Mohon tunggu...
Diva Z.
Diva Z. Mohon Tunggu... Diplomat - Pelajar

Menulis untuk mengenang.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Novel | I Will Make You See

25 Februari 2020   17:25 Diperbarui: 25 Februari 2020   17:28 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Elena van Keller terbangun dengan terkejut karena mendengar suara sahabatnya yang baru saja pulang dari negeri Paman Sam untuk berlibur. "Elena, aku pulang!". Dengan berhati-hati, ia berjalan menyusuri dinding kamarnya, melangkah perlahan menuruni tangga, hingga tiba-tiba ia merasakan hangatnya peluk sahabatnya yang telah lama tak dijumpainya. Mereka berpelukan begitu lama karena tak tahan ingin melepas rasa rindu mereka setalah satu bulan tak berjumpa.

" Aku merindukanmu, Lilia. Kumohon jangan pergi lagi, aku begitu sulit hidup sendiri tanpamu, dasar nakal!" ucap Elena sambil memeluk sahabatnya dengan begitu bahagia. "Iya deh, aku kan cuma liburan sebentar, harusnya kamu juga senang karena gak ada yang bawelin kamu tau!" balas Lilia sambil tertawa. Wajar saja, Elena dan Lilia sudah bersahabat sejak mereka masih kecil. Tak aneh jika mereka lebih seperti adik kakak daripada sepasang sahabat.

Bagi Elena, Lilia Greyson adalah malaikat yang dikirim Tuhan untuk menjaganya, menemani hari-harinya, tempat berbagi suka dan duka. Lilia sangat membantu Elena melewati masa-masa tersulit dalam hidupnya, saat ia terpaksa menerima kenyataan bahwa mata indahnya kini tak lagi dapat melihat indahnya dunia.

Tekanan, depresi, seringkali membuat Elena beberapa kali mencoba untuk mengakhiri hidupnya, dengan berharap bahwa ia akan bertemu dengan sang Ibunda yang telah pergi meninggalkannya saat kecelakaan satu tahun yang lalu. Ia kerap kali menyalahkan sang Ayah atas hidupnya. "Mengapa ayah tak membiarkan aku mati saja! Mengapa ayah tak menyelamatkan mama! Bunuh aku sekarang ayah, kumohon bunuh aku saja! Aku tak bisa hidup tanpa mama!!" begitu sering ia lontarkan kepada ayahnya yang begitu kuat dan sabar menghadapinya.

***

Sore itu, Elena baru pulang dari tempat ia merayakan pesta ulang tahunnya yang ke-17. Dengan begitu semangat, ia mengendarai sedan merah pemberian orang tuanya sebagai hadiah ulang tahun. Ia tak pernah menyangka akan diberi hadiah mobil impiannya di ulang tahunnya yang ke-17. Maklum saja, orang tuanya memiliki sebuah perusahaan besar dan juga direktur sekaligus dokter sebuah rumah sakit ternama. Namun, sedari kecil Elena selalu dididik untuk hidup sederhana, walaupun hidupnya bergelimang harta. Hal itu membuatnya menjadi pribadi yang selalu rendah hati, dan tak pernah pandang bulu dalam menghormati orang lain.

Sambil berjalan dengan sedikit berloncat-loncat, ia menghampiri sedan merahnya. " Perhatikan langkahmu sayang, nanti kamu bisa terjatuh." Ucap Diana Rays, yang memperhatikan Elena sambil tersenyum. "Aku bukan anak kecil Ma, pasti aku akan berjalan hati-hati" jawab Elena. Setelah itu Elena membukakan pintu mobilnya untuk mamanya seperti yang biasa supir keluarga mereka lakukan. Lalu, ia pun masuk ke dalam mobil dan langsung memacu mobilnya untuk pulang ke rumah. Ia tak sabar ingin menemui Martin Rays, ayahnya yang tak bisa hadir di pesta ulang tahunnya karena pekerjaannya yang begitu sibuk.

Selama perjalanan, Elena menyalakan musik dan bernyanyi bersama ibunya. Mereka tertawa bersama, sambil menikmati perjalanan yang memang cukup jauh. "Mama sangat menyayangi kamu, Elena". Elena tersenyum, sambil menatap mamanya yang tersenyum ramah. "Aku sangat menyayangi Mama, bahkan berjuta kali lipat hingga tak ada jumlah yang dapat menjelaskan betapa aku menyayangi Mama" ucap Elena sambil memeluk Mamanya dengan satu tangan karena tangan yang satunya lagi harus tetap memegang kemudi agar mobil tetap berjalan dengan selamat.

Elena meminta ibunya untuk menelpon ayahnya, karena ia ingin memastikan apakah ayahnya benar-benar sudah ada dirumah atau masih sibuk di rumah sakit. "Hai ayah, aku sedang dalam perjalanan bersama Mama menuju rumah, Ayah tak lupa kan kita akan makan malam bersama?" ucap Elena dengan semangat. "Iya sayang, Ayah sudah menunggumu di rumah. Hati-hati bawa mobilnya ya!" balas sang Ayah yang mendengar ucapan putrinya di telepon.

Saat melewati sebuah terowongan, tiba-tiba dinding terowongan retak, disusul dengan runtuhnya sedikit demi sedikit bagian dari terowongan itu. Elena panik, dan ibunya berusaha menenangkannya dan membuat dirinya kembali fokus agar dapat menghindari reruntuhan. Namun, mobil yang dikendarai Elena tertimpa reruntuhan terowongan, hingga menyebabkan mobil terguling dan menghantam dinding terowongan.

Ia terbangun saat merasakan perih di kepalanya, dan ia mendengar suara sirine ambulans, namun tak dapat melihat apapun kecuali kegelapan. Nahas, pecahan kaca depan mobil dengan mulus melukai kedua matanya, hingga mengakibatkan ia tak bisa melihat. Elena terus berteriak memanggil mamanya, namun yang ia dengar bukanlah suara sang Mama. "Ikhlaskan nak, biarkan ibumu tenang di alam sana. Kamu harus kuat ya nak." Ucap seorang petugas pemadam kebakaran yang menyelamatkannya. 

Sang Mama telah pergi, meninggalkan Elena dan ayahnya yang sangat mencintainya. Elena terus menjerit memanggil Mamanya, dan sang petugas kebakaran pun tak henti-hentinya menenangkan Elena. Elena adalah korban yang terakhir diselamatkan karena kondisinya yang sudah terjepit badan mobil bersama dengan ibunya. Sudah sedikit lagi Elena dan petugas pemadam kebakaran itu keluar dari terowongan yang sudah nyaris runtuh, tiba-tiba reruntuhan terowongan mulai kembali berjatuhan. Elena didorong keluar agar ia selamat, namun sayang, sang pemadam kebakaran tak dapat menyelamatkan nyawanya sendiri.

***

Lilia terkadang begitu sedih melihat kondisi sahabatnya yang sering kali depresi. Dan ia pun terlalu sedih untuk menyadari, bahwa kanker yang ia derita kini telah lebih ganas menggerogoti tubuhnya. Sering kali ia dilanda rasa gundah, berpikir bahwa ingin segera mati agar dapat membuat sahabatnya dapat melihat lagi, namun bagaimana nasib sahabat dan orang tuanya jika ia tak lagi ada di dunia ini. Lilia tak pernah memberi tahu sahabatnya tentang penyakitnya ini, karena ia tak ingin membuat sahabatnya bersedih terlalu dalam. Ia hanya bisa berpasrah sambil menikmati hari-harinya dengan sahabatnya, dan berharap obat dan terapi yang diberikan ayah Elena akan membantunya sembuh.

Suatu hari, hujan turun begitu deras, Elena yang ketakutan lalu menelpon sahabatnya untuk datang. Sebenarnya, sebelum Elena menelpon pun Lilia sudah bergegas pergi ke rumah sahabatnya. "Aduh, cuacanya benar-benar buruk. Elena pasti ketakutan sendirian di rumah, sebaiknya aku segera menyusulnya saja" batin Lilia mulai khawatir kepada sahabatnya. Lilia bergegas menuju rumah Elena dengan memakai payung, lalu ketika petir menyambar sebuah pohon ia pun terkejut dan handphonenya terlempar hingga berserakan. "Lilia, hujannya deras sekali dan petirnya mengerikan. 

Aku takut... bisakah kamu kemari menemani aku?" ucap Elena di pesan suara karena sahabatnya tak kunjung mengangkat telepon darinya.
Rumah Lilia dan Elena hanya berjarak beberapa blok. Mungkin cukup jauh, tetapi masih bisa sampai dengan berjalan kaki, walau harus sedikit menguras tenaga. Lilia yang begitu khawatir kepada sahabatnya telah menuju rumah sahabatnya dengan nekat berjalan kaki walaupun cuacanya sangat mengerikan. Saat hendak menyebrang menuju rumah Elena, sebuah mobil melaju kencang tak terkendali karena jalanan yang licin menabrak tubuh Lilia, membuat ia terpental cukup jauh hingga akhirnya tubuhnya menghantam aspal.

Tak lama kemudian setelah mobil yang menabrak Lilia melarikan diri, Ayah Elena baru saja pulang bekerja dan melihat seorang gadis tergeletak telungkup di jalanan dengan darah menggenang di sekitarnya. Dengan cepat ia pun memarkirkan mobil dan segera turun, tak peduli dengan derasnya hujan yang mengguyurnya. Ia hampiri gadis itu, dan dengan segera mengangkat tubuhnya. Dan betapa kagetnya ia saat mengetahui bahwa gadis itu adalah sahabat putrinya, yaitu Lilia.

Ayah Elena dengan segera membawa Lilia yang sudah kehilangan banyak darah karena kepalanya terbentur ke rumah sakit. Ia berusaha mati-matian untuk menyelamatkan Lilia, yang sudah ia anggap seperti anaknya sendiri. Namun sayang, kemampuannya sebagai Direktur Rumah Sakit tak cukup untuk menyelamatkan nyawa Lilia. Karena rasa sayangnya, ia terus menerus melakukan apapun yang ia pikir bisa menyelamatkan Lilia, walaupun para dokter dan suster telah memberitahunya untuk berhenti, karena nyawa Lilia sudah tak bisa diselamatkan lagi. Dalam keputusasaan yang teramat sangat, terlintas wajah Elena, wajah mendiang istrinya, dan terlintas juga pikiran untuk membuat Elena bisa melihat lagi, yang membuatnya akhirnya menyerah untuk menyelamatkan nyawa Lilia yang memang sudah tak bisa diselamatkan.
Elena hanya terdiam diatas kasurnya, mengharapkan kehadiran ayah dan sahabatnya. Berkali-kali ia menelpon sahabatnya, menelpon ayahnya, namun tak kunjung ada balasan. Dipenuhi rasa takut, ia pun memanggil pelayan yang biasa membantunya melakukan segala aktifitas. "Bibi, bisakah kau temani aku di kamar sekarang? Aku sangat ketakutan". "Baik nona muda, saya segera kesana" ucap sang pelayan dari kejauhan. Dengan membawa lilin dan segelas coklat hangat, sang pelayan segera menemui Elena yang terdiam sendiri di kamar. Saat itu listrik padam, karena cuaca yang benar-benar buruk. Namun, Elena tak menyadarinya karena baginya, baik listrik padam ataupun cuaca sangat cerah keduanya tak ada bedanya. Yang ia lihat hanya kegelapan. "Maaf membuatmu menunggu nona, saya harus menyiapkan makan malam" ucap sang pelayan. "Tidak apa-apa bibi, terima kasih karena sudah mau menemaniku, maafkan aku mengganggu pekerjaanmu. Bibi, aku sangat ketakutan, walaupun aku hidup dalam kegelapan, kali ini yang kurasakan berbeda. Seakan ada sesuatu yang membuatku sangat takut dan membuat kebahagiaanku hilang" sahut Elena yang sudah menganggap sang pelayan sebagai ibunya sendiri.
Sudah hampir 2 jam Elena terdiam diatas kasurnya, menunggu ayah dan sahabatnya yang tak kunjung datang. Beberapa saat kemudian, ia mendapat telepon dari sang Ayah. "Maafkan ayah tak sempat menelponmu, sayang. Ayah memiliki pasien darurat yang harus segera ditangani. Tunggu ayah sebentar lagi ya, ayah ingin berbicara denganmu, ayah ingin mendengar celotehan dari mulutmu yang selalu membuat ayah ceria. Ayah baru saja gagal menyelamatkan seseorang. Ayah benar-benar merasa hancur sekarang."
Sekitar 30 menit kemudian, ayahnya pun sampai dirumah dan langsung menemui sang anak yang sudah hampir menangis di dalam kamar. Elena mendengar langkah kaki ayahnya, dan langsung berusaha untuk turun dari kasur. Baru saja beberapa langkah menuruni tangga, Elena tersandung dan untungnya sang Ayah dengan sigap memeluk anaknya. Elena mendengar detak jantung ayahnya, dan ia pun mulai menangis.
"Ayah, aku benar-benar ketakutan sendirian di kamar. Petirnya begitu mengerikan, ayah. Walaupun aku tak pernah merasakan takut saat aku sendirian, namun kali ini aku begitu ketakutan. Aku merasakan sesuatu yang berbeda. Aku merasa ada hal mengerikan diluar sana. Aku benar-benar ketakutan sampai mati. Sesibuk itukah Ayah sampai tak terlintas di pikiran Ayah untuk menelponku?" tangis Elena pun pecah dalam pelukan sang Ayah.
