Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Kala Minyak Habis Jelang Perbatasan Entikong

24 April 2016   12:59 Diperbarui: 25 April 2016   00:46 726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Terminal Antarnegara Ambawang Pontianak (Dokpri)"][/caption]Kehabisan minyak di tengah perjalanan, apalagi di lintasan yang jarang tersedia SPBU seperti lintas Malindo Pontianak - Entikong ini tentu cukup memusingkan. Bis yang saya tumpangi terpaksa berhenti di tengah perkampungan karena tidak ada yang menjual solar baik resmi maupun eceran. Sebenarnya supir sudah curiga sejak meninggalkan Sosok selepas istirahat makan siang, petunjuk bahan bakar cepat sekali turun. Setelah dicek, rupanya selang minyak bocor dan solar tampak berceceran di tengah jalan. Upaya menutup kebocoran menjadi sia-sia karena solar sudah terlanjur nyaris habis. Perjalanan terpaksa diteruskan sambil berharap tiba di SPBU terdekat atau minimal tukang bensin eceran.

[caption caption="Bus Damri Menanti Penumpang di Terminal (Dokpri)"]

[/caption]Namun tak sampai sepuluh menit, bis benar-benar kehabisan solar dan terpaksa menepi, untungnya di sebuah kampung yang terletak sekitar 30 Km dari perbatasan Entikong. Beberapa bus Malaysia melintas, namun tampak cuek saja kala kondektur berupaya menyetop untuk minta sedikit minyak, demikian pula dengan truk-truk yang melintas. Supir berusaha menghubungi bis bantuan, namun jaraknya terlalu jauh dari Pontianak. Di tengah hujan yang mulai turun rintik-rintik, supir berusaha mengakali sisa-sisa minyak dihisap ke dalam mesin, namun sia-sia tampaknya. Sementara kondektur sibuk cari pinjaman motor untuk cari solar eceran. Namun tak sampai sepuluh menit, kondektur kembali dengan tangan hampa.

[caption caption="Supir Bus Sedang Memeriksa Mesin (Dokpri)"]

[/caption]

Hampir setengah jam lewat, barulah tampak bus Damri tujuan Brunei. Merasa setiakawan, supir bus memberhentikan busnya tepat di belakang kami. Setelah bernegosiasi sesama supir bus, diputuskan penumpang ikut bus yang kebetulan setengah kosong hingga ke perbatasan untuk cap paspor, sementara kondektur juga ikut untuk membeli solar di SPBU terdekat. Untungnya bus juga tidak terlalu penuh, sehingga kami bisa duduk bebas dimanapun dalam bus. Supir bus tetap menunggu hingga kondektur kembali membawa solar secukupnya hingga ke perbatasan.

[caption caption="Pemandangan Perkampungan di Atas Rawa (Dokpri)"]

[/caption]Sedikit kilas balik, perjalanan saya sendiri dimulai pukul 8 pagi bermula dari Terminal Bis Antarnegara Ambawang, Pontianak. Ketika saya tiba terminal tampak sepi dan jarang sekali angkutan kota mampir disini. Sebenarnya ada beberapa bus asal Malaysia, namun saya lebih memilih menggunakan produk dalam negeri milik pemerintah alias Damri.

 Penumpangnya sendiri tidak terlalu banyak, hanya sekitar 10 orang dari jumlah kursi 36, tak sampai separuh. Namun bus tetap jalan tepat waktu, walaupun sempat ngetem juga di dekat bundaran pertigaan selepas terminal, menunggu tambahan penumpang dari agen yang berada di situ. Setelah ngetem selama 15 menit, bus berangkat menuju Kuching melalui jalan trans Malindo. Pemandangan kiri kanan didominasi oleh rawa dan kebun dengan topografi relatif datar.

[caption caption="Pelebaran Jalan Trans Malindo (Dokpri)"]

[/caption]Awalnya kondisi jalan relatif mulus hingga ke pertigaan Tayan selama dua setengah jam pertama. Dari pertigaan hingga ke Sosok, jalan mulai tersendat karena sedang dalam penaikan taraf alias perbaikan. Konon setelah Pak Jokowi mendatangi Entikong, seluruh ruas yang rusak sepanjang trans Malindo mulai diperbaiki dan ditingkatkan kualitasnya. 

Sekitar pukul 11.00 bus berhenti istirahat makan siang selepas kota Sosok. Tidak seperti bis biasa berhenti di rumah makan Padang, tempat peristirahatannya berupa rumah makan khas Ponorogo, Jatim dengan menu masakan khas Jawa, walaupun berada di Kalimantan. Rasanya standar namun cukuplah untuk mengganjal perut yang lapar setelah tiga jam lebih dalam bus.

[caption caption="Rumah Makan Khas Ponorogo (Dokpri)"]

[/caption]Perjalanan kembali dilanjutkan setelah setengah jam beristirahat. Kondisi jalan yang dilalui masih rusak di sebagian ruasnya dan masih menunggu perbaikan. Setelah menempuh perjalanan hampir dua jam, petaka seperti diceritakan di atas mulai timbul. Untuk menghindari perbatasan tutup, seluruh penumpang dipindahkan ke bus jurusan Brunei. 

Namun menjelang perbatasan Entikong, bus berhenti untuk menaikkan penumpang tujuan Brunei. Bus tampak penuh dan penumpang yang baru naik tampak kebingungan karena kursinya telah diduduki orang lain termasuk saya. Kondekturpun turun tangan menjelaskan bahwa kami hanya menumpang hingga perbatasan saja. Di sepanjang jalan mulai tampak mobil berplat Serawak lalu lalang ke arah sebaliknya atau parkir di rumah-rumah penduduk setempat.

[caption caption="Gerbang Perbatasan Entikong sedang Dinaiktarafkan (Dokpri)"]

[/caption]Tiba di perbatasan sekitar pukul tiga sore, satu jam menjelang tutup. Menjelang perbatasan, tampak para pekerja sedang sibuk mengaspal jalan, melebarkan jalan menjadi dua lajur, serta perbaikan gedung imigrasi mulai dilakukan. Proses imigrasi Indonesia sendiri cukup lancar, saya berjalan kaki menuju perbatasan Malaysia untuk mencap kembali di gerbang Tebedu. 

Antrian cukup panjang didominasi oleh para TKI yang akan bekerja di Brunei dan Malaysia. Tiba giliran saya sempat ditanya apakah hendak bekerja juga, saya jawab hendak melancong saja dan kembali esok hari. Petugas imigresen agak curiga karena saya tidak membawa surat keterangan kerja atau permit seperti yang lain. Setelah saya jelaskan maksud perjalanan, barulah paspor dicap.

[caption caption="Gerbang Perbatasan Tebedu Malaysia (Dokpri)"]

[/caption]Sambil menunggu bis Damri yang saya tumpangi tiba, saya berkeliling sekitar gerbang imigrasi. Sebenarnya kondisi gerbang perbatasannya relatif sama, tidak terlalu bagus juga. Namun disini memang jarang terlihat pedagang asongan, hanya ada satu saja yang menjual makanan kecil dan satu lagi penukaran uang secara diam-diam. 

Beda dengan gerbang imigrasi Indonesia yang ramai penukar uang dan penjaja makanan kecil. Sementara mobil pribadi cukup banyak juga lalu lalang melintas batas, namun lebih banyak berplat Kalbar daripada Serawak. Di luar gerbang terdapat tempat ngetem angkutan umum tujuan Kuching dan Serian yang berlomba menawarkan tumpangan.

[caption caption="Bus Mengisi Solar Sendiri (Dokpri)"]

[/caption]Menjelang gerbang tutup pukul lima sore kurang seperempat waktu Malaysia, barulah bus datang. Para penumpang kembali naik ke dalam bus. Selepas perbatasan, bus mengisi solar penuh yang harganya lebih murah dari solar Indonesia namun dibayar dengan Ringgit. Disini bus mengisi solar secara mandiri oleh kondektur, tidak dilayani oleh petugas SPBU dan pembayaran dilakukan di dalam minimarket yang terletak di samping SPBU. 

Setelah minum solar, bus kembali meluncur melintasi jalan menuju Kuching. Kondisi jalan ternyata tidak mulus-mulus amat hingga bundaran Serian. Namun pemandangannya lumayan indah membelah perbukitan kapur dan tidak terlalu ramai oleh kendaraan. Motorpun juga sedikit sekali yang melintas, beda dengan wilayah Indonesia yang didominasi motor.

[caption caption="Pemandangan Perbukitan di Wilayah Serawak (Dokpri)"]

[/caption]

[caption caption="Para Penjual Duren di Tepi Jalan Raya (Dokpri)"]

[/caption]Selepas Serian, jalan lebar dua lajur yang mulus mulai tampak dan buspun melaju kencang. Kondisi jalan terlihat ramai kendaraan melintas dan pemandangan kota mulai tampak ditandai dengan permukiman yang tampak lebih teratur, rumah susun, dan bangunan pertokoan. Tampak juga beberapa mobil berjualan duren yang sedang musim.

 Namun niat untuk membeli terpaksa diurungkan karena bus tidak berhenti. Satu jam lebih lima belas menit dari perbatasan, bus tiba di terminal Kuching Sentral. Kondisi terminal ini tampak lebih hidup karena disatukan dengan pusat perbelanjaan dan terletak di tepi jalan utama. Berhubung perut mulai keroncongan, sayapun menikmati makan malam di salah satu kedai di dalam terminal tersebut. Tidak tampak suasana terminal disini, malah lebih cocok dianggap sebagai mal tempat cuci mata.

[caption caption="Terminal Bus Kuching Sentral (Dokpri)"]

[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun