Mohon tunggu...
Diyana Wulandari
Diyana Wulandari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Akuntansi Universitas Muhammadiyah Malang

hobi menulis dan membaca puisi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Konsep Mudharabah dalam Fikih Muamalah

25 Juni 2024   08:29 Diperbarui: 25 Juni 2024   08:49 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS


Pendahuluan :

Fikih muamalah merupakan cabang ilmu fikih yang mengatur segala bentuk transaksi dan hubungan ekonomi dalam Islam. Salah satu konsep penting dalam fikih muamalah adalah mudharabah, akad  kerjasama usaha antara 2 (dua) pihak, di mana pihak    pertama bertindak    sebagai    pemilik    dana (shaibul    mal)    yang menyediakan   seluruh   modal   (100%),   sedangkan   pihak   lainnya   sebagai pengelola usaha atau mudharib. Secara teknis, mudharabah adalah kemitraan laba, dimana satu pihak (rabbul mal) menyediakan modal dan pihak yang lain (mudharib) menyediakantenaga kerja2. Beberapa ahli fiqih, seperti para ulama Hanafi dan Hanbali, menggunakan istilah mudharabah, sedangkan para ulama Maliki dan Syafi'i menggunakan istilah qiradh (Chasanah Novambar Andiyansari, 2020). Mudharabah telah menjadi salah satu fondasi dalam pengembangan ekonomi Islam kontemporer, khususnya dalam praktik lembaga keuangan syariah. Artikel ini bertujuan untuk menguraikan konsep dasar, mekanisme, serta implementasi mudharabah dalam konteks fikih muamalah.

Artikel ini akan membahas beberapa pertanyaan utama:

  • Apa itu mudharabah?
  • Bagaimana rukun dan syarat mudharabah menurut fikih Islam?
  • Konsep mudharabah dalam fikih muamalah?

Pembahasan :

  • Pengertian Mudharabah

Mudharabah atau bagi hasil, menurut bahasa semakna dengan al- Qath'u (potongan), berjalan, dan atau bepergian. Sesuai dengan firman Allah dalam Q.S Al-Muzammil : 20 :

.... ....

Artinya "....dan yang lain berjalan di bumi mencari sebagian karunia Allah..."

Istilah Mudharabah tidak ditemukan secara langsung didalam al-qur'an. Tetapi melalui akar kata drab yang diungkapkan lima puluh delapan kali, menurut Muhammad, M.Ag dalam bukunya yang berjudul Kebijakan Fiskal dan Moneter Dalam Ekonomi Islam. Adapun istilah fikih mudharabah memiliki pengertian sebagai berikut :

  • Menurut Mazhab Hanfiah, Mudharabah adalah akad atas suatu syarikat dalam keuntungan dengan cara penyerahan mata uang tunai kepada pengelola dengan mendapatkan sebagian dari keuntungannya apabila diketahui dari jumlah keuntungannya.
  • Menurut Mazhab SyafiI, Mudharabah adalah suatu akad yang memuat penyerahan modal kepada orang lain agar melaksanakan usaha dan keuntungan yang dihasilkan dibagi antara mereka berdua.
  • Menurut Mazhab Hambali, Mudharabah adalah pemberian modal tertentu dengan jumlah yang jelas secara keseluruhan dan semaknanya kepada orang yang mau melakukan usaha dengan memperoleh bagian tertentu dari hail keuntungannya.

Mudharabah berasal dari kata dharb yang berarti memukul atau berjalan. Dalam bidang ekonomi Islam, pengertian memukul atau berjalan lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usahanya. Menurut Ulama Fiqih kerjasama mudharabah (perniagaan) sering juga disebut dengan "Qiradh". Dalam Fiqhus sunnah mudharabah bisa dinamakan dengan qiradh yang artinya memotong. Karena pemilik modal memotong sebagian hartanya agar diperdagangkan dengan memperoleh sebagian keuntunganm (Iii & Mudharabah, 2022).

