Mohon tunggu...
Diyan Ahmad
Diyan Ahmad Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

yakusa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dilema Pandangan Aposentrisme dalam Sengketa Putusan Pencemaran Lingkungan

18 Maret 2017   08:38 Diperbarui: 18 Maret 2017   18:00 1372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perbedaan sudut pandang dalam memberi pertimbangan tersebut, dalam pandangan Arne Naess (Sonny Keraf, 2010) merupakan akibatpola prilaku manusia, yang memandang alam hanya sebatas pelengkap atau pendukung kehidupan manusia. Sehingga hal ini menyebabkan ketidak seimbangan atau check and balance Istilah yang sering digunakan cendekiawan Indonesia, Nucholis Madjid, (2010) yang akhirnya menimbulkan ketidak seimbangan, konflik.

Soony Keraf (2010) menjelaskan bahwa cara pandang manusia yang mengangap seluruh kehidupan yang hadir di alam, tidak lebih untuk sebagai pemuas hasrat kebutuhan manusia, merupakan pandangan antroposentrisme. Yang selanjutnya manusia dianggap berada diluar dan terpisah dari alam. Bahkan, manusia dipahami sebagai penguasa atas alam yang boleh melakukan apa saja terhadap alam. Pandangan inilah yang melahirkan sikap dan perilaku eksploitatif tanpa kepedulian sama sekali terhadap alam, dan segala isinya dianggap tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri. Sehingga tak heran pertimbangan yang pro terhadap modal (perusahaan) yang bersifat eksploitatif tanpa adanya tanggung jawab.

Jika ditelisik lebih jauh, dialektika ekosenstrime yang melawan pandangan antroposentrisme hakim tersebut berawal dari filsuf terdahulu, yaitu Aristoteles. Dimana manusia merupakan makhluk sosial (social animal) yang eksistensi dan indentitas dirinya ditentukan oleh komunitas sosialnya. Dalam pemahaman ini, manusia berkembang menjadi dirinya berdasarkan interaksi yang terjadi didalam komunitasnya. Identitas dirinya pun lahir dari komunitas sosial, sebagaimana pula manusia terlibat lingkaran dalam membentuk komunitas sosialnya. Manusia tidak melihat bahwa lingkungan sekitar dalam komunitasnya terlibat dalam pembentukan identitas dirinya. Dengan kata lain, faktor intelektualitas (sumber bacaan para hakim) yang cenderung asing terhadap hukum lingkungan membentuk jati diri non empati terhadap alam.

Selain itu pula, etika yang berlaku dan terbentuk didalam komunitas, dianggap hanya sebatas pengaplikasian terhadap sesama manusia. Norma dan nilai moral hanya dibatasi keberlakuanya pada manusia, dan berlaku sebaliknya, yaitu tidak memilki implikasi (etika) yang sama terhadap makhluk lain diluar manusia. Terlihat dengan melihat jikalau dipidanakan akan membuat lebih sengsra perekonomian masyarakat, akibat tidak beroperasinya perusahaan. Selain itu dikarenakan telah berjasa pada negara (lihat poin aspek sosiologis).

Oleh karena itu kemunculan paham antroposentrisme yang dianggap tidak menyeimbangkan antara kebutuhan manusia dan alam dikritik keras dan dikoreksi oleh para ahli, yang kemudian muncul cara pandang baru yang mengetengahkan kebutuhan dan keberlanjutan antara manusia dan alam, biosentrisme dan ekosentrisme.

Biosentrisme dan ekosentrisme menganggap kehadiran manusia di alam tidak lah akan terjadi perkembangan dan pertumbuhan tanpa adanya interfensi saling mengada di alam. Artinya, kehadiran makhluk hidup lainya turut memebrikan interfensi bagaimana manusia dapat hidup dan berkembang— tanpa adanya aktifitas makan, minum, bernafas dan sebagainya, manusia tidak mungkin dapat hidup dan beregenarai hingga saat ini.

Dengan posisi tersebut, alam pula mendudukan dirinya sejajar dengan manusia dalam rantai kehidupan, saling mengisi dan mengikat satu sama lain. (John Casey, 1992)  Sehingga berdasarkan pemahaman tersebutlah biosentrisme dan ekosentrisme muncul untuk merevitalisasi cara pandang dan perilaku manusia seperti masyarakat adat dalam berinteraksi dengan alam. Selanjutnya dijawab oleh pertimbangan hakim agar mengambil kebijakan haruslah seimbang dengan memeprtimbangkan banyak aspek, terutama keberlangsungak pelestarian ekosistem.

“Diantaranya adalah asas kelestarian dan keberlanjutan serta asas keserasian dan keseimbangan, setiap orang memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang dan tanggung jawab terhadap sesamanya dalam satu generasi dengan melakukan upaya melestarikan daya  dukung ekosistem dan memperbaiki kualitas lingkungan hidup. Demikian pula pemanfaatan lingkungan hidup harus memperhatikan berbagai aspek seperti kepentingan ekonomi, sosial, budaya dan perlindungan serta pelestarian ekosistem”(Putusan Nomor 344/Pid/2013/PT.Bdg, hal. 14-15)

Sehingga pada kesimpulan banding yang diajukan oleh Terdakwa I dan II di tolak, dan menjatuhkan pidana yang sesuai, berikut pula memberikan denda yang tinggi kepada kedua terdakwa.

Berdasarkan pembahasan diatas, maka penulis menyimpulkan bahwa putusan pengadilan nomor 155/PID.SUS/2013/PN.CMS mengadili terdakwa dengan penjara bebas besyarat dan denda yang relatif kecil. Sedangakan pada putusan banding Nomor 344/Pid/2013/PT.Bdg, mengadili terdakwa untuk menjatuhkan denda yang tinggi berikut kurungan penjara selama setahun.

Kemudian dalam memutuskan sengekta yang terjadi, terdapat pandangan yang berbeda masing masing hakim dalam memberikan pertimbangan-pertimbangan. Dalam hal ini, majelis hakim sidang pertama, penulis menyimpulkan lebih cenderung menggunakan pendekatan antroposentrisme dalam memberikan putusan pencemaran lingkungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun