Mohon tunggu...
Diva Z.
Diva Z. Mohon Tunggu... Diplomat - Pelajar

Menulis untuk mengenang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pilu

30 Januari 2020   20:28 Diperbarui: 30 Januari 2020   20:50 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari itu hari Minggu, seperti biasa aku dan keluargaku pergi jalan-jalan untuk sekedar menghilangkan penat dan beristirahat sejenak dari kesibukan kami sehari-hari. 

Papaku dan Mamaku yang selalu sibuk bekerja dari pagi sampai sore hari yang membuat kami tak memiliki cukup waktu untuk berkumpul bersama. Karena biasanya pada sore menjelang malam kami gunakan untuk mengerjakan tugas-tugas dan kesibukan lainnya yang tak jarang membuat kami lelah lalu langsung merebahkan badan di atas kasur.

Malam di hari sebelumnya, Papa mengajak kami menonton film robot kesukaan kami semua ke sebuah bioskop di Bandung. Aku pun sangat gembira karena film itu memang film kesukaanku. 

Pagi itu, setelah aku melaksanakan kewajibanku kepada Allah di waktu subuh, aku berlari-lari kecil di garasi rumah lalu mulai melakukan aktivitas lainnya. Kami saling membantu membereskan rumah, dan juga merawat peliharaan-peliharaan kami yang sangat kami sayangi.

Aku memandikan Lola, kucing persia dengan bulu putih lembut kesayanganku. Namun, tak biasanya ia mengeong terus menerus seolah mengajakku berbicara. Seolah memberi tahuku tentang sesuatu. 

Aku membalasnya dengan mengusap-usap lembut kepalanya sambil kuajak bicara. Mungkin terdengar gila, tetapi itulah bukti bahwa aku memang menyayangi kucingku. Setelah selesai mengurus Lola kesayanganku, aku lanjut membantu ibu membereskan rumah dan akhirnya bersiap untuk berangkat.

Waktu itu sekitar pukul 10 pagi, setelah mengunci gerbang rumah aku pun naik ke mobil dan kami berempat langsung berangkat ke Bandung. Aku menelpon Nenek dan Kakek, untuk mengabari bahwa nanti sore setelah pulang dari Bandung aku akan datang ke rumahnya. Aku sangat merindukan mereka, terutama Kakek karena beliau lah yang merawatku sejak aku bayi, membuat aku sangat dekat dengan Kakek. 

"Eyang, nanti aku mau ke rumah ya!! Eyang jangan kemana-mana, aku bawakan makanan kesukaan Eyang." Ucapku dengan semangat. "Iya, Eyang tunggu ya, hari ini Eyang gak akan pergi kemana-mana." Jawab kakekku dengan suaranya yang terdengar ceria.

Papa mengendarai mobil dengan hati-hati, karena jalan cukup macet dan tak teratur. Mama asyik membaca buku, adikku asyik menonton kartun kesukaannya. 

Aku mendengarkan musik agar membuat diriku tak merasa bosan di tengah kemacetan ini. Tanpa sadar, aku pun terlelap karena suhu dingin dari AC mobil membuatku nyaman dan tak kepanasan.

Ketika aku terbangun, aku menyadari bahwa Papa tak mengendarai mobil menuju mall tempat kami menonton film. Aku pun bertanya, "Pa, kenapa arahnya kesini? Bukannya kita mau nonton ya?" tanyaku yang heran. 

Aku melihat wajah Mama yang panik, dan Papa dengan fokus mengendarai mobil dengan cukup kencang. "Ada apa sih, Ma?" tanyaku yang masih bingung karena tak mendapat jawaban dari Papa.

"Kita mau ke rumah sakit, Kakek jatuh." Ucap Mamaku sambil menahan nangis. Aku pun terkejut mendengar penyataan Mama. Dan tak lama kemudian, aku menangis juga. 

Sepanjang perjalanan aku berdoa agar Allah menyelamatkan kakekku, dan berdoa agar kami selamat sampai tujuan. Aku berharap-harap cemas dan tak bisa berhenti memikirkan kakek, orang yang sangat kusayangi.

Sesampainya di rumah sakit, aku langsung berlari ke Unit Gawat Darurat dan langsung mencari kakekku dengan bertanya ke setiap suster dan dokter yang ada disitu. Seorang suster menemuiku "Dik, kakekmu ada di ruangan paling pojok sebelah kanan, kamu tinggal lurus saja lalu belok kanan" tanpa berpikir macam-macam lagi aku langsung berlari ke ruangan tempat kakek dirawat.

Kulihat kakek berbaring, dengan selang oksigen di hidungnya dan bercak darah di bajunya. Aku menangis dan syok melihat kondisi kakek. Kakekku masih bisa tersenyum kepadaku, sambil berkata "Sudah jangan menangis, nanti cantiknya berkurang loh, sudah tenang saja kakek tidak apa-apa." 

Mendengar ucapan Kakek yang masih bisa menghiburku walaupun sedang dalam kondisi yang seperti itu membuatku sadar bahwa aku pun harus kuat, aku harus bisa menghibur kakek dan aku tak boleh bersedih seperti ini.

Pamanku bilang, pagi itu setelah mendapat telepon dariku, Kakek dan Nenek segera pergi ke supermarket untuk belanja bahan-bahan makanan dan juga cemilan untuk anak cucunya. Namun ketika sudah cukup lama berjalan, Kakek tiba-tiba pusing lalu terjatuh. Nenek yang sedang mendorong troli pun kagetdan segera membangunkan kakek. 

Lalu, Kakek dibawa ke rumah sakit oleh seseorang baik hati yang mau menolong untuk mengendarai mobil karena Nenek tak bisa mengendarai mobil. Orang tersebut lalu menelpon ambulans dan Nenek segera pindah ke ambulans untuk menemani Kakek. Dan saat itulah Nenek menelpon Pamanku bahwa Kakek terjatuh, lalu pamanku menelpon Papaku.

Aku termenung di sudut ruangan, sambil menemani Nenek yang tertidur karena mungkin kelelahan. Kuperhatikan wajah Nenek dan Kakek, dan ketika itu pula batinku terhenyuh melihat mereka yang selalu mencintai satu sama lain sejak mereka masih remaja hingga sekarang sudah lanjut usia. Aku ingat, bulan ini adalah peringatan ke-50 tahun ulang tahun pernikahan mereka.

Keluargaku yang lainnya pun sama seppertiku, masih terkejut dan juga hanya bisa berharap dan berdoa bahwa Kakek akan baik-baik saja dan sehat kembali seperti semula. 

Setelah menunggu cukup lama, akhirnya hasil pemeriksaan dokter pun keluar. Ternyata Kakek mengalami pendarahan otak karena kepalanya terbentur saat jatuh. Dan kemungkinan Kakek akan dioperasi besok atau lusa, melihat kondisinya.

Saat itu, sudah masuk hari pertama bulan ramadhan, aku dan temanku pergi ke sebuah restoran untuk buka bersama. Sambil menunggu adzan maghrib dan pesananku datang, aku membuat panggilan video ke Papaku yang sedang menemani Kakek di rumah sakit. 

"Assalamu'alaikum Eyang, aku lagi bukber nih sama temen, Eyang mau dibawain apa?" tanyaku. "Tidak usah, Ara makan saja yang banyak. Biar kuat puasanya." Ucap Kakekku sambil setengah berbaring dengan selang infus di tangannya. Begitu sedih aku melihat kondisi Kakek.  Aku menyandarkan kepalaku di tanganku yang terlipat diatas meja. Lalu akhirnya terdengar suara adzan maghrib, tanda waktunya berbuka puasa.

Dua hari kemudian, Papa mengabari bahwa Kakek akan dioperasi. Aku sangat ingin pergi ke rumah sakit, namun aku harus menunggu waktu pulang sekolah tiba baru aku bisa menyusul ke rumah sakit. Aku menjalani detik demi detik di sekolah dengan begitu cemas, tak sabar ingin segera bertemu Kakek. Akhirnya bel pulang sekolah pun berbunyi, aku segera menelpon supir untuk menjemputku. Aku segera berangkat ke rumah sakit.

Setibanya di rumah sakit, aku melihat Papa baru saja keluar dari bangsal tempat Kakek dioperasi dan aku langsung menanyakan keberadaan Kakek. Lalu aku dan Papa segera pergi ke ruangan Kakek. Kulihat selang terpasang di kepala Kakek untuk membuang darah sisa operasi. Kakek yang sedang sakit tetap terlihat gagah dan bijaksana, senyumnya tak pernah pudar.

Hari menjelang sore, aku pun pulang ke rumah karena Papa tak mau aku menginap di rumah sakit. Aku pun pulang ke rumah dengan kecewa. Sempat aku membujuk Papa agar aku bisa menemani Kakek di rumah sakit namun Papa bersikeras dan dengan tegas menyuruhku pulang. 

Aku pun pulang ke rumah dan kembali melakukan aktifitasku seperti biasanya. Menjelang malam, aku masih tak bisa tidur karena memikirkan kondisi Kakek. Aku memeluk buku pemberian Kakek, sambil memandangi foto Kakek yang terpasang di dinding kamar. Aku pun terlelap.

Aku terbangun ketika Mama membangunkanku, ku kira sudah waktunya sekolah, ternyata kulihat masih pukul satu pagi. Aku bertanya "Ada apa Ma? Eyang baik-baik saja kan?". Lalu Mamaku menjawab "Eyang sudah gak ada nak, yang tabah ya". 

Aku menangis sejadi-jadinya, seakan semua air mata yang kupunya telah kuhabiskan dengan sekuat tenaga. Begitu sakit kurasakan, benar-benar sakit sampai aku tak bisa berpikir jernih, tak bisa menerima kenyataan yang baru saja terjadi. Aku memeluk Mama begitu erat, berusaha saling menguatkan, padahal begitu pedih batin ini terluka. 

Terlalu sakit untuk mengingat semua kenanganku bersama Kakek, hanya agar aku bisa berhenti menangis dengan mengingat kenangan indah. Tapi semakin perih rasanya, begitu sakit untuk mengingat semuanya. Begitu sakit rasanya ditinggalkan oleh orang yang bagi diriku adalah segalanya.
Hidup memang tak selalu tentang bahagia. Ada suka dan duka yang akan selalu kita hadapi. 

Ketika suka datang dalam hidup, kita haruslah terus bersyukur karena kehendak-Nya lah kita dapat merasakan bahagia. Namun, ketika duka datang dalam hidupmu, janganlah terlalu larut dalam kesedihan, karena segala yang terjadi dalam kehidupan kita adalah kehendak Yang Maha Kuasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun