Aku rindu pada gemercik aliran sungai aksara yang mengair dan mengalir melewati sudut kerling matamu, sayang
Di tepi malam, kala rembulan ingkar dari peraduan
Kuhanyutkan butiran-butiran aksara bersama harapan yang kian padam
Kuharap bisa terhanyut terbawa percikan air kali
Semoga tak terantuk kerikil-kerikil dan bebatuan tajam
Tak pula hilang di kelokan-kelokan jeram yang tak bisa teredam
Agar bisa sampai di kedalaman hatimu yang tak bisa terselam
Aku rindu pada gemercik aliran sungai aksara yang mengair dan mengalir melewati sudut kerling matamu, sayang
Senja kemarin kutatap lautan aksara
Muara dari semua muara yang ada
Sesaat kulihat sebaris kata terombang-ambing oleh gelombang ombak yang tak jua berhenti menerjang
Itukah untaian butir-butir aksara yang dulu kuhanyutkan?
Bersama sepenggal kenangan kisah yang tlah lalu
Ah..masih bolehkah jika kupungut satu dan kan kubawa pulang
Tuk lengkapi kepingan puzzle puisiku yang sempat retak bergemeletak
Ketika matahari yang rebah roboh tergeletak
Menghentak jiwaku yang penuh koyak dan selalu berontak
Aku rindu pada gemercik aliran sungai aksara yang mengair dan mengalir melewati sudut kerling matamu, sayang
Bahagia masih membuncah meski awan hitam nan kelam menenggelamkan
Berbait-bait rasa tlah kukumpulkan dari butir-butir aksara yang dulu kubiarkan hanyut
Namun samudra begitu bijaksana tlah mengembalikannya padaku
Gemercik tetes aksara kini tlah bermuara di telaga bening yang begitu tenang
Berubah menjadi kata-kata penuh makna
Yang kini kubendung di cawan puisiku
Mengair dan mengalir melewati sudut kerling matamu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H