merah padam dan buru-buru kuangkat anakku serta berbisik ke bude,"Harap maklum kak, namanya anak kecil. Maafin adik ya," pintaku padanya. Kakakku hanya tersenyum saja,"Ga papa dik. Biasa koq," jawabnya singkat.
Begitu pulang, langsung kami ceramahi anakku panjang lebar. Intinya jangan pernah minta-minta sumbangan ke orang lain, kalau diberi disyukuri, kalau tidak ya sudah belum rezeki.
* * * *
Memberi salam tempel memang wujud dari kesetiakawanan sosial sekaligus momen untuk bersedekah dan membantu sanak saudara yang kurang mampu. Namun salam tempel yang  sudah menjadi ritual bisa berbalik menjadi candu buat yang menerima alias ketagihan untuk meminta salam tempel kepada yang memberi. Serba salah memang, tapi yang namanya tradisi tetap harus dijalani, hanya anak-anak perlu diedukasi agar tidak melulu berharap angpau tapi lebih kepada mempererat silaturahmi bila berkunjung ke sanak saudara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H