  • Rukun-rukun fikih mudharabah

Menurut ulama Syafi'iyah ada enam rukun mudharabah atau qiradh,yaitu :

  • Pemilik barang yang menyerahkan barang-barangnya.
  • Orang yang bekerja, yaitu pengelola barang yang diterima dari pemilik barang.
  • Aqad mudharabah, dilakukan oleh pemilik dengan pengelola
  • Maal, yaitu harta pokok atau modal
  • Amal, yaitu bidang pekerjaan (proyek) pengelolaan yang dapat menghasilkan laba.
  • Keuntungan.
  • Syarat sah fikih mudharabah

Adapun syarat sah mudharabah sangat berhubungan dengan rukun-rukun mudharabah, diantarnya ialah :

  • Modal atau barang yang diserahkan itu berbentuk uang tunai. Apabila barang itu berbentuk mas atau perak batangan, perhiasan, dll, maka mudharabah tersebut batal.
  • Bagi orang yang melakukan akad disyaratkan mampu melakukan tasharruf, akad yang dilakukan oleh anak-anak kecil, orang gila, dan orang yang dibawah kekuasaan orang lain, akad mudharabahnya batal.
  • Modal harus jelas, agar dapat dibedakan antara modal usaha dengan laba. Sebab laba/keuntungan inilah yang akan dibagi hasil sesuai kesepakatan.
  • Prosentase keuntungan antara pemodal dengan pengusaha harus jelas.
  • Melafazkan ijab (bagi pemodal) dan qabul (bagi pengusaha).
  • Konsep mudharabah dalam fikih muamalah

Mudharabah dalam fikih ialah seorang shohibul maal menyerahkan modal atau maal kepada mudahrib atau pengelola, dengan syarat keuntungan dibagi sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan yang dimaksud ialah kesepakatan yang sudah tertuang dalam kontrak sebelum akad mudharabah dilangsungkan. Adapun kerugian sepenuhnya ditanggung pemilik modal, tetapi sejatinya seorang mudharib juga mengalami kerugian, yaitu rugi tenaga dan mudharib tidak berhak meminta upah kepada shohibul maal atas kerugian tersebut.

Berikut adalah beberapa ketentuan yang ditetapkan dalam fiqih berkaitan dengan sistem mudharabah, diantaranya ialah :

  • Modal

Modal atau yang dikenal dengan sebutan "ra'sul maal" dalam fikih. Para ulama mensyaratkan bahwa modal harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :

1) Terdiri dari mata uang yang beredar atau berlaku. Pensyaratan ini diajukan untuk menghindari perselisihan dikemudian hari. Oleh karenanya tidak sah memudharabah-kan harta dalam bentuk piutang, karena sulit untuk mengukur keuntungan darinya, dan dapat menimbulkan perselisihan dalam pembagian keuntungan.

2) Modal harus diserahkan sepenuhnya kepada pengusaha. Modal tersebut harus diserahkan seluruhnya pada saat ikatan kontrak.

3) Modal harus jelas jumlah dan jenisnya.

  • Manjemen

Kontrak mudharabah dalam fiqih dibagi dalam dua kategori, yaitu:

Mudharabah Mutlaqah, yaitu Pemilik dana (shahibul maal) memberikan keleluasaan penuh kepada pengelola (mudharib) dalam menentukan jenis usaha maupun pola pengelolaan yang dianggapnya baik dan menguntungkan, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan syariah.

Mudharabah Muqayyadah, yaitu Pemilik dana memberikan batasan-batasan tertentu kepada pengelola usaha dengan menetapkan jenis usaha yang harus dikelola, jangka waktu pengelolaan, lokasi usaha dsb.

Dalam kontrak mudharabah, pihak pemodal atau investor tidak diperkenankan untuk ikut campur dalam mengelola manajemen usaha, ketika akad mudharabah telah diberlakukan, maka pihak mudharib (pengusaha) memiliki kewenangan penuh dalam mengelola usaha, terlepas apakah bentuk mudharabah yang dijalankan mutlaqah atau muqayaddah. Para fuqaha sepakat bahwa apabila pemodal ikut campur dalam manajemen usaha, maka secara otomatis kontrak mudha-rabah menjadi batal.

