Mohon tunggu...
diva rabiah
diva rabiah Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswi jurnalistik

menyukai traveling dan jurnalisme data

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Artikel Utama

Jalan Panjang Menuju Fesyen Tanpa Limbah

14 Desember 2022   22:09 Diperbarui: 17 Desember 2022   01:15 700
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada akhir 2022 ini, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan kabar gempa bumi yang terjadi di Cianjur 21 November 2022. 

Sudah sepatutnya sebagai warga negara yang baik kita saling gotong royong meringankan nestapa dari pundak-pundak korban gempa. Selain bantuan makanan, bantuan sandang atau pakaian juga menjadi kebutuhan utama para korban. 

Namun, jumlah pakaian sumbangan yang didapat ternyata malah terlalu banyak dan menjadikan gudang penyimpanan penuh dan overcapacity.

Menurut akun instagram salah satu relawan gempa Cianjur, Britania Sari (@britaniasari) Ia menjelaskan di sosial media miliknya bahwa pakaian sumbangan untuk para korban terlalu banyak dan sebagian besar dapat dikategorikan sebagai pakaian tidak layak pakai. 

Sebagian besar jenis pakaian yang diterima juga bukanlah pakaian sehari-hari yang nyaman dipakai. Momen donasi yang seharusnya masyarakat dukung dengan memberikan bantuan yang layak berubah menjadi moment bersih-bersih almari baju. 

Para relawan menemukan sejumlah pakaian yang rusak, berlubang, tidak berkancing, rusak di bagian risleting. Populasi pakaian tidak layak pakai bahkan mencapai 50 persen dari total donasi.

Limbah pakaian. (Foto: Dokumentasi Pribadi)
Limbah pakaian. (Foto: Dokumentasi Pribadi)

Masyarakat Indonesia memang darurat etika, atau justru kita yang belum banyak mengetahui tips-tips dalam membantu korban bencana. Namun secuplik peristiwa di atas membantu kita melirik pada isu di hulu, Limbah Industri Fashion.

Tren mode yang diciptakan industri fashion barat mencekoki masyarakat global dalam berbusana. Tren dihadirkan pada setiap musim. 

Sebelum hadirnya timeless fashion atau gaya berbusana yang tak terikat waktu, tren melahirkan item-item khusus yang seolah memiliki masa kedaluwarsa untuk dipakai. 

Perlu diketahui, tidak semua orang menyimpan item fashion dengan baik. 2 hingga 3 tahun pertama, item tersebut berpotensi berakhir pada pembuangan sampah atau thrift.

Fast Fashion juga turut serta memperburuk keadaan. Kualitas fashion yang sederhana namun berganti trend sangat cepat bahkan sebulan sekali. Produksi tekstil skala besar juga musti ditinjau dari sisi keamanan lingkungan. 

Tidak semua bahan tekstil berasal dari serat alami, mikroplastik dan bahan sintetis yang terdapat pada pakaian kita sehari-hari membutuhkan waktu 20 hingga 200 tahun untuk terurai secara alami.Ancaman menakutkan bagi bumi ini setiap hari berpapasan dengan kita.

Sebagai bagian dari penduduk dunia, kita dapat ambil andil dalam mengurangi bertambahnya limbah fashion dengan menekan perilaku konsumtif berbelanja busana, melakukan thrifting atau ulang pakai pada pakaian yang sudah tidak layak.

Kita juga dapat membuat pakaian baru dari pakaian lama yang tidak kita sukai atau sudah ketinggalan mode, prinsip menggunakan item sampai rusak juga mendukung kampanye ini.

Industri mode seringkali menutup mata atas efek samping dari busana yang mereka jual. Baik tentang emisi gas, pelestarian satwa langka, bahkan limbah fashion. Maka kita dapat memulai melawan kerusakan alam dengan langkah kecil kita sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun