[caption id="attachment_397822" align="aligncenter" width="448" caption="Selamat Datang di Sabang"][/caption]
Buat para travellers apalagi yang bakal berlibur ke Aceh, sebaiknya tunda dulu perjalanan ke Sabang. Kebetulan waktu kunjungan kesana sekitar bulan Desember lalu, Monumen Nol Kilometer yang merupakan ikon wisata Sabang sedang dalam perbaikan dan peningkatan kualitas sehingga masih banyak material bertumpuk di sana. Diperkirakan pekerjaan peningkatan kualitas tersebut baru akan selesai akhir tahun ini. Sayang kan kalau selfie di depan tumpukan material. Akan tetapi bila jalan-jalan ke Sabang untuk surfing atau snorkling dan menikmati pantai yang menghadap Samudera Hindia, justru saat liburan Imlek inilah waktu yang tepat. Di samping cuaca sedang pas, juga ramai pastinya.
[caption id="attachment_397823" align="aligncenter" width="252" caption="Tugu Sabang Merauke"]
Saya sendiri cuma berkesempatan keliling selama tiga jam karena jadwal kapal ferry hanya dua kali sehari, pagi pukul 09.00 dan siang pukul 14.30. Waktu tempuhnya sendiri sekitar 45 - 60 menit tergantung cuaca dan ombak. Setiba di pelabuhan Balohan, Sabang, saya langsung cari carteran bentor alias becak bermotor yang akan mengantar keliling selama tiga jam. Berhubung cuma sebentar, fokus kunjungan saya tentu ke kilometer nol terlebih dahulu sambil lewat kota, baru ke obyek lainnya. Dari pelabuhan ke kilometer nol berjarak sekitar 35 Km dan melewati Kota Sabang.
[caption id="attachment_397824" align="aligncenter" width="448" caption="Titik Nol Kilometer Indonesia"]
Di Kota Sabang saya berfoto sebentar di Tugu Persatuan Sabang - Merauke sebelum melanjutkan perjalanan. Perjalanan menuju titik kilometer nol setelah kota Sabang ternyata penuh liku-liku dan semakin sempit sehingga menyulitkan papasan dua kendaraan seukuran bis sedang. Kata supir becak, kalau saat liburan tiba, jalan menuju titik nol macet parah, bisa dua tiga jam karena ramainya papasan kendaraan baik yang menuju atau balik. Di sepanjang perjalanan tersebut juga terdapat pantai Iboih dan pantai Gapang yang juga ramai pengunjung saat liburan. Di sisi kiri kanan jalan mulai bertumbuhan hostel dan penginapan terutama yang dekat kedua pantai tersebut. Yang agak mengkhawatirkan adalah sebagian tanah-tanah di sekitar pantai sudah dikuasai orang asing yang berkongsi dengan penduduk setempat, untuk kedepannya akan dibuat semacam resort tepi pantai.
[caption id="attachment_397825" align="aligncenter" width="252" caption="Tugu Titik Nol Kilometer"]
Benar saja, setiba di titik kilometer nol, pembangunan kembali tugunya sedang berlangsung. Material dan timbunan tanah berserakan sehingga agak mengganggu pemandangan, apalagi buat selfie. Tapi karena sudah terlanjur kesana, apa boleh buat, terpaksa berfoto di antara tumpukan material dan rekahan bangunan lama. Beruntungnya, kita bisa dapat sertifikat tanda pernah berkunjung ke titik nol seharga 30 Ribu Rupiah saja. Lumayahlah buat kenang-kenangan. Tapi ga usah kuatir juga buat para selfier karena pemandangan lautnya tak kalah indah koq dari atas perbukitan, diiringi tingkah polah monyet yang bergelantungan di tepian tebing.
[caption id="attachment_397826" align="aligncenter" width="448" caption="Monyet Bersantai di Tepian Tebing"]
Setelah nyantai sejenak sambil ngopi Aceh, perjalanan dilanjutkan ke pantai Iboih. Di sini kita bisa nyeberang ke pulau Rubiah di depannya sekaligus snorkling melihat bawah laut. Berhubung saya ga terlalu bisa berenang, terpaksa di skip dulu, cuma ambil foto-foto saja sejenak. Pantainya masih relatif bersih dan sepi pada hari biasa. Tapi kalau sudah hari libur, kata salah satu penjaga warung, hotel-hotel penuh dan berjubel orang bersantai di pantai tersebut. Agak sebelah timur sedikit juga terdapat pantai Gapang, setali tiga uang kondisinya dengan pantai Iboih. Di sini juga banyak turis asing berkeliaran seperti di Iboih, dan itulah yang membedakan Sabang dengan Aceh daratan. Di Sabang peraturan Qanun tidak seketat di daratan, bule-bule masih bisa berbikini ria walau akhirnya terpaksa harus memindahkan sebagian penduduk Iboih ke atas bukit, karena takut anak-anak mereka terpengaruh budaya asing.
[caption id="attachment_397827" align="aligncenter" width="448" caption="Pantai Iboih dan Pulau Rubiah"]
Dalam perjalanan saya juga melewati tugu nol kilometer lama, yang terletak sekitar 10 Km dari tugu yang baru. Tadinya titik inilah yang dianggap sebagai titik nol kilometer Indonesia. Namun setelah GPS digunakan secara masif dan pengukuran semakin akurat, ternyata titik nolnya tidak berada di sini, tapi bergeser lagi ke arah barat seperti yang tadi diceritakan. Alhasil pemerintah terpaksa membangun tugu baru yang barusan saya kunjungi tadi. Sementara tugu lama masih dipertahankan sebagai bagian dari sejarah penghitungan titik nol Indonesia.
[caption id="attachment_397828" align="aligncenter" width="448" caption="Titik Nol Kilometer Lama"]
Tak terasa waktu sudah menjelang pukul dua, tanda kapal ferry menuju Banda Aceh akan segera berangkat. Sejenak mampir ke kota, namun karena hari itu hari Jumat, banyak toko-toko tutup karena sedang Jumatan. Terpaksa saya pulang dengan tangan hampa tanpa oleh-oleh, karena sertifikat kilometer nol tadi juga ternyata tertinggal di becak. Semoga suatu saat saya bisa kembali lagi kesana. Masih banyak obyek lain yang belum sempat saya kunjungi seperti benteng Portugis dan pertahanan Jepang serta museum di Sabang.
[caption id="attachment_397829" align="aligncenter" width="448" caption="Penginapan di Pantai Iboih"]
[caption id="attachment_397830" align="aligncenter" width="448" caption="Tepian Pantai Iboih"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H