Mohon tunggu...
Haikal Amirullah
Haikal Amirullah Mohon Tunggu... Jurnalis - Wartawan Politik di salah satu media nasional di Jakarta, gemar traveling, dan senang silaturahmi

Wartawan politik yang gemar traveling dan menjalin silaturrahmi

Selanjutnya

Tutup

Money

Wajib Test Covid-19, Konspirasi Ekonomi yang Bikin Dompet Jebol

13 Juni 2020   09:54 Diperbarui: 13 Juni 2020   10:56 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rapid Test Covid-19 (kompas.com)

Untuk Rapid test yang tergolong cepat, harganya antara Rp 400 ribu - Rp 500 ribu. Namun menjadi beda jika ingin melakukan test swab PCR, tarif dikenakan berbeda-beda sesuai dengan lama waktu. Untuk test swab yang waktunya butuh 10 hari, tarif yang dikenakan berkisar Rp1,5 juta, namun jika ingin lebih cepat yakni tujuh hari mencapai Rp3,5 juta (7 hari), dan Rp6,5 juta jika ingin memperoleh hasil tesnya dalam 3 hari. 

Karena itu, sangat tidak manusiawi kalau kemudian rumah sakit memanfaatkan pandemi Covid-19 ini sebagai ajang untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dengan dalih SEGT.  Padahal di banyak negara-negara besar saja seperti Jepang, Amerika Serikat, Negara-negara Eropa, Australia, bahkan negara tetangga Malaysia dan Filipina dan lain lain, tidak memberlakukan pemeriksaan tes Covid-19 atau PCR bagi penumpang pesawat, kapal laut dan kereta api.

"Presiden Jokowi sudah bersiap menerapkan New Normal. Maka kebijakan Gugus Tugas tersebut seharusnya telah dicabut. Apalagi sebagian besar kota besar di Indonesia sudah menyandang predikat zona merah dan bahkan hitam. Sehingga interaksi antar kota didalam kepulauan atau antar pulau sudah tidak perlu adanya pengetatan sesuai dengan SEGT Nomor 7 tahun 2020," protes Bambang.

Ketentuan SEGT Nomor 7 tahun 2020 yang diberlakukan untuk transportasi udara, laut dan darat di Indonesia mengesankan bahwa Kementerian Perhubungan sebagai subsektor terlihat lemah dan kurang memahami esensi kebijakan transportasi sehingga diindikasi mudah dikendalikan oleh kepentingan komersial. Apabila aturan tersebut tetap dipaksakan, maka patut dicurigai ada indikasi permainan oknum pemerintah di Kementerian Perhubungan dan Kementerian Kesehatan dengan pengusaha oportunis yang memanfaatkan komersialisasi tes Covid-19. Seharusnya, Yayasan Lembaga Konsumen (YLKI) dan Ombudsman serta DPR sebagai lembaga pengawas dan kontrol kebijakan eksekutif bertindak tegas atas adanya dugaan konspirasi tersebut.

Kementerian Perhubungan akhirnya melunak dengan aturan yang mengharuskan penumpang menjalani syarat tes PCR tersebut. Menteri Perhubungan Budi Karya dalam keterangannya, Selasa (9/6) memastikan calon penumpang domestik tidak perlu memiliki hasil tes PCR, cukup dengan rapid test. Maskapai juga diperbolehkan mengangkut penumpang hingga 70 persen dari tingkat keterisian yang semula hanya 50 persen.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun