Perjalanan saya berlanjut malam itu menuju Pamukkale, sebuah kota tua yang memiliki situs sejarah sekaligus sumber air panas terbesar. Lanjutan cerita sebelumnya di sini, setelah diperbaiki, bus kembali melanjutkan perjalanan pukul sepuluh malam. Tidak ada bus ekspress atau patas, dan hampir di setiap terminal kota besar bus berhenti untuk menaikturunkan penumpang.
Tapi karena jalanan mulus dan jarang macet, jarak sekitar 560 Km ditempuh hanya 9 jam saja termasuk istirahat makan dan buang air, persis seperti layanan bus antar kota di Jawa. Hanya fasilitas dalam bus lumayan baik, ada pramugara yang menyediakan snack dan minuman ringan atau teh/kopi panas, paling tidak dua kali selama perjalanan, serta konsole TV yang menayangkan acara televisi digital atau video.
Daripada bingung jalan sendiri, saya terima tawaran itu karena harganya tidak terlalu mahal (90 TL, sekitar 410 Ribu Rupiah), dan sudah termasuk pemandu, tiket masuk, sarapan pagi, dan makan siang. Ini yang penting karena harga makanan relatif mahal di Turki. Setelah itu saya diantar sarapan pagi ke sebuah hotel tak jauh dari situ.
Suasananya mirip dengan pemandian air panas di Baturaden (Purwokerto) dimana orang-orang mandi atau sekedar menghangatkan kaki. Sekitar setengah jam menikmati air panas sambil berfoto-foto disini, sebelum melanjutkan perjalanan menuju sumber air panas sesungguhnya yang berada dalam kompleks situs bersejarah Hierapolis.
Lumayan juga berjalan kaki menanjak selama 15 menit, tenggorokan mulai kering, untungnya pas tiba di atas ada penjual minuman. Setelah minum, saya langsung masuk ke dalam amphitheater yang ukurannya hampir separuh dari stadion utama Senayan. Dulunya tempat ini digunakan para gladiator bertarung dengan hewan buas untuk menghibur rakyat Hierapolis.
Tak sampai 20 menit kami tiba di Cleopatra pool, sebuah kolam air panas tua yang masih digunakan dan bersifat eksklusif, tidak terbuka seperti di travertine. Bagi anggota rombongan yang ingin berenang dipersilakan dengan membayar tambahan biaya sekitar 15 TL.
Saya sendiri mending melanjutkan perjalanan ke Travertine, kolam renang air panas alami yang jumlahnya banyak dan berundak-undak seperti sawah di Indonesia. Dalam perjalanan saya melihat situs pemakaman atau disebut Necropolis di antara reruntuhan bangunan tua.
Saking luasnya, travertine dibagi dua yaitu yang boleh untuk dipakai berenang berada di sebelah kiri dari arah atas, atau langsung dari pintu masuk bawah. Sementara di sebelah kanan dilindungi tidak boleh digunakan untuk kegiatan apapun. Sayangnya yang sisi kanan ini arinya kering karena sedang musim panas, sementara yang sisi kiri selalu dialiri air panas sehingga kolamnya terisi penuh.
Saya sendiri lebih suka menghangatkan kaki saja, karena memang tidak boleh menggunakan alas kaki selama mengunjungi kolam air panas tersebut. Tampak ratusan pengunjung dengan pakaian minim berendam menikmati hangatnya air, sekaligus konon untuk mengobati penyakit yang melekat di badan.
Di antara kolam sisi kiri dan kanan, terdapat taman dan reruntuhan tembok benteng yang masih utuh. Mungkin dulunya kota ini merupakan benteng pertahanan karena dari sini kita dengan mudah dapat mengamati segala pergerakan di bawah sana. Sementara di dekat kolam sebelah kiri terdapat museum yang menyimpan benda-benda bersejarah yang masih tersisa dari reruntuhan.