Cahaya mentari dari luar jendela menyapaku pagi itu. 07:35 dan mesin mobil berpenumpang 30 orang itu terus saja melaju hingga 120 km/jam sejak semalam. Kata seseorang di belakangku, kami akan segera tiba. Benar saja, tak lama kemudian bis kami sampai pada terminal desa itu. Desa kecil dengan perusahaaan tambang nikel yang sayangnya bukan milik negara, hanya sebatas kontrak karya. Itu kali kedua aku menginjakkan kaki di desa tersebut, kali pertama dua tahun sebelumnya. Sudah kuduga, tak banyak yang berubah.
Desa itu masih rapi, damai dan tentu saja nyaman. Tidak seperti kota kelahiranku, yang jalan-jalannya selalu dipenuhi mobil hilir mudik tak karuan dengan pengemudi yang seolah tak pernah peduli pada aturan. Desa itu, masih saja begitu. Para pengemudi sangat tertib, bahkan tak mau mereka jalan jika sabuk pengaman belum terpasang. Salah satu hal yang membuatku kagum dari desa itu.
Sebagian besar masyarakat bekerja di perusahaan tambang nikel dengan karyawan ribuan orang. Wajar saja, itu kan bagian dari kontrak karya dimana mereka harus memberdayakan masyarakat sekitar. Sebagian lain menjadi nelayan, tapi jangan salah... di desa itu tak ada pantai kawan... yang ada hanyalah danau. Kata seorang kawan Geologist ini merupakan salah satu danau purba. Konon danau  ini termasuk dalam 10 danau terdalam di dunia, kedalamnnya mencapai 600an meter dengan luas 245,70 km persegi. Maka tidak salah, bila masyarakat penduduk asli juga banyak bergantung hidup pada danau ini.
Hari itu masih cukup pagi bagiku, beberapa teman mengajakku rafting. Tak sabar rasanya ingin mengenal tempat itu lebih dekat, sebagai pendatang baru tentulah harus beramah-tamah dulu di lingkungan sekitar, maka kuiyakan saja ajakan teman tersebut. Setelah berjalan kaki kurang-lebih 1 km, akhirnya sampai juga kami di salah satu dermaga di desa itu. Satu jam tiga puluh menit kemudian kami sampai di Pohon Mangga, itu nama salah satu spot rafting di danau. Sepertinya dinamai demikian karena di pesisirnya banyak ditumbuhi pohon mangga. Spot ini lumayan aman untuk berenang, meski harus sedikit hati-hati karena pasirnya hanya pada bagian pinggir saja, selebihnya karang. Tapi tak mengapa, air hijau kebiru-biruan yang sangat bersih mungkin cukup mampu mengobati perih di kakimu.
Di sore yang lain seorang teman mengajakku ke Pantai Ide. Wah.. sudah terbayang pantai dengan pasir pada pesisirnya, ombak-ombak kecil yang berlari dan saling mengejar serta sunset yang dapat kunikmati sore itu.
Sesampai di sana, aku tak menemukan semua yang kuhayalkan sebelumnya. Terhampar dermaga kayu dengan satu pondok tempat beberapa orang duduk, dilengkapi dengan pelat kuning keterangan kedalaman danau untuk jarak tertentu pada lantai dermaga. Jangan tanya mengapa namanya pantai yah.. akupun tak mengerti. Yang kutahu, Pantai Ide menjadi cukup ramai di sore hari... dipenuhi perenang-perenang ulung yang melepas kepenatan setelah bekerja seharian. Jangan di tanya pada pagi hari di kala Sabtu dan Minggu, karena tak kalah ramainya. Aktivitas Sabtu-Minggu pagi di sana cukup variatif, ada yang hanya berenang, hunting foto, bersepeda, atau sekedar merendam kaki. Jangan ditanya soal karcis, karena semua GRATIS! (lagi-lagi tak seperti kota kelahiranku, masuk pantai kotor saja bayar!)
"De' besok sore hiking yuk..." ajak salah seorang teman."Hah?! Kemana?" tanyaku."Besok saja dijawabnya yah... " sembari tersenyum ia pergi. Namanya Poci alias Pondok Cinta. Dari sana, kita bisa melihat hamparan desa itu lengkap dengan danaunya. Tak perlu heran, desa itu memang cukup unik. Jalannya berbukit-bukit karena memang ia dikelilingi oleh bukit. Dinamai pondok cinta, sebab konon dulunya tempat itu sering digunakan oleh pasangan-pasangan muda yang berpacaran. Itu katanya... Tapi sekarang, sudah dibatasi, bagi orang-orang yang ingin naik harus mendaftar dulu di pos yang sudah disediakan. Mungkin supaya bisa dilacak, kalau-kalau mereka tak turun hingga malam menjelang. Untuk sampai ke atas kira-kira membutuhkan waktu sekitar 30 menit. Lumayan melelahkan untukku yang jarang olahraga, selain harus mendaki, mesti harus hati-hati, sebab akar pohon di hutan bisa membuat tersandung. Sesampai di atas, pemandangan yang tak mengecewakanpun menyambut. Gunung-gunung, danau, desa, sawah, sampai lapangan udarapun kelihatan. Peluhpun terbayar.
Bis mulai berjalan, 12 jam lagi... aku akan sampai ke kota kelahiranku. Aku pulang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H