Pada akhir 2022 ini, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan kabar gempa bumi yang terjadi di Cianjur 21 November 2022.Â
Sudah sepatutnya sebagai warga negara yang baik kita saling gotong royong meringankan nestapa dari pundak-pundak korban gempa. Selain bantuan makanan, bantuan sandang atau pakaian juga menjadi kebutuhan utama para korban.Â
Namun, jumlah pakaian sumbangan yang didapat ternyata malah terlalu banyak dan menjadikan gudang penyimpanan penuh dan overcapacity.
Menurut akun instagram salah satu relawan gempa Cianjur, Britania Sari (@britaniasari) Ia menjelaskan di sosial media miliknya bahwa pakaian sumbangan untuk para korban terlalu banyak dan sebagian besar dapat dikategorikan sebagai pakaian tidak layak pakai.Â
Sebagian besar jenis pakaian yang diterima juga bukanlah pakaian sehari-hari yang nyaman dipakai. Momen donasi yang seharusnya masyarakat dukung dengan memberikan bantuan yang layak berubah menjadi moment bersih-bersih almari baju.Â
Para relawan menemukan sejumlah pakaian yang rusak, berlubang, tidak berkancing, rusak di bagian risleting. Populasi pakaian tidak layak pakai bahkan mencapai 50 persen dari total donasi.
Masyarakat Indonesia memang darurat etika, atau justru kita yang belum banyak mengetahui tips-tips dalam membantu korban bencana. Namun secuplik peristiwa di atas membantu kita melirik pada isu di hulu, Limbah Industri Fashion.
Tren mode yang diciptakan industri fashion barat mencekoki masyarakat global dalam berbusana. Tren dihadirkan pada setiap musim.Â
Sebelum hadirnya timeless fashion atau gaya berbusana yang tak terikat waktu, tren melahirkan item-item khusus yang seolah memiliki masa kedaluwarsa untuk dipakai.Â
Perlu diketahui, tidak semua orang menyimpan item fashion dengan baik. 2 hingga 3 tahun pertama, item tersebut berpotensi berakhir pada pembuangan sampah atau thrift.