Masjid Tua Wapaue di Negeri Kaitetu (Dokpri)
Tak lengkap rasanya berkunjung ke Ambon tanpa menjelajahi Jazirah Leihitu yang terletak di sebelah utara dan barat Pulau Ambon. Wilayah ini memiliki sejarah yang panjang dimulai dari berdirinya Kerajaan Tanah Hitu, lalu masuknya Islam pada abad ke-15, disusul oleh Portugis dan Belanda pada abad ke-16. Sejarah lengkapnya bisa dibaca disini. Jejak sejarah tersebut masih terlihat dalam bentuk Masjid Tua Wapaue di Negeri Kaitetu, Gereja Imanuel dan Benteng Amsterdam di Negeri Hila yang letaknya berdekatan satu sama lain.
Dari kota Ambon, Jazirah Leihitu dicapai melalui Passo, dari pertigaan ke kiri, lalu ketemu pertigaan Hunuth, belok kanan, atau melalui Jembatan Merah Putih sampai di ujung belok kanan, melalui Wayame terus hingga ke pertigaan. Dari situ kita menuju perempatan Hitu Lama lalu belok kiri ke arah Negeri Hila. Waktu tempuhnya sekitar satu jam dari kota Ambon. Sepanjang perjalanan terdapat beberapa kampung dan kebun milik warga, baru menjelang perempatan tampak pemandangan laut Selat Seram dari atas bukit.
Langkah pertama saya mengunjungi Benteng Amsterdam yang masih tampak terawat dengan baik. Masuk ke area benteng, kita wajib mengisi buku tamu dan menyumbang seikhlasnya. Bangunannya sendiri masih sekitar 90% utuh dengan beberapa perbaikan dan penambalan, kecuali atapnya yang telah diganti seng, sementara kerangka kayunya masih utuh dan kuat menyangga benteng. Letak benteng ini memang cukup strategis karena dapat melihat situasi lalu lintas kapal di Selat Seram, dan memandang jauh ke atas perbukitan di belakangnya. Di tengah benteng terdapat bangunan berlantai tiga, namun di dalamnya gelap tanpa lampu penerangan dan hanya mengandalkan sinar dari lubang-lubang jendela meriam saja. Ada sumur di dalam benteng, namun sayangnya tidak dirawat sehingga menjadi tempat membuang sampah.
Agak ke arah selatan sekitar 150 meter, terdapat Gereja Imanuel peninggalan Portugis yang sudah direnovasi sesuai bentuk aslinya setelah sempat rusak akibat kerusuhan satu dekade lalu. Kondisinya cukup terawat baik walaupun tak tampak satupun jamaah. Menurut warga, semenjak kerusuhan Ambon, para jamaah gereja tersebut pindah ke tempat lain untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan mengingat daerah tersebut didominasi oleh perkampungan muslim.
Sekitar 300 meter dari gereja ke arah barat, terdapat masjid yang sudah berumur 600 tahun lebih bernama Masjid Wapaue di Negeri Kaitetu. Konon kabarnya masjid ini merupakan pindahan dari atas bukit karena seringnya gangguan dari penjajah Belanda. Di dalam masjid ini masih tersimpan aneka peninggalan seperti tongkat khutbah, penakar zakat fitrah, kain, dan kepingan logam berbentuk burung di pintu asli masjid yang bertuliskan Laa Ilaa ha Illallah. Masjidnya sendiri masih tampak rapi dan terpelihara dengan baik oleh jamaah yang merupakan penduduk asli kampung tersebut.
Setelah mengunjungi tiga tempat bersejarah tersebut, saya melanjutkan perjalanan mengitari setengah pulau Ambon ke arah barat. Dalam perjalanan terdapat satu masjid bersejarah di kampung Seith yang usianya konon juga ratusan tahun. Masuk kampung Larike ada obyek wisata unik yaitu kolam belut, namun saya tak sempat mampir karena sudah sore. Kemudian terdapat batu karang kembar di bibir pantai barat laut Pulau Ambon yang tetap tegar berdiri walau sering dihempas gelombang. Namun yang perlu diwaspadai adalah banjir bandang yang kerap menimpa warga di Jazirah Leihitu. Banjir bandang terakhir tahun 2013 meluluhlantakkan sebagian Negeri Lima dan hanya menyisakan batu-batu berserakan, padahal dahulunya penuh dengan rumah warga.
Ketika melalui Negeri Allang, terdapat satu bangunan bersejarah lagi berupa Baleo Negeri Allang yang juga telah berdiri sekitar 600 Tahun lalu. Kayunya masih kokoh berdiri beratapkan rumbia dari sagu. Negeri Allang merupakan kampung halaman dari Gubernur Maluku terdahulu yaitu Karel Albert Ralahalu. Selepas kampung Allang, perjalanan dilanjutkan menuju ke arah Bandara Pattimura yang berjarak sekitar 20 Km. Selesailah sudah perjalanan menyusuri Jazirah Leihite yang bersejarah karena menjadi tempat masuknya berbagai peradaban mulai dari Arab, Portugis, hingga Belanda, disamping penduduk asli yang berasal dari Moluko Kie Raha (Maluku Utara). Semoga jejak sejarah tersebut tetap terpelihara dengan baik seperti kondisi saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H