"Maafkan Ayah, anakku. Maafkan aku yang begitu pecundang hingga membiarkan anakku menangis ketakutan. Tapi apakah kau tahu, nak? Ayah harus berjuang menyelamatkan nyawa orang lain disaat ayah sendiri sudah tak mampu menyelamatkan rasa payah dari diri Ayah. Ayah sudah gagal menyelamatkan nyawa seorang pasien. Ayah pun gagal menyelamatkan nyawa ibumu, wanita yang paling Ayah cintai. Dan sejak saat itu Ayah mengutuk diri Ayah, karena tak bisa menjadi Ayah terbaik untukmu dan tak bisa menjadi dokter yang layak. Ayah butuh semangat dan keceriaanmu, sayang. Ayah butuh hiburanmu untuk menghibur hati Ayah yang sudah terlalu hancur. Hanya kamu yang ayah miliki. Ayah mohon."
Mendengar perkataan ayahnya, hati Elena terasa seperti dihujam beribu-ribu pisau. Namun kali ini dia tak menangis. Ia melepaskan pelukan sang Ayah, meraba wajah ayahnya, dan menghapus airmata ayahnya. "Maafkan aku karena terlalu manja, Ayah. Aku hanya khawatir terjadi sesuatu pada Ayah. Hanya Ayah lah yang aku miliki sekarang. Aku tak mau kehilangan orang yang paling aku sayangi untuk kedua kalinya. Ayah, aku tahu kau adalah lelaki yang kuat, ayah terbaik yang pernah ada. Kau adalah dokter hebat yang telah berhasil menyelamatkan nyawa banyak orang. Kau bisa membuat orang bahagia, Ayah. Maka dari itu, Ayah harus tetap semangat, tegakkan bahu Ayah. Masih banyak orang diluar sana yang membutuhkan pertolonganmu karena mereka tahu, kau adalah dokter terbaik yang ada di negeri ini. Tersenyumlah Ayah, kesalahan itu hal yang sangat wajar bagi seorang manusia. Aku menyayangimu, Ayah."
***
Keesokan harinya, Elena terbangun cukup siang karena malam kemarin ia telah melakukan perbincangan panjang dengan Ayahnya, yang membuatnya tidur larut malam karena ingin menemani dan menghibur ayahnya yang sedang terpuruk. Pagi itu, ia merasa sangat lelah karena pikirannya terus melayang kemana-mana, membuat tidurnya menjadi gelisah. Ia mengingat semua pembicaraan dengan ayahnya semalam, dan ia juga masih mengharapkan keajaiban bahwa akan ada donor mata untuknya agar ia bisa kembali melihat. Dan ia pun teringat tentang sahabatnya yang tak ada kabar sejak kemarin.
Sang pelayan yang sedang sibuk merapikan kamar Elena, mendengar telepon rumah berdering dan segera pergi untuk mengangkat telepon itu. Setelah itu, ia kembali ke kamar Elena untuk memberi sebuah kabar. Elena yang duduk diatas sofa sambil mendengarkan musik merasa begitu jenuh karena sahabatnya tak kunjung menelponnya. Ia pun merasa sedih, memikirkan apakah sebelumnya ia telah bersalah sehingga membuat sahabatnya tak mau menemuinya. Tapi ia pikir apakah Lilia seperti itu karena Lilia adalah gadis ceria yang tak pernah memusingkan suatu permasalahan.
"Permisi, nona muda, tadi tuan menelpon dan memberi tahu saya bahwa nona harus bersiap-siap dan berpakaian yang rapi, tuan akan menjemput nona satu jam lagi." Kata sang pelayan sambil tersenyum menatap gadis cantik yang ada didepannya. "Apakah Ayah akan mengajakku ke rapat pemegang saham? Tidak, aku tidak mau. Aku belum pantas menjadi penerus Ayah" ujar Elena yang terlalu malas beranjak dari sofa. "Maaf nyonya, saya tidak tahu, tuan hanya memberitahu saya untuk membantu nona bersiap" kata sang pelayan yang kebingungan karena tak diberitahu apapun selain itu.
Elena pun bersiap-siap dengan malas, dan menunggu ayahnya di kursi depan rumah sambil mendengarkan burung-burung berkicau. Tiba-tiba ia merasakan tangan mengusap lembut pundaknya. "Nona, cerialah, hari ini akan menjadi hari yang baik jika nona tersenyum" ucap sang pelayan. "Terima kasih, bi. Baiklah, aku akan tersenyum dan membuat semua orang bahagia." Balas Elena. Terdengar suara mobil dan Elena pun segera beranjak dari kursi. "Ayah, hari ini kita mau kemana?" tanya Elena. "Akan ada hadiah spesial untukmu. Kau menurut saja, ya" balas sang Ayah yang tersenyum melihat putri kesayangannya sudah kembali ceria.
Sang Ayah menuntun anaknya naik ke mobil, dan memasangkan sabuk pengaman untuknya. Mereka akan berangkat ke Rumah Sakit, karena donor mata untuk Elena sudah tersedia. Ini merupakan hal yang Elena tunggu selama hidupnya. Melihat anaknya ceria, sang Ayah malah memiliki perasaan antara gembira dan perasaan bersalah karena donor mata yang akan diberikan untuk Elena tidak lain dari mata sahabatnya sendiri, yaitu Lilia. Elena yang tak mengetahui hal itu masih tetap tersenyum sambil mendengarkan musik dari radio mobil.
Sesampainya di Rumah Sakit, Elena bertanya kepada Ayahnya. "Ayah, kita di Rumah Sakit ya? Apakah aku sudah mendapat donor mata? Siapa orang baik itu ayah?" ucap Elena yang terus bertanya karena ia benar-benar berharap akan ada donor mata untuknya. "Nanti kau tahu, sayang. Sekarang ayo persiapkan dirimu untuk operasi" balas sang Ayah. Elena yang masih kegirangan segera menelpon sahabatnya, namun tak juga ada balasan darinya. Ia mengirim pesan "Lilia, hari ini aku mendapat donor mata. Aku akan segera melihat lagi, Lilia! Kamu kemana, sih? Balas pesanku ya, aku harap kamu datang ke rumah sakit. Aku merindukanmu."
***
Sudah hampir seminggu Elena terbaring di rumah sakit. Sang Ayah yang selalu menemaninya pun sangat bersyukur karena putri kesayangannya dapat melihat lagi. Semua itu berkat kuasa Tuhan, kemampuan para dokter, dan juga Lilia yang telah tiada.
Pagi itu, waktunya perban yang menutupi mata Elena dibuka, dan Elena yang sangat bersemangat berusaha untuk membuka matanya perlahan. Dilihatnya sang ayah, para dokter dan perawat. Elena menangis bahagia, membuat ayahnya panik. "Kamu tidak apa-apa, Nak? Apakah kamu merasakan sesuatu sayang?" ujar sang ayah yang khawatir melihat keadaan anaknya. "Tidak ayah, aku tidak apa-apa, aku sangat bahagia, terima kasih ayah, terima kasih dokter,suster, terima kasih karena sudah membuatku dapat kembali menikmati dunia yang indah ini" ucap Elena dengan penuh haru.
Menjelang malam, ia tak bisa tidur. Pesan yang sudah ia kirimkan ke sahabatnya tak juga dibalas. Mulai muncul rasa tak enak, dan membuatnya menjadi semakin gelisah. Dokter yang sedang memeriksa tekanan darahnya pun bertanya. "Kamu memikirkan sesuatu, Elena? Ada yang mungkin bisa saya bantu? Perkenalkan, saya Josh. Dokter yang akan menangani kamu hingga benar-benar pulih." Elena yang terkejut lalu menjawab "Tidak, aku hanya sedikit gelisah karena udaranya cukup dingin. Terima kasih dokter, tolong bantu saya kembali pulih. Saya ingin segera bertemu sahabat saya." "Baiklah, mau kunyalakan penghangat ruangannya? Tentu aku akan membantumu hingga benar-benar pulih dan kembali ceria lagi. Ngomong-ngomong, santai saja denganku. Umurku hanya setahun lebih tua darimu, kok." Ujar Josh sembari menyelimuti tubuh Elena. "Terima kasih,Josh." Ucapnya.
***
Satu minggu kemudian
Elena sedang menyisir rambutnya, lalu membiarkannya terurai dengan indah. Setelah ia menyemprotkan parfum kesukaannya, ia pun mengambil tas dan bergegas menemui ayahnya yang sedang berbincang-bincang di depan kamar rawat nya. "Aku sudah siap, Ayah, ayo kita pulang! Aku tak sabar menemui Lilia dan memarahinya karena sampai hati ia menghilang tak ada kabar dan bahkan tak berusaha menghubungiku? Sungguh kejam sekali ia, Ayah. Ayolah Ayah, aku sangat merindukan sahabatku." Ayahnya yang sedang berbincang dengan seorang dokter langsung berpamitan, dan tiba-tiba berubah menjadi sangat kaku. "Baiklah Nak, tapi langsung ke rumah saja ya?" ucapnya.
Sesampainya dirumah, Elena langsung memeluk para pelayan di rumahnya yang telah menantinya dengan penuh haru. Ia langsung mengajak para pelayan untuk makan siang bersama bersamanya dan juga ayahnya. Mereka bercengkrama dengan penuh tawa, dan kebahagiaan. Setelah makan, Elena membantu membersihkan alat makan, lalu ia berjalan-jalan di taman rumahnya, menikmati pemandangan kota dari balkon rumahnya hingga menjelang sore sambil minum teh hijau kesukaannya bersama para pelayannya. Lalu ia membantu Ayahnya merapikan taman, menyiram tanaman, dan mencuci mobil bersama. Hari itu, adalah hari terbahagia baginya. Ia menemukan semangat baru dalam dirinya yang telah lama hilang.
"Ayah, aku akan pergi ke rumah Lilia, boleh kan?" tanya Elena. "Tapi, Ayah ingin membicarakan sesuatu denganmu, sayang." Jawab Tuan Martin. Ia membujuk anaknya untuk duduk di ruang tempat biasa ia bekerja. "Ada apa, Ayah?" ucap Elena yang serius menatap ayahnya. "Ehm, begini Nak. Ayah tahu, kamu merasa sangat bahagia sekarang karena kamu dapat kembali melihat, bukan? Jadi kumohon, tetaplah menjadi gadis kecilku yang selalu ceria dan bersemangat, ya? Tapi,Ayah akan jujur padamu. Sepasang mata indah yang kini kau miliki adalah milik Lilia, nak. Ia berpesan kepada Ayah agar kau menjaganya baik-baik, ia berharap agar kau hidup bahagia." Elena terdiam karena tak percaya dengan apa yang baru saja ayahnya katakan, lalu dengan cepat menyerbu ayahnya dengan pertanyaan-pertanyaan. "Apa maksudmu, Ayah?! Aku benar-benar tidak mengerti apa yang Ayah katakan!! Aku tahu Lilia masih hidup! Aku tahu sahabatku masih hidup!! Dan aku akan menemuinya sekarang juga! Jangan menghentikanku!" Elena pergi dengan penuh emosi, lalu menutup pintu dengan sangat keras. "Elena, tunggu! Kau harus mendengarkan Ayah, ini bukan perkataanku, ini tentang pesan Lilia! Kumohon Nak, dengarkan ayah" ucap Tuan Martin sambil menahan tangisnya.
Elena lalu berlari ke kamarnya, mengunci pintu kamarnya dan menutup semua jendela dan semua lubang cahaya agar ia hanya melihat kegelapan seperti yang dahulu ia rasakan. Ia menangis tersedu-sedu, sambil memikirikan apa yang sebenarnya terjadi kepada sahabatnya hingga jadi seperti ini. Apakah Lilia masih di rumah sakit? Apakah Lilia masih hidup? Ataukah Lilia telah pergi meninggalkannya selamanya? Semua hal itu berkecamuk dalam pikirannya, membuat ia menangis semakin kencang, bahkan hingga berteriak, meneriakkan nama Lilia tanpa henti hingga akhirnya ia tertidur lelap.
"Elena!! Kau sudah bisa melihat? Kau benar-benar bisa melihat? Syukurlah Elena-ku sayang. Sudah jangan menangis lagi, aku tak ingin mataku kau gunakan untuk terus menangis, nanti mata indahku sembap, deh. Aku sangat bahagia disini, jadi, kau jangan khawatirkan aku ya? Aku benar-benar merasa tenang dan damai berada disini. Minta maaflah pada Ayahmu, Elena. Kau sudah membuatnya bersedih. Aku ingin kau tahu, ia sangat berjasa, ia benar-benar berusaha sekuat tenaga, mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkanku, Elena. Namun Tuhan telah berkehendak, dan kita tak akan pernah bisa melawan kehendak Tuhan. Jadi, aku ingin kau menjaga mataku baik-baik, jangan menangis lagi Elena. Hiduplah dengan bahagia, buatlah semua orang bahagia dan ceria. Kembalilah menjadi Elena yang periang, cerdas, tegas, dan jangan pernah bersedih lagi. Jika kau merindukanku, datanglah ke tempat peristirahatanku, tepat bersebelahan dengan tempat peristirahatan Mamamu. Bawakan aku bunga Lily kesukaanku, ya! Aku akan menjagamu semampuku. Aku merindukanmu." Lilia hadir dalam mimpi Elena, membuatnya terkejut. "Lilia, maafkan aku, Lilia, izinkan aku ikut denganmu saja, aku ingin bersamamu selamanya! Kumohon!"jerit Elena dalam mimpinya.
***
"Tuan! Tuan! Tolong, tuan! Nona muda tak sadarkan diri! Non, bangun non!" teriak sang pelayan dengan histeris. Tuan Martin yang sedang melamun, memikirkan ucapannya terhadap anaknya tadi pun langsung terperanjat dan segera berlari ke kamar anaknya. "Elena, bangun! Ayolah Nak, Elena, kamu mendengar ayah, kan? Bangun Elena!" ucap sang Ayah histeris sambil terus mengguncang-guncangkan tubuh Elena yang sudah sangat dingin. "Tidak, Elena. Kembalilah, Ayahmu masih membutuhkanmu. Kau harus hidup bahagia, setidaknya kau harus membuat aku bahagia dengan tidak membuat mataku menangis. Sadarlah, Elena. Kembalilah."
Elena pun membuka matanya. Dan langsung memeluk Ayahnya yang sedang menangis. "Maafkan aku, Ayah. Maafkan aku. Aku benar-benar menyayangimu." Elena menangis, setelah terlarut dalam mimpinya yang terasa begitu nyata. Para pelayan pun berpelukan menyaksikan kejadian yang begitu memgharukan. Ayahnya pun berkata "Tidak apa-apa, sayang. Hal itu memanglah pelik. Namun tuhan telah mentakdirkan yang terbaik bagi setiap umatnya. Sekarang kita harus menjalani hidup dengan baik, dan tetaplah bahagia. Jangan bersedih lagi, ya?". "Apa yang terjadi pada Lilia, ayah?" tanya Elena. Tuan Martin pun menceritakan hari dimana ia menyaksikan kejadian naas itu, hari dimana ia merasa seperti dokter paling tidak berguna. Hari dimana ia kehilangan kebahagiaannya.
Elena yang duduk di sebelah ayahnya pun mengusap air matanya, lalu tersenyum. "Terima kasih kau telah begitu keras berusaha, Ayah. Jika memang Tuhan telah mentakdirkan persahabatanku dengan Lilia seperti ini, maka harus tetap aku jalani. Kali ini aku sudah mengerti, ayah. Benar-benar mengerti. Ayah, maukah kau menemaniku ke tempat peristirahatan Lilia? Aku rindu Lilia, aku juga sangat rindu Mama."
Sesampainya di Immortal Hills, Elena dan ayahnya langsung membeli beberapa rangkaian bunga. Elena lalu menyimpan bunga-bunga tersebut. Di atas batu nisan tertulis nama Diana Rays, ibunda tercintanya dan di sebelah makam itu terdapat makam Lilia Greyson, sahabatnya yang sangat ia sayangi. Ia pun menangis, karena telah ditinggalkan oleh dua orang kesayangannya, yang sangat dicintainya. Ia pun menggenggam tangan ayahnya "Ayah, jangan pernah pergi meninggalkan aku. Aku sudah begitu sakit merasakan ditinggal dua orang yang sangat aku sayangi. Kini, hanya tersisa aku dan Ayah. Dan aku akan berusaha menjadi anak yang dapat membanggakan Ayah, Mama, juga Lilia. Aku menyayangimu, Ayah." "Ayah juga sangat menyayangimu, Nak." Lalu mereka pun berdoa di depan kedua makam itu. "Aku pamit, Ma, aku pamit, Lilia. Terima kasih untuk segalanya. Maafkan aku. Aku sangat menyayangi kalian."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun