Mohon tunggu...
Diva Fisya Anafri
Diva Fisya Anafri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Mercu Buana

Nama : Diva Fisya Anafri NIM : 43222010010 Jurusan : Akuntansi Kampus : Universitas Mercu Buana Dosen : Prof. Dr. Apollo Daito, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Diskursus Jeremy Bentham's Hedonistic Calculus dan Fenomena Kejahatan Korupsi di Indonesia

15 Desember 2023   00:44 Diperbarui: 15 Desember 2023   03:18 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hedonisme, berasal dari Bahasa Yunani "Hedon" (kesenangan) dan "isme," menempatkan kesenangan sebagai fokus utama tindakan. Dalam konteks filsafat hedonistik, kesenangan dianggap sebagai satu-satunya manfaat atau kebaikan. Teori ini mencakup beberapa gagasan, seperti hedonisme kuantitatif, summun bonum, dan kalkulus hedonistik, yang mengukur kesenangan dan penderitaan untuk mendukung pengambilan keputusan etis.

Meskipun teori Bentham memiliki kelemahan, terutama dalam kecenderungan rasionalitas abstrak dan kegagalan dalam mengembangkan konsep keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat, namun implikasinya dalam sejarah filsafat hukum sangat signifikan. Bentham berhasil menggabungkan dasar filsafat dengan dalil-dalil hukum praktis, menempatkan individualisme sebagai landasan materialis baru, dan memadukan hak individu dengan kebutuhan masyarakat.
Kesimpulan unsur Why? Dari pemikiran Jeremy Bentham, dapat pula kita artikan berperilaku hedon dapat membuat penekanan bahwa tujuan utama setiap individu adalah mencapai kebahagiaan sebesar-besarnya untuk sebanyak-banyaknya.

Kesimpulan unsur Why? Dari pemikiran Jeremy Bentham, dapat pula kita artikan berperilaku hedon dapat membuat penekanan bahwa tujuan utama setiap individu adalah mencapai kebahagiaan sebesar-besarnya untuk sebanyak-banyaknya.

Setelah mempelajari teori yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham, melalui teori What & Why. Selanjutnya ialah Bagaimana? (How?) keterkaitan dua teori tersebut dengan Fenoma Korupsi Di Indonesia.

Gambar Pribadi 4 - How
Gambar Pribadi 4 - How
Sebenarnya bukan hanya gagasan tentang Hedonistic Calculus saja yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham. Terdapat dua gagasan lainnya yang dikemukakan oleh Bentham, yaitu: Hedonisme Kuantitatif dan Summun Bonum, berikut penjelasan lebih lanjutnya.Hedonisme kuantitatif adalah suatu pandangan yang mengedepankan pencarian kesenangan secara eksklusif dari sudut pandang kuantitatif. Dalam perspektif ini, kenikmatan dianggap bersifat fisik dan berasal dari pengalaman sensorik. Konsep ini menekankan pada aspek kuantitas dalam pengukuran kebahagiaan, di mana intensitas dan jumlah kesenangan dianggap sebagai faktor utama.

Summun Bonum atau Kepentingan materialistis merujuk pada pandangan bahwa kesenangan bersifat material dan tidak mengakui keberadaan kesenangan rohani, menganggapnya sebagai bentuk kesenangan palsu. Dalam kerangka ini, nilai kesenangan diukur berdasarkan unsur-unsur materi atau fisik yang dapat diidentifikasi dan diukur secara nyata.

Namun pada artikel kali ini penulis hanya lebih mengendepankan gagasan  Hedonistic Calculus yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham. Setidaknya terdapat empat unsur dari gagasan Hedonistic yang berkaitan dengan Fenomena Korupsi Di Indinesia. keempat unsur tersebit ialah: Intencity,  Duration, Certainty, dan Extent. Berikut penjelasan lebiih detailnya dari keempat unsur tersebut

Pertama Intencity atau Intensitas, Intensitas dalam fenomena tindak korupsi merujuk pada tingkat dampak, keuntungan, atau kerugian yang dihasilkan oleh tindakan korupsi. Pemahaman tentang intensitas ini menjadi krusial dalam mengidentifikasi serta menangani tindak korupsi dengan efektif. Dalam konteks ini, intensitas dapat dieksplorasi dari berbagai perspektif:
1. Keuntungan Materi:
Intensitas tindak korupsi dapat dianalisis melalui sejauh mana pelaku korupsi memperoleh keuntungan materi. Hal ini mencakup penilaian terhadap besarnya nilai materi yang diperoleh oleh pelaku, seperti uang, properti, atau fasilitas lainnya. Tingkat intensitas dapat bervariasi tergantung pada jumlah dan nilai keuntungan yang berhasil diperoleh.
2. Kerugian untuk Masyarakat:
Intensitas juga dapat dilihat dari dampak negatif yang dihasilkan oleh tindakan korupsi pada masyarakat atau negara secara keseluruhan. Penilaian intensitas mencakup sejauh mana tindakan korupsi merugikan pembangunan, distribusi keadilan, dan kesejahteraan masyarakat secara umum.
3. Pengaruh Terhadap Institusi dan Sistem:
Dalam menganalisis intensitas, perhatian diberikan pada sejauh mana tindakan korupsi merusak integritas institusi atau sistem pemerintahan. Jika korupsi merajalela dan mengancam struktur inti pemerintahan, intensitasnya diukur dari dampaknya terhadap ketidakstabilan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga tersebut.
4. Dampak pada Etika dan Moralitas:
Intensitas tindak korupsi juga dapat dinilai melalui sejauh mana tindakan tersebut merusak norma-norma etika dan moral dalam masyarakat. Jika tindakan korupsi secara signifikan melanggar nilai-nilai moral yang dianut oleh masyarakat, intensitasnya akan semakin tinggi.
5. Pengaruh pada Pelayanan Publik:
Pemahaman intensitas juga mencakup sejauh mana pelayanan publik terganggu atau dikorupsi oleh tindakan korupsi. Jika tindakan korupsi menghambat akses masyarakat terhadap layanan dasar atau merugikan sektor publik, intensitasnya diukur dari dampak negatif pada pelayanan yang seharusnya diberikan.
Dengan memahami intensitas dalam tindak korupsi dari berbagai dimensi ini, dapat dirancang strategi penanggulangan yang lebih efektif untuk mengurangi dampak negatifnya pada masyarakat dan sistem secara menyeluruh.

Kedua Duration atau  Durasi, Unsur durasi dalam fenomena tindak kejahatan korupsi merujuk pada lamanya waktu atau periode di mana tindakan korupsi terjadi, berlanjut, atau berulang. Pemahaman terhadap unsur durasi menjadi krusial dalam menganalisis serta mengatasi tindak kejahatan korupsi. Beberapa aspek yang dapat dieksplorasi terkait unsur durasi dalam konteks kejahatan korupsi melibatkan:
1.Keterulangan Tindakan:
Durasi dapat mencakup sejauh mana tindakan korupsi terulang selama periode tertentu. Jika kejahatan korupsi tersebut berlangsung secara berulang, dapat menunjukkan adanya pola atau praktik yang perlu ditangani.
2.Waktu Pelaksanaan:
Unsur durasi juga melibatkan waktu spesifik kapan tindakan korupsi terjadi. Analisis terhadap waktu pelaksanaan dapat memberikan wawasan mengenai apakah ada periode tertentu yang rentan terhadap tindakan korupsi.
3.Lama Pemaksaan atau Pengaruh:
Durasi juga mencakup sejauh mana pelaku korupsi mempertahankan atau memperpanjang pengaruh atau pemaksaan terhadap pihak-pihak terkait. Lama waktu pengaruh atau pemaksaan dapat menentukan seberapa kuat jaringan korupsi tersebut berkembang.
4.Siklus Kehidupan Korupsi:
Korupsi dalam beberapa kasus dapat memiliki siklus kehidupan tertentu, dan pemahaman mengenai durasi bisa membantu mengidentifikasi tahap-tahap tersebut. Misalnya, fase awal perekrutan, fase pelaksanaan, dan fase penutupan atau pelarian.
5.Waktu Tanggap Pemerintah:
Durasi juga dapat merujuk pada waktu yang dibutuhkan oleh pemerintah atau lembaga penegak hukum untuk merespons dan menangani tindak kejahatan korupsi. Lama waktu ini dapat mempengaruhi efektivitas penindakan.
Melalui pemahaman intensif tentang unsur durasi dalam tindak kejahatan korupsi, penegak hukum dan pihak berwenang dapat mengembangkan strategi pencegahan dan penanganan yang lebih efektif. Pencegahan korupsi dapat difokuskan pada mengurangi peluang kejahatan dalam jangka waktu tertentu, sementara penanganan kasus dapat ditingkatkan dengan memahami dinamika waktu yang terlibat dalam setiap kasus korupsi

Ketiga Certainty atau Kepastian/Ketidakpastian,
Unsur certainty dalam konteks fenomena tindak korupsi merujuk pada tingkat kepastian atau keyakinan mengenai terjadinya tindakan korupsi dan konsekuensinya. Pemahaman tentang unsur certainty menjadi penting dalam mengidentifikasi, mencegah, dan menangani tindak korupsi secara efektif. Beberapa aspek yang dapat dieksplorasi terkait unsur certainty dalam tindak korupsi melibatkan:
1. Kepastian Terjadinya Tindakan Korupsi:
Tingkat kepastian atau keyakinan mengenai terjadinya tindakan korupsi menjadi fokus utama. Hal ini mencakup seberapa jelas dan teruji informasi yang menunjukkan adanya praktik korupsi.
2. Kepastian Hukuman atau Sanksi:
Unsur certainty juga melibatkan keyakinan terhadap penerapan hukuman atau sanksi terhadap pelaku korupsi. Jika sanksi yang tegas dan pasti diidentifikasi, hal ini dapat memberikan kepastian bahwa pelaku korupsi akan bertanggung jawab atas perbuatannya.
3. Keterbukaan Informasi:
Tingkat keterbukaan informasi mengenai tindakan korupsi dapat mempengaruhi kepastian. Semakin terbuka informasi, semakin tinggi kepastian yang dapat dihasilkan dalam mendeteksi dan mengungkap kasus korupsi.
4. Dukungan Publik dan Kesadaran:
Kepastian dapat diperkuat oleh dukungan publik dan tingkat kesadaran masyarakat terhadap tindak korupsi. Jika masyarakat yakin bahwa tindakan korupsi akan ditindaklanjuti, hal ini dapat menciptakan kepastian dalam pencegahan dan penindakan.
5. Ketepatan Metode Investigasi:
Keberhasilan metode investigasi dan penegakan hukum dapat memberikan kepastian dalam mengungkap dan menindak tindakan korupsi. Metode yang akurat dan efisien dapat meningkatkan tingkat kepastian.
6. Kepastian Terhadap Perlindungan Pelapor (Whistleblower):
Keberlanjutan dan efektivitas perlindungan terhadap pelapor tindak korupsi juga berkontribusi pada kepastian. Jika pelapor merasa aman dan dilindungi, mereka lebih mungkin untuk memberikan informasi yang dapat meningkatkan tingkat kepastian.
Pemahaman yang mendalam terhadap unsur certainty dalam tindak korupsi dapat membantu merancang kebijakan pencegahan yang lebih efektif, meningkatkan kepercayaan masyarakat dalam penegakan hukum, dan memastikan adanya hukuman yang tegas terhadap pelaku korupsi.

Keempat Extent atau Kedekatan, Unsur kedekatan dalam konteks fenomena tindak korupsi merujuk pada sejauh mana hubungan atau jarak antara pelaku korupsi dengan pihak yang terlibat dalam tindakan tersebut. Pemahaman tentang unsur kedekatan ini menjadi krusial dalam menganalisis dan mengatasi tindak korupsi secara efektif. Beberapa aspek yang dapat dieksplorasi terkait unsur kedekatan dalam tindak korupsi melibatkan:
1.Kedekatan Personal:
Unsur ini mencakup seberapa dekat hubungan personal antara pelaku korupsi dengan pihak yang terlibat. Kedekatan personal dapat memengaruhi tingkat kepercayaan dan kemudahan pelaksanaan tindakan korupsi.
2.Kedekatan Institusional:
Melibatkan seberapa dekatnya pelaku korupsi dengan institusi atau organisasi yang terlibat. Kedekatan ini dapat menciptakan peluang untuk memanipulasi kebijakan atau prosedur demi keuntungan pribadi.
3.Jarak Fungsional:
Mengukur seberapa dekat fungsi atau tanggung jawab pelaku korupsi dengan pihak yang terpengaruh oleh tindakan tersebut. Semakin dekat secara fungsional, semakin besar potensi dampak korupsi.
4.Asosiasi Bisnis atau Politik:
Mengidentifikasi apakah pelaku korupsi memiliki kedekatan atau asosiasi khusus dalam dunia bisnis atau politik. Kedekatan semacam itu dapat mempermudah praktik korupsi dan melibatkan kolusi yang merugikan.
5.Kedekatan Geografis atau Lokalitas:
Mempertimbangkan sejauh mana pelaku korupsi memiliki kedekatan geografis atau lokalitas dengan lokasi tindakan korupsi. Kedekatan ini dapat memengaruhi tingkat keberhasilan dalam melaksanakan tindakan korupsi.
6.Pengaruh dalam Jaringan Korupsi:
Menyelidiki apakah pelaku korupsi memiliki kedekatan dalam jaringan korupsi yang lebih besar. Kedekatan dalam jaringan tersebut dapat meningkatkan peluang untuk melibatkan lebih banyak pihak dalam praktik korupsi.
Pemahaman mendalam terhadap unsur kedekatan dalam tindak korupsi dapat membantu penyelidikan, pencegahan, dan penindakan yang lebih efektif. Analisis ini dapat membantu pihak berwenang mengidentifikasi pola kedekatan yang berpotensi merugikan dan merancang strategi untuk mengurangi peluang terjadinya tindakan korupsi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun