Puisi-puisinya tampak seperti perjalanan dan pengalaman hidupnya. Penyair Ko bahkan mengambil latar-latar tempat yang jauh dari tempatnya tinggal, yaitu Rusia. Pada puisi "Aku Telah Mati pada Waktu Itu", beliau menyebutkan Krai Primorsky (provinsi perbatasan di Rusia), Vladivostok (pelabuhan di Rusia), Sungai Amur, Jongro (daerah di Kota Seoul), Eurasian Skylark, Sakhalin (pulau terbesar di Rusia), dan Laut Bering (bagian dari Samudra Pasifik) untuk mendukung penyampaian isi puisinya.Â
Puisi tersebut sedikitnya membuat pembaca memahami bahwa penyair Ko memiliki wawasan luas dan tak biasa. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah: mengapa beliau tidak menggunakan latar tempat Sungai Amnok dan Sungai Tumen yang menjadi perbatasan antara negara kelahirannya dengan Korea Utara sebagai tempatnya mati (pada puisi tersebut)? Apakah pilihannya tersebut ada hubungannya dengan bahayanya negara tersebut? Who knows? (Siapa tahu?).
Imaji puisi-puisinya meliputi imaji penglihatan, pendengaran, perasaan, perasa, dan sebagainya. Tipografinya sendiri berbeda-beda, tidak terpaku sama pada setiap puisi. Bahkan, puisi "Tetesan Air, Tetesan Air, Hanya Setetes Air" diawali oleh tanda elipsis (...), sungguh menarik. Tipografi tersebut memberi gambaran bahwa penulis telah berpikir matang sebelum menulis kata berikutnya, semacam menghela napas sebelum berbicara. Majas personifikasi, metafora, asosiasi, simile, alegori, dan sindiran mewarnai rangkaian diksi pada puisi-puisinya.Â
Puisi terpendeknya hanya satu bait yang terdiri atas empat baris, pada puisi "Anak di Rumah Itu". Meski pendek, puisi tersebut cukup bermakna dalam, yakni tentang seorang anak dengan tangannya yang terbuka seperti hendak dipukul, dan penyair Ko mempertanyakan kesalahan anak tersebut. Kelebihan puisinya tersebut juga diikuti oleh puisi "Karena Bukcheon Telah Lampau". Lewat kata-katanya, penyair Ko menggambarkan kenangan yang telah tertanam di dalam lubuk jiwa, dan perasaannya tersebut sampai kepada pembaca.
Puisi-puisi penyair Ko relate dengan realitas kehidupan, seperti puisi sebelumnya, puisi "Di Kotak Pos Nomor 203", puisi "Biseondae dan Puisi Prosais Setelah Makan Mi Dingin", puisi "Selembar Peta Genome Ayahku", dan puisi lainnya. Dapat disimpulkan bahwa kumpulan puisi penyair Ko menggambarkan kehidupan yang dinamis, realistis, dan penuh kontemplasi. Di samping puisi-puisinya yang bernada kolokial dengan makna lugas, puisi "Berdiri di Jalan yang Tidak Datang Lagi", puisi "Awan Putih dan Rumput", puisi "Puisi Ombak", dan puisi "Sajak Rumput" mengandung makna yang perlu ulikan lebih lanjut.Â
Maknanya yang tidak langsung tampak membuat puisi ini menarik untuk dikaji dan pastinya menjadi nilai tambah bagi buku ini. Sebagai tambahan, jika membicarakan kelebihan dan kekurangan visual bukunya, kelebihannya adalah pemilihan warna cover beserta ikon ikan berwarna putih sebagai gambaran subjek judul buku sangat tepat, dan kelemahannya adalah kurangnya gambaran pertapaan pada cover-nya. Isi, posisi, layout, peletakkan puisi, dan unsur lainnya sudah sangat baik, sehingga membuat pembaca nyaman ketika membacanya.
Berdasarkan penilaian dan kesan di atas, buku dwibahasa Ikan adalah Pertapa memiliki mutu tinggi dan cocok untuk pembaca yang memerlukan bacaan puisi yang sarat akan makna dalamnya kehidupan dari sudut pandang penyair nonlokal. Buku ini juga sangat direkomendasikan kepada para mahasiswa sastra ataupun penyuka atau penulis puisi sebagai referensi baru tentang cara menulis puisi dari penyair asal Korea Selatan, penyair Ko Hyeong Ryeol. Akhir kata akan ditutup oleh penggalan puisi "Telah Tiba Tahun 2020-an".
Waktu berlalu dengan kecepatan tinggi dan fana
Waktu datang tanpa memberi kesempatan untuk introspeksiÂ
Apakah kita hanya akan didorong dalam waktu cepat ini
Apakah kita menyambut era 2020-an tanpa pencapaian? ("Telah Tiba Tahun 2020-an", Ryeol, hlm. 94) (Diyan Haerani)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H