  • Jaminan

Esensi kontrak mudharabah adalah terjadinya kerjasama dan saling tolong menolong antara pemilik modal atau orang yang surplus modal dengan orang yang hanya memiliki keahlian dan ketrampilan, sehingga jurang pemisah antara kaya dan miskin dapat dikikis. Harta dalam presfektif Islam hanyalah merupakan titipan Tuhan yang seharusnya dikelola untuk kepentingan bersama dan untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Oleh karenanya, Islam menganjurkan harta itu tidak hanya berputar pada kelompok tertentu, tetapi harus dikembangkan dan diusahakan pada kegiatan-kegiatan ekonomi riil. Atas dasar itu, kontrak mudharabah tidak mensyaratkan adanya jaminan atas sejumlah modal yang diberikan kepada pengusaha (mudharib). Tolak ukur atas terjaminnya modal hanyalah kejujuran, sehingga kegiatan mudharabah harus diiringi dengan tingkat kejujuran yang tinggi dari mudharib.

  • Jangka Waktu

Mengenai pembatasan jangka waktu mudharabah diperdebatkan oleh para ahli fiqh. Sebagian ulama berpendapat bahwa dengan adanya batasan waktu berlakunya kontrak akan menjadikan kontrak itu batal, sebab hal tersebut dapat menghilangkan kesem-patan pengusaha untuk mengem-bangkan usahanya, sehingga ke-untungan maksimal dari kegiatan itu sulit untuk tercapai. Sedangkan sebagian yang lain beranggapan bahwa boleh saja terjadi kesepakatan antara pemodal dan pengusaha mengenai jangka waktu mudharabah, dengan catatan apabilah salah satu pihak ingin mengundurkan diri dari ikatan kontrak harus terlebih dahulu memberitahu yang lainnya.

  • Nisbah Keuntungan

Nisbah keuntungan merupakan rukun khas yang ada pada akad mudharabah, hal inilah yang membedakannya dengan akad-akad yang lain. Nisbah ini merupakan bagian yang akan diperoleh oleh masing-masing pihak yang berkontrak. Penetapan nisbah dilakukan diawal dan dicantunkan dalam akad. Dalam proses tersebut, boleh jadi terjadi tawar menawar dan negosiasi pembagian nisbah. Negosiasi dilakukan dengan prinsip musyawarah dan antaradin minkum (saling ridha).

  • Bentuk Mudharabah

Dalam kajian fiqh klasik, bentuk mudharabah yang dijalankan dalam akad dilakukan dengan modus pembiayaan/ investasi langsung (direct financing), dimana shahibul maal bertindak sebagai surplus unit melakukan investasi langsung kepada mudharib yang bertindak sebagai deficit unit. Ciri dari model mudha-rabah ini adalah, biasanya hubungan antara shahibul maal dengan mudharib merupakan hubungan personal dan langsung serta transaksi dilandasi saling kepercayaan (amanah).

  • Penutup :

            Mudharabah adalah konsep kerjasama usaha dalam fikih muamalah di mana seorang pemilik modal (shahibul maal) menyediakan seluruh dana untuk suatu usaha, dan seorang pengelola (mudharib) menjalankan usaha tersebut. Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai kesepakatan awal antara kedua pihak. Mudharabah menekankan pentingnya kepercayaan dan kejujuran karena tidak ada jaminan khusus dari pengelola kecuali kejujurannya. Kontrak ini tidak memungkinkan pemilik modal ikut campur dalam pengelolaan usaha, kecuali jika dilakukan kesepakatan khusus di awal, dan dapat diatur dengan atau tanpa batasan (mutlaqah atau muqayyadah). Mudharabah tidak hanya mendukung pembagian keuntungan yang adil tetapi juga mendorong kolaborasi antara mereka yang memiliki modal dengan mereka yang memiliki keahlian, sehingga mengurangi kesenjangan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan dalam masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi syariah.

penulis : 

Diyana Wulandari

Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Muhammadiyah Malang

Email : diyanaw745@gmail.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun