Mohon tunggu...
Diva Auliana
Diva Auliana Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

Mengejar mimpi menjadi fokus utama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kisah Kakek Yadi yang Hidup di Bawah Hingar Bingar Dunia

5 Juni 2023   05:00 Diperbarui: 5 Juni 2023   06:46 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi mahasiswa

Di zaman yang modern dengan segala kemajuan dan perkembangan teknologi yang pesat masih tersimpan berjuta cerita pilu dibaliknya. Salah satunya adalah keberadaan orang- orang disekitar yang membutuhkan bantuan tangan dan perhatian lebih, termasuk para lansia yang hidup sebatang kara. Fenomena ini seringkali muncul di media sosial yang menampakkan betapa memprihatinkan kehidupan mereka.

Fenomena ini juga ditemukan di Kota Jember, tepatnya di Desa Sumbersari. Kakek Yadi dengan usia 70 tahun hidup dan tinggal di bawah ikon jembatan bundaran semanggi. Beliau tinggal sendirian di sebuah rumah yang tidak layak untuk ditinggali. 

Rumahnya berupa tembok dari jembatan yang tidak lebih luas dari ukuran 4x2 meter yang letak tepatnya di pojok dan sedikit terpisah dari rumah warga. Dinding dan atap rumahnya adalah batas beton batu dari jembatan, pintunya terbuat dari bambu yang digeser biasa dan lantainya masih berupa tanah kering jembatan. 

Ruang tamu beliau berupa petakan kecil yang hanya dapat diisi 4 orang dengan duduk berdempetan. Jika hujan deras disertai angin mendera rumah kakek Yadi seringkali mengalami kebanjiran. Untuk menemukan rumah kakek Yadi, kita perlu memperhatikannya dengan baik karena letaknya yang sulit untuk dijangkau.

Kehidupan prihatin kakek Yadi dimulai karena hancurnya rumah tangga beliau. Perpisahan dengan istrinya membuat kakek Yadi tidak memiliki semangat melanjutkan hidup. Kakek Yadi mengatakan hanya terus berjalan tanpa tujuan yang jelas dari Banyuwangi ke beberapa daerah di Jawa Timur. 

Setelah beberapa tahun hidup tanpa tujuan, sekitar sepuluh tahun yang lalu kakek Yadi akhirnya memutuskan untuk melanjutkan hidup di daerah Jember. Kakek Yadi hanya hidup sebatang kara, beliau mengatakan bahwa setelah berpisah dengan istrinya beliau sama sekali tidak pernah bertemu ataupun berkabar dengan anak - anaknya.

Menurut keterangan kakek Yadi, beliau menyambung hidup dengan berjualan sapu di atas jembatan semanggi. Beliau mengaku bahwa jualannya tidak selalu laku, terkadang bisa terjual setelah 2-3 hari berlalu. 

Pendapatan yang tidak pasti ini beliau hanya dapat mengandalkan sisa beras dengan tambahan tempe dan tahu. Untuk memasak beliau hanya mengandalkan tungku kecil di depan rumahnya yang berbahan-bakar kayu sisa tebangan pohon milik masyarakat yang sudah tidak dibutuhkan. 

Karena tidak adanya saluran air bersih yang tersambung di rumahnya beliau mandi dan mencuci baju dengan memanfaatkan air sungai. Rumah kakek Yadi juga tidak memiliki aliran listrik. Ketika malam hari, kakek Yadi hanya mengandalkan lampu jalan di jembatan semanggi sebagai penerang sekitar rumahnya.

Pada akhir bulan Februari 2023 kakek Yadi mengatakan telah melakukan operasi katarak di kedua matanya. Penglihatannya telah mengalami penurunan yang sangat signifikan seiring bertambahnya usia, hal tersebut tentunya mengganggu beliau dalam beraktivitas. 

Dengan dibantu badan yang membantu para lansia tidak mampu penderita katarak untuk mendapatkan pelayanan operasi katarak secara gratis. Beliau menuturkan bahwa badan tersebut mengantar dan menjemput beliau selama masa pemulihan berlangsung, 

Namun untuk perawatan selepas operasi beliau harus melakukannya secara mandiri. Bantuan dari pemerintah tidaklah beliau dapatkan sama sekali baik itu berupa sembako maupun uang untuk bertahan hidup. Untungnya masyarakat sekitar terkadang saat memiliki rezeki lebih masih memberikan bantuan kepada kakek Yadi sebagai bentuk rasa kemanusiaan.

Kehidupan kakek yadi di usia senja mengiris hati orang yang melihat. Semua manusia bermimpi untuk menghabiskan masa tuanya bersama anak dan cucu. Namun kakek yadi hidup sebatang kara tanpa satupun sanak saudara yang mendampinginya. Menghabiskan usia senjanya dengan pemandangan sungai dan lalu lalang kendaraan. Siapa sangka dibalik hingar bingar keindahan ikon jembatan semanggi terdapat kisah memilukan yang hidup berdampingan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun