Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

[Jelajah Turki] Mandi Air Panas di Kolam Raksasa Pamukkale

31 Juli 2016   11:20 Diperbarui: 1 Agustus 2016   00:40 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sisi Kanan Undakan Yang Tidak Boleh Dipakai (Dokpri)

Perjalanan saya berlanjut malam itu menuju Pamukkale, sebuah kota tua yang memiliki situs sejarah sekaligus sumber air panas terbesar. Lanjutan cerita sebelumnya di sini, setelah diperbaiki, bus kembali melanjutkan perjalanan pukul sepuluh malam. Tidak ada bus ekspress atau patas, dan hampir di setiap terminal kota besar bus berhenti untuk menaikturunkan penumpang.

Tapi karena jalanan mulus dan jarang macet, jarak sekitar 560 Km ditempuh hanya 9 jam saja termasuk istirahat makan dan buang air, persis seperti layanan bus antar kota di Jawa. Hanya fasilitas dalam bus lumayan baik, ada pramugara yang menyediakan snack dan minuman ringan atau teh/kopi panas, paling tidak dua kali selama perjalanan, serta konsole TV yang menayangkan acara televisi digital atau video.

Jalan Masuk ke Kota Pamukkale (Dokpri)
Jalan Masuk ke Kota Pamukkale (Dokpri)
Sekitar pukul tujuh pagi, bus tiba di pinggiran kota Denizli, disini berganti moda menggunakan Dolmus (semacam angkot tapi sekelas Travelo) yang telah menanti untuk mengantar saya ke Pamukkale. Para penumpang diantar ke hotel atau agen bus seperti saya bila tidak ada reservasi. Sesampai di agen bus, saya ditawari paket keliling Pamukkale dari pagi hingga sore hari.

Daripada bingung jalan sendiri, saya terima tawaran itu karena harganya tidak terlalu mahal (90 TL, sekitar 410 Ribu Rupiah), dan sudah termasuk pemandu, tiket masuk, sarapan pagi, dan makan siang. Ini yang penting karena harga makanan relatif mahal di Turki. Setelah itu saya diantar sarapan pagi ke sebuah hotel tak jauh dari situ.

Undakan Mata Air Panas Mini (Dokpri)
Undakan Mata Air Panas Mini (Dokpri)
Mata Air Panas Memancar (Dokpri)
Mata Air Panas Memancar (Dokpri)
Tepat pukul 9.30 pagi, saya dijemput di hotel tempat sarapan untuk mulai keliling Pamukkale bersama rombongan turis lain. Tujuan pertama adalah sumber mata air panas mini untuk penyesuaian sebelum menikmati air panas sesungguhnya.

Suasananya mirip dengan pemandian air panas di Baturaden (Purwokerto) dimana orang-orang mandi atau sekedar menghangatkan kaki. Sekitar setengah jam menikmati air panas sambil berfoto-foto disini, sebelum melanjutkan perjalanan menuju sumber air panas sesungguhnya yang berada dalam kompleks situs bersejarah Hierapolis.

Pintu Masuk Atas Hierapolis (Dokpri)
Pintu Masuk Atas Hierapolis (Dokpri)
Papan Petunjuk Kota Tua Hierapolis (Dokpri)
Papan Petunjuk Kota Tua Hierapolis (Dokpri)
Hierapolis sendiri ada dua pintu, pintu bawah langsung menuju Travertine atau pemandian air panas, letaknya persis di jalan utama Pamukkale, dan pintu atas yang langsung menuju situs sejarah Hierapolis. Kita sendiri langsung menuju ke pintu atas untuk melihat amphitheater yang masih tegak berdiri diantara reruntuhan kota.

Lumayan juga berjalan kaki menanjak selama 15 menit, tenggorokan mulai kering, untungnya pas tiba di atas ada penjual minuman. Setelah minum, saya langsung masuk ke dalam amphitheater yang ukurannya hampir separuh dari stadion utama Senayan. Dulunya tempat ini digunakan para gladiator bertarung dengan hewan buas untuk menghibur rakyat Hierapolis.

Amphitheater Besar Mirip Stadion (Dokpri)
Amphitheater Besar Mirip Stadion (Dokpri)
Sekitar setengah jam kami menikmati suasana sambil berfoto-foto di dalam amphitheater, serasa menonton pertandingan sepakbola di stadion. Setelah itu kami berjalan turun ke bawah melalui reruntuhan kota Hierapolis yang masih berserakan dan dalam rencana restorasi atau pembangunan kembali kota tua tersebut.

Tak sampai 20 menit kami tiba di Cleopatra pool, sebuah kolam air panas tua yang masih digunakan dan bersifat eksklusif, tidak terbuka seperti di travertine. Bagi anggota rombongan yang ingin berenang dipersilakan dengan membayar tambahan biaya sekitar 15 TL.

Saya sendiri mending melanjutkan perjalanan ke Travertine, kolam renang air panas alami yang jumlahnya banyak dan berundak-undak seperti sawah di Indonesia. Dalam perjalanan saya melihat situs pemakaman atau disebut Necropolis di antara reruntuhan bangunan tua.

Pemandian Tua Eksklusif Cleopatra Pools (Dokpri)
Pemandian Tua Eksklusif Cleopatra Pools (Dokpri)
Travertine di Pamukkale termasuk yang terbesar ukurannya di dunia dan dilindungi oleh UNESCO karena terdapat situs cagar budaya disamping alamnya yang indah. Warnanya putih bersih sehingga disebut Pamukkale yang diartikan sebagai 'kapas putih' yang terhampar luas membentuk teras atau undakan seperti persawahan tanpa padi.

Saking luasnya, travertine dibagi dua yaitu yang boleh untuk dipakai berenang berada di sebelah kiri dari arah atas, atau langsung dari pintu masuk bawah. Sementara di sebelah kanan dilindungi tidak boleh digunakan untuk kegiatan apapun. Sayangnya yang sisi kanan ini arinya kering karena sedang musim panas, sementara yang sisi kiri selalu dialiri air panas sehingga kolamnya terisi penuh.

Kolam Renang Air Panas Alami Berundak-Undak (Dokpri)
Kolam Renang Air Panas Alami Berundak-Undak (Dokpri)
Sisi Kanan Undakan Yang Tidak Boleh Dipakai (Dokpri)
Sisi Kanan Undakan Yang Tidak Boleh Dipakai (Dokpri)
Di sini kita diberi waktu selama dua setengah jam oleh pemandu wisata untuk berenang atau beraktivitas lain, sebelum kembali berkumpul di depan pintu masuk Cleopatra Pools.

Saya sendiri lebih suka menghangatkan kaki saja, karena memang tidak boleh menggunakan alas kaki selama mengunjungi kolam air panas tersebut. Tampak ratusan pengunjung dengan pakaian minim berendam menikmati hangatnya air, sekaligus konon untuk mengobati penyakit yang melekat di badan.

Di antara kolam sisi kiri dan kanan, terdapat taman dan reruntuhan tembok benteng yang masih utuh. Mungkin dulunya kota ini merupakan benteng pertahanan karena dari sini kita dengan mudah dapat mengamati segala pergerakan di bawah sana. Sementara di dekat kolam sebelah kiri terdapat museum yang menyimpan benda-benda bersejarah yang masih tersisa dari reruntuhan.

Museum Hierapolis Menyimpan Benda Bersejarah (Dokpri)
Museum Hierapolis Menyimpan Benda Bersejarah (Dokpri)
Reruntuhan kota Hierapolis menggambarkan betapa majunya peradaban zaman Yunani dulu. Bila dilihat luasnya, maka kota ini diperkirakan berpenduduk lebih dari 100 Ribu orang, sebuah jumlah yang cukup besar untuk ukuran kota metropolitan zaman dulu. Menurut pemandu, jumlah penduduk kota dapat diukur dengan jumlah tempat duduk di amphitheater.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun