Pemerintah saat ini sedang gencar-gencarnya menggenjot pembangunan infrastruktur khususnya jalan tol dalam rangka memperlancar arus transportasi orang dan barang, khususnya di pulau-pulau tertentu yang padat penduduk dan arus lalu lintasnya tinggi seperti Jawa, Sumatera, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Timur.
Jalan tol dibangun untuk meringankan beban pembiayaan pembangunan jalan oleh Pemerintah yang diperlukan dalam rangka meningkatkan kapasitas jalan biasa yang telah ada serta untuk pengembangan wilayah yang dilaluinya.
UU 38 Tahun 2004
Pasal 1 angka 7: Jalan tol adalah jalan umum yang merupakan bagian sistem jaringan jalan dan sebagai jalan nasional yang penggunanya diwajibkan membayar tol.
Pasal 43 ayat (1): Jalan tol diselenggarakan untuk:
a. memperlancar lalu lintas di daerah yang telah berkembang;
b. meningkatkan hasil guna dan daya guna pelayanan distribusi barang dan jasa guna menunjang peningkatan pertumbuhan ekonomi;
c. meringankan beban dana Pemerintah melalui partisipasi pengguna jalan; dan
d. meningkatkan pemerataan hasil pembangunan dan keadilan
Beberapa ruas jalan tol baru baik di Trans Jawa maupun Sumatera telah beroperasi seperti Jalan Tol Cipali, Tol Pejagan-Pemalang (hingga Brebes Timur), Tol Semarang-Solo (hingga Salatiga), Tol Surabaya-Mojokerto, dan rencana Tol Solo-Kertosono serta Tol dari Brebes Timur ke Pemalang yang direncanakan beroperasi penuh pada hari Lebaran ini. Diharapkan tahun depan seluruh jalan tol yang tergabung dalam Trans Jawa dapat beroperasi penuh dari Jakarta hingga ke Pasuruan.
Selebihnya hanya saat lebaran dan libur panjang saja jalan-jalan tol tersebut ramai dilintasi. Uniknya jalan-jalan tol gemuk tersebut sebagian besar dioperasikan oleh PT Jasa Marga, sementara yang sepi justru dikelola oleh konsorsium swasta dan atau BUMN lain.
Saya beberapa kali melintasi jalan Tol Cipali hingga ke Pejagan saat hari kerja, dan tampak sekali sepi sunyi, berbanding terbalik dengan jalan biasa yang masih ramai seperti biasanya. Demikian pula saat menjajal tol Medan-Tebingtinggi di Sumatera, suasananya juga tidak terlalu ramai.
Padahal jalan tol tersebut dibangun untuk mengatasi kepadatan lalu lintas jalan nasional non tol yang semakin macet tiap tahunnya. Ada apa gerangan hingga suasananya masih sepi? Kalau ditelusuri lebih jauh, ada beberapa penyebab sepinya jalan tol, antara lain:
1. Sasaran pengguna jalan tol tidak jelas
Sepertinya kajian pembangunan jalan tol kurang memperhatikan target atau sasaran pengguna jalan tol. Kajian hanya melihat tingginya kepadatan lalu lintas harian (LHR) jalan nontol yang ada sehingga harus dibangun jalan tol untuk mengurai kepadatan lalu lintas. Artinya kajian lebih fokus pada aspek teknis saja. Padahal target pengguna bisnis akan sangat berbeda dengan target pengguna nonbisnis alias liburan.Â
Kalau target pengguna bisnis, tentu harus diperhitungkan biaya yang dikeluarkan perusahaan bila lewat jalan tol lebih besar atau lebih kecil dari jalan nontol. Misal dengan tarif tol Rp 200.000 dengan penghematan BBM senilai Rp 50.000, apakah sebanding dengan pengeluaran di jalan non tol yang "hanya" untuk membayar retribusi (resmi maupun tak resmi) di jalan.
Berbeda dengan target pengguna liburan yang mungkin bersedia membayar lebih mahal demi kecepatan dan kenyamanan berkendara.Â
Jangan lupa, target pengguna bisnis hitungannya harian dan pemasukannya relatif tetap, sementara target pengguna liburan hanya hari-hari tertentu saja dan pemasukannya turun naik tergantung musim. Seharusnya tarif tol kendaraan pribadi lebih mahal dari truk, bukan sebaliknya.
Coba perhatikan jalan tol yang padat dilalui truk adalah jalan tol yang bertarif murah dan lalu lintas di jalan nontol sangat padat seperti Japek atau Palikanci.