Terasa maupun tidak, terhitung dari 2 Maret 2020, pandemi Covid-19 telah genap dua tahun menghantui Indonesia. Dua tahun pandemi tentunya tidak berjalan sesederhana angka yang genap itu.
Semua  dilalui dan disusul dengan  krisis multidimensi yang menimpa sebagian besar masyarakat Indonesia terutama mereka yang sudah sedari awal termarjinalkan.Â
Krisis multidimensi ini meliputi kesehatan publik yang terancam dengan kolapsnya rumah sakit, merebaknya pengangguran akibat bangkrutnya berbagai usaha di sektor terdampak, kemiskinan, krisis pangan, demokrasi yang turut sakit, sistem pembelajaran daring yang menghadapi kesemrawutan, Â juga masalah-masalah sosial lainnya.
"Kesehatan atau ekonomi?", dua dimensi yang dinarasikan oleh pemerintah seolah-olah merupakan sebuah dikotomi yang harus dipilih secara tunggal. Kecendrungan pemerintah untuk memprioritaskan pertumbuhan ekonomi semata tercermin dengan bagaimana bobroknya berbagai kebijakan selama dua tahun pandemi.Â
Dari mulai pembukaan pariwisata di kala dunia justru sedang gencar mencanangkan karantina wilayah, pernyataan pejabat publik yang terkesan menyepelekan pandemi, korupsi bantuan sosial, transparansi dan komunikasi data pandemi yang buruk, hingga pelaksanaan karantina wilayah yang tidak tegas dalam menjamin hak-hak warga.
Dari mulai PSBB, PPKM Makro, hingga PPKM Mikro, pergantian istilah karantina wilayah yang diusulkan oleh pemerintah Indonesia hanya berusaha mengaburkan kewajiban negara dalam memenuhi hak-hak warga selama Pandemi. Hal ini bisa kita sebut sebagai manipulasi diksi.Â
Masyarakat dibuat semakin pusing dengan segala ketidakpastian dan lepasnya tanggung jawab pemerintah yang bersembunyi di balik topeng karantina wilayah. Seluruh warga di daerah dengan  tingkat kasus Covid-19 yang tinggi diminta untuk berdiam diri di rumah.Â
Sementara itu, pembagian bantuan sosial berupa kebutuhan pokok yang merata tidak benar-benar dipenuhi oleh pemerintah. Masyarakat dihadapkan pada ketidakpastian, mereka yang rentan semakin rentan. Semua itu semakin memperjelas ironi besar, bagaimana bisa hak-hak warga  dipenuhi kalau dananya saja sudah disunat oleh  Menteri Sosial sendiri, si Tikus Berdasi, Juliari.
Di Negeri yang amat terlalu nyaman meninabobokan para penguasa dan kapitalis, ketimpangan sosial sudah menjadi konsekuensi mutlak yang menimpa masyarakat urban.Â
Selama dua tahun pandemi, dari delta hingga omicron, karantina wilayah menjadi neraka tersendiri bagi kaum urban yang rentan secara sosial dan ekonomi. Ketika mereka yang kaya dan berkuasa masih nyaman bersenang-senang selama pandemi. Kisah berlawanan dihadirkan oleh para pekerja dan pelaku usaha di beberapa sektor terdampak, terutama pariwisata.Â
Kelompok dalam masyarakat urban ini harus menelan pil pait karantina wilayah. Dengan pemasukan yang menurun drastis akibat mobilisasi yang dibatasi, masyarakat juga harus menghadapi kondisi tidak pasti atas kebutuhan pokok yang seharusnya menjadi hak mereka untuk dijamin dan dipenuhi oleh pemerintah.