Aku terlahir dari keluarga yang kaya dan sangat sukses. Bisnis ayahku berkembang pesat dan buka cabang hampir di seluruh provinsi. Aku terlahir buta sejak kecil, bahkan sejak aku lahir. Aku tidak seperti anak-anak pada umumnya yang bisa bermain kesana kemari dan tertawa riang bersama. Keterbatasanku sebagai seorang tunatera itu bukan inginku, itu kehendak Allah Sang Maha Pencipta. Sampai suatu ketika, waktu itu umurku sekitar 10 tahun dan ingin sekali bermain dengan mereka di taman dekat rumahku.
"Hai teman-teman, aku boleh gabung sama kalian?" tanyaku kepada mereka.
"Eh ada orang buta mau main sama kita!" ledek Tania kepadaku.
"Iya nih, mana level orang buta main sama kita. Bisa-bisa bukannya malah asyik main, malah nuntun si buta!" ledek Yana kepadaku.
"Idih, dengar ya Keisya buta, kita tuh nggak mau temenan sama orang buta. Yuk kita main tali kesana, jangan ajak si buta!" tunjuk Dita kearah agak jauh dari rumahku.
"Stop, jangan hina Non Keisya terus. Kalian jangan seenaknya sama orang yang tidak bisa melihat. Mungkin kalian bisa melihat sekarang, apa yang terjadi kedepannya kita tidak tau. Jangan sonbong dengan kesempurnaan fisik kalian!" ucap Bi Tina yang dari tadi menahan amarahnya.
"Ihh, apaan sih Bibi. Udah, yuk, kita main kesana aja!" ucap Tania kepada Bibi.
Hatiku teriris rasanya mendengar perkataan mereka. Salahkah jika orang buta bermain dengan orang yang bisa dibilang sempurna secara fisik. Toh, aku juga tidak merepotkan mereka karena ada Bi Tina yang menjagaku.
"Yang sabar ya, Non. Non itu orang baik. Insha Allah nanti Non dapat teman yang mau nerima non apa adanya!" ucap Bi Tina kepadaku.
"Iya, Bi. Sayang Bibi!" ucapku seraya memeluk Bibi.
Sebulan kemudian aku terpaksa main di rumah saja bersama Bibi. Mama dan papaku sibuk dengan bisnisnya, aku merasa kesepian. Dunia yang gelap, meski ada cahaya matahari sekalipun tidak akan menyinari atau menyembuhkan indera penglihatanku ini. Entah sampai kapan aku akan terus begini, hanya bisa mendengar dan meraba tanpa bisa melihat.