Mohon tunggu...
Diva Asfira Demokraty
Diva Asfira Demokraty Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Swim n sleep

You can change your mind and you can change your world

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Berpulang

28 Februari 2022   17:18 Diperbarui: 28 Februari 2022   23:58 666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover : Pict from deviantart.com via pinterest. 

5 tahun yang lalu... 
     Dio, lelaki berumur 33 tahun itu pernah tersesat di suatu perjalanan pulang.
     Malam itu adalah kelabu yang menemani jedanya untuk berhenti berlari tak tentu arah. Angin berisik berantakan, mengacaukan seluruh pikirannya yang sedang bertentangan dan bergemeletuk bingung akan kepasrahannya yang sudah menemui ujung akhir.
     Ia merasa bahwa pulang ke rumah adalah suatu tindakan yang sia-sia. Ia juga tidak menemukan apa yang dicari untuk menyambut tibanya pada suatu langkah untuk menetap. Rumah kosong miliknya tak lagi berpenghuni. Karena sekarang, Dio hanya punya diri sendiri untuk menyewa hidup di bumi yang sepi baginya ini.
     "Perlu berapa lama lagi untuk memanjangkan waktu atau periode yang aku butuhkan untuk menyewa kehidupan di bumi ini?" Pasrahnya.
     Itu pertanyaannya di ujung kelelahan, memang semestinya tak perlu di jawab dan tak ada yang tahu apa jawabannya. Namun itu suatu bentuk kepasrahan yang beberapa orang rasakan ketika ia sedang kehilangan orang yang mereka sayangi.
     Manakala netra berisi sedih itu hanya menatap bias pada langit yang berkabung duka, juga angin yang membuat tubuh kurusnya kedinginan dan menggigil.
     Bagaimana tidak sedih, ia ditinggal oleh sang istri tercinta. Belahan jiwanya. Siapapun yang kehilangan orang yang tersayang, pasti akan merasakan hal yang sama seperti Dio.
     tapi tunggu, sepertinya ia melupakan sesuatu akibat terlalu mendalami kesedihan ini.
     Kalau hujan tidak turun bersama kedatangan anak kecil kira-kira berumur 5 tahun yang manis dan cantik itu, mungkin raganya akan ikut terlelap kaku di samping gundukan tanah yang menyembunyikan sang istri. Dengan tangan kosong, dengan kematian yang lebih cepat dijemputnya, dengan segala hal yang dilakukan tidak semestinya dan mendahului takdir tertulis.
     Bisa di tebak siapakah anak kecil itu? ya, dialah Clara Putri Adelin. Malaikat kecil pelengkap keluarga Dio setelah dirinya dan mendiang sang istri. Dio hampir saja melupakan bahwa ia masih memiliki alasan untuk hidup. Ia masih punya tanggung jawab, ia tidak boleh begini.
     "Ayah... Ayah kenapa hujan-hujanan? Rara membawakan payung untuk ayah. Ayah jangan menangis, Bunda pasti sudah bahagia kan di surga sana? Rara tidak ingin Bunda sedih, jadi Rara menahan air mata Rara supaya tidak menangis," Ucap Clara kecil dengan nada polosnya.
     Siapapun yang mendengar kalimat itu pasti akan sedih bercampur dengan rasa terharu yang membuat hati siapapun merasa hangat.
     Ya, itulah awal kisah dimana Dio menjadi ayah sekaligus ibu bagi Clara, putri kesayangannya.
     Ya. Dio harus bertahan untuk Malaikat kecilnya.

     Saat itu Dio kehilangan makna pulang.

 
***


     Pagi itu, Dio sedang mengingat kilas balik bagaimana kejadian yang sangat menyayat hatinya 5 tahun yang lalu diputar kembali dengan secara perlahan di dalam pikirannya. Ia tidak merasa sedih, tidak juga merasakan senang. Ia melakukan itu sambil menyeruput secangkir kopi yang telah ia buat. namun tiba-tiba lamunannya terbuyar, karena putri semata wayangnya memanggilnya.
     "Ayah, ayo antarkan Clara berangkat ke sekolah. Nanti Clara telat bagaimana? Clara tidak mau bolos Ayah, Clara ingin menjadi dokter seperti apa kata Bunda." Ucap Clara, gadis kecil berusia sekitar 10 tahunan itu.
     Dio tersenyum, ia sangat bangga memiliki putri kecil yang ternyata sangat mirip ibunya itu. Clara seperti kloningan Rania, mendiang istrinya.
     "Iya Sayang, sebentar yaa. Ayah ambilkan kunci mobil dulu. Ayah kan mau pergi ke kantor juga," Jawabnya sambil mengusap-usap kepala anaknya itu.
     Namun, sang empu yang diperlakukan seperti itu malah mencebik kesal karena rambutnya kembali berantakan. Bukannya kesal, itu malah memberikan kesan lucu pada dirinya.
     Ketika sampai di sekolah, seperti biasanya Clara pamit pada ayah kesayangannya itu.
     "Clara, ingat ya jangan makan seb--" Ucapan Dio terpotong karena Clara sudah hafal diluar kepalanya.
     "Iya. Jangan makan seblak, jangan makan gorengan, jangan minum yang dingin-dingin. Clara sudah bawa bekal ayah, mana mungkin Clara jajan lagi, ayah mau punya anak gendut memang?" Ungkap Clara dengan nada kesal karena ayahnya itu sudah berkali-kali mengatakan hal yang sama.
     "Hahaha, rupanya Kau sudah hafal. Baiklah, belajar yang benar ya, Nak. Supaya kelak mimpimu terwujud." Jawab Dio tertawa sambil mengusap pelan pipi Clara dan memperlihatkan senyuman manisnya yang tidak pernah luntur.
     "Iya Ayah, Clara janji. Sampai jumpa, Ayah! Hati-hati di jalan, Ayah juga semangat ya kerjanya," Ucap Clara pada Dio sambil menampilkan deretan giginya yang rapi.
     Akhirnya Clara masuk ke gerbang sekolah, Dio tak mengalihkan pandangannya sedikitpun dari Clara sampai Clara hilang dari pandangannya. Ia tidak menyangka bahwa dirinya sudah membesarkan gadis kecilnya itu.
     Dio ingat malam pertama Clara menangis di ruang bersalin, ia menyematkan nama 'Clara Putri Adelin' sambil mengecup dahinya dengan bercucuran air mata dan tak henti-hentinya mengucap syukur karena telah diberikan putri secantik Clara.
     Benar-benar nampak seperti malaikat kecil bagi Dio. Ya walaupun Clara kadangkala suka membuat tensinya naik.
     Dio memberikan nama kepada Clara bukan tanpa alasan, namun ada makna yang ia sematkan sebagai doanya kepada sang pencipta untuk Clara. Adapun arti dari namanya adalah perempuan yang ceria dan berbudi tinggi. Ia berharap putrinya akan selalu seperti itu. Namun, yang ia sesali adalah ia tidak menyematkan nama mendiang sang istri di nama Clara, sehingga Rania pergi meninggalkannya. Entah itu berkaitan atau tidak tapi kadang-kadang selalu mengganggu pikiran Dio ketika sedang dilanda banyak pikiran.
     Nama adalah doa, betul? Dio ingin Clara selalu ceria yang paling utamanya. Namun, tidak ada yang tahu. Takdir berkata lain, bagian ini lah yang akan menceritakan bagaimana keceriaan yang dimiliki putrinya itu perlahan mulai direnggut cahayanya.


***


     Drrrtt... drrrtt...
     Ponsel Dio bergetar menandakan ada panggilan masuk, rupanya dari Clara.
     "Halo Ayah. Hari ini Clara mau main ke rumah Kala, boleh yaa? Boleh ya Ayah? Boleh Boleh Boleh, iya kan?" Belum juga Dio membalas sapa, Clara sudah mencecarnya dengan begitu banyak pertanyaan.
     "Halo, anak Ayah. Hmmm boleh tidak yaaa?" Dio sengaja menggoda putri cantiknya.
     "Boleh dong Ayah. Clara janji akan mengerjakan PR juga bersama kala, bagaimana?" Rupanya anaknya ini pintar bernegosiasi juga ya, tidak salah lagi.
     "Oke, boleh. Nanti pulangnya Ayah yang jemput ya? Jangan nakal, Clara. Harus jadi anak baik." Jawab Dio dengan mengiyakan permintaan putrinya itu.
     "Yeaaayyy.... Baiklah Ayah, terima kasih. Clara janji tidak akan nakal. Sampai jumpa, Ayah!" Tutup Clara dengan sorakan bahagia.
     Begitulah percakapan Clara yang meminta izin Dio untuk bermain dirumah temannya.
     Namun pada malam hari, sehabis pulang dari rumah Kala tadi sore, tiba-tiba Clara demam tinggi. Dio bingung dan menerka-nerka penyebab anaknya ini demam. Namun ia berfikir bahwa Clara hanya masuk angin yang besoknya langsung sembuh. Jadi ia hanya memberikan obat penurun demam yang biasa Clara minum.
     Esok harinya, sebenarnya Dio tidak ingin meninggalkan Clara di rumah sendirian. Namun ada pekerjaan yang tak bisa Dio tinggal, sehingga mengharuskan presensi dirinya dalam rapat yang di adakan oleh perusahaannya.
     "Pagi Clara, Ayah ke kantor dulu ya. Ada rapat, sebentar saja. Nanti Kau jangan lupa sarapan ya, sudah Ayah siapkan di meja makan lengkap dengan obat yang harus Kau minum hari ini," Sapa Dio pada Clara yang baru bangun tidur, sepertinya ia merasa terusik akibat gorden kamarnya yang baru saja Dio buka.
     "Eungg, pagi Ayah. Ayaaahh, Clara hari ini ada kerja kelompok sama Amara." Jawab Clara dengan mengangkat kedua tangannya ke atas untuk mengurangi rasa pegal.
     "Dimana?" Jawab Dio.
     "Di taman kota. Soalnya mau bikin video gitu, Clara dengan Amara memakai latar Taman Kota karena disana indah." Jawab Clara dengan sedikit menerawang bagaimana indah dan sejuknya taman kota.
     "Kau yakin mau kerja kelompok padahal jelas-jelas Kau sedang demam? Izin saja apa tidak bisa, Clar?" Jawab Dio dengan tegas, menandakan ia khawatir akan kondisi Clara yang memang kurang fit.
     "Tidak bisa ayah. Clara kuat, lagipula demam Clara sudah turun kan? Ayah sendiri yang mengeceknya pagi buta. Kumohon, boleh ya Ayah?" Jawab Clara dengan nada memohon.
     "Ya sudah, hati-hati ya. Kalau sudah selesai kerja kelompoknya, jangan lupa kabari ayah," Final Dio. Ia tahu, ia tidak akan pernah bisa menolak permintaan putrinya itu.
     "Siap Pak Komandan, laksanakan!" Jawab Clara dengan nada semangat sambil gaya hormat ala-ala tentara pada komandannya.


***


     Dio pun menyelesaikan tugasnya sebagai atasan, CEO di perusahaan miliknya itu. Namun tiba-tiba, ponsel Dio bergetar. Ini panggilan. Dari Jefan, teman lamanya sekaligus ayah dari Amara.
     Drrrtt.... drrrtt....
     Dio mengangkat satu alisnya, karena merasa heran. Tumben sekali Jefan temannya itu tiba-tiba menelpon pada saat jam kantor. Makin anehnya lagi banyak sekali missed call dari jefan. Karena penasaran, akhirnya Dio mengangkat telfon dari Jefan.
     "Halo, Jef. Ada apa? Tiba-tiba sekali?" Tanya Dio dengan memulai pembicaraan.
     "Dio, Kau dari mana saja? ini Aku dan Amara di Rumah Sakit Borromeus. Clara tadi pingsan di taman. Kenapa Kau tidak memberitahuku jika Clara sedang sakit hari ini? atau kasih tau Amara gitu? Tadi pada saat Ku jemput, mukanya sangat pucat." Cecar Jefan pada Dio karena merasa kesal Dio tidak memberitahu Jefan apapun soal kondisi Clara yang memang sedang tidak fit.
     Degggg...
     Dio jelas terkejut menerima kabar bahwa anaknya bisa sampai pingsan dan dilarikan ke rumah sakit.
     "Ya Tuhan, oke tunggu. Aku berangkat sekarang. Kabari Aku kalau ada apa-apa dengan Clara. Tadi pagi jelas-jelas Aku sudah melarang dia untuk pergi kerja kelompok, namun anaknya memang memaksa untuk tetap pergi dan mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja," Jawab Dio dengan tergesa-gesa.
     "Ya sudah. Hati-hati di jalan, jangan ngebut. Tadi dokter bilang dia hanya kelelahan, kurang istirahat. Tapi tadi dia baru di ambil darah." Jelas Jefan pada Dio.
     Dio mengendarai mobilnya seakan-akan tidak ada waktu lagi untuk bisa sampai tujuan. Jantungnya terasa berdegup 3 kali lebih cepat. Clara biasanya tidak sampai segininya apabila sedang sakit, Dio sangat khawatir. Karena sepengetahuan Dio, Clara adalah anak yang sangat kuat. Sekalinya tumbang itu adalah pada saat ia terkena DBD 2 tahun yang lalu.
     Sepertinya, rutinitas Clara memang lebih padat dari sebelumnya hingga bisa membuat Clara drop seperti ini. Dio merasa kali ini Clara sedang tertekan, namun ia tidak tahu hal apakah yang mengganggu Clara karena Clara tidak pernah cerita mengenai kegelisahannya.
     Saat sudah sampai sana, sepertinya Clara memang kelelahan saja karena aktifitasnya yang padat. Begitu kata dokter. Clara di anjurkan untuk menginap selama semalam di rumah sakit, untuk melihat perkembangannya. Apabila pada saat diperiksa nanti tidak ada hal yang serius, Clara besok di perbolehkan untuk pulang ke rumah.
     Dio melihat dari jendela ruang inap Clara bagaimana Clara tidur dengan begitu pulasnya. Ia merasa kasihan pada Clara karena mungkin saja ia terpikirkan kurang kasih sayang seorang ibu.
     "Maafkan Ayah ya, Clara. Ayah belum bisa menjadi Ayah yang baik bagimu. Tapi Ayah janji, apapun yang Kau mau, Ayah pasti akan kabulkan," Monolognya dengan suara yang lirih.
     Ah, sudahlah. memikirkannya saja mampu membuat kepala Dio pusing dan hati sesak. Dio hanya berharap kebahagian dan keceriaan Clara selalu tumbuh pada diri anaknya itu, seperti arti namanya.


***


     Pada keesokan harinya, Clara sudah diperbolehkan untuk pulang karena dokter bilang jika Clara sudah baik-baik saja. Ia sudah bisa beraktifitas kembali seperti sebelumnya.
     Dio bernafas lega mendengar kabar baik itu. Namun tiba-tiba ia mendapat kabar mendadak yang menyatakan bahwa nanti siang ia harus pergi ke luar kota untuk urusan pekerjaannya. Ia merasa sedih karena lagi-lagi tidak bisa menemani Clara untuk istirahat.
     "Clara, Ayah minta maaf. Lagi-lagi ayah tidak bisa menemanimu. Nanti siang Ayah antarkan Kau ke rumahnya Amara ya? Ayah harus pergi ke luar kota. Ayah sudah bilang sama Jefan," Jelas Dio dengan nada sedih.
     "Oh iya. Tidak apa-apa, Ayah. Clara juga kan sudah sembuh. Ayah pergi juga buat kerja kan? Masa mau Clara halang-halangi. Clara senang juga tinggal di rumah Amara. Masakan mamanya Amara enak, terus mama dan ayahnya Amara juga baik sekali padaku. Ayah tidak usah khawatir," Jawab Clara menenangkan supaya ayahnya tidak merasa bersalah.
     "Kau anak yang baik, Nak. Ayah sangat bangga padamu," Jawab Dio pada Clara sambil tersenyum dan mengusap pelan-pelan kepala Clara.
     Sang empu yang diperlakukan seperti itupun tersenyum dan merasa nyaman.
     Setelah mengantarkan Clara ke rumah Amara, Dio langsung tancap gas menuju tempat dimana ia akan mengurusi urusan pekerjaannya.
     Dio hari ini memang sangat sibuk bahkan hingga malam hari tiba, namun tiba-tiba..
     Drrrtt.... drrrtt....
     Ada pesan masuk dari Rumah Sakit Borromeus.
     Tunggu... Siapa yang sakit? bukankah sudah jelas Clara tadi pagi sudah pulang, mengapa ini ada pesan dari Rumah Sakit Borromeus? Baiklah daripada Ia bergelut dalam pikirannya, lebih baik ia membuka pesannya.
     Rupanya isinya adalah hasil lab Clara tentang tes darahnya yang dilakukan tempo lalu.
     "Hmm, hasil lab Clara rupanya. Baiklah." Gumam Dio pada dirinya sendiri.
     Namun 2 menit kemudian, ponselnya kembali bergetar menampilkan profile Rumah Sakit Borromeus. Dio sedikit heran tapi ia tetap mengangkatnya.
     "Halo. Selamat malam Bapak Dio Adelin. Saya Brita, salah satu staf di Rumah Sakit Borromeus. Saya hanya ingin memastikan apakah hasil laboratorium untuk anak bapak atas nama Clara Putri Adelin sudah diterima?" Tanya wanita bernama Brita di ujung sana.
     "Halo, sudah Mbak. Baru saja saya terima," Jawab Dio seadanya.
     "Baik. Jika sudah bapak terima filenya, dan apabila bapak berkenan, Saya akan merekomendasikan spesialis Onkologi dan juga dokter spesialis Anak yang ada di rumah sakit kami," Lanjut Staf Rumah Sakit itu.
     Tunggu, Dio merasa semakin heran. Untuk apa ia ditawari spesialis-spesialis itu?
     "Sebentar, spesialis Onkologi? Bukannya itu spesialis yang menangani pasien yang mengidap kanker ya? Maaf, anak Saya sakit apa ya? Bukannya kemarin dokter bilang jika anak Saya hanya kelelahan karena aktifitas yang berat?" Dio bertanya pada staf itu secara bertubi-tubi, seakan tidak ada hari esok lagi untuk bertanya. Jujur saja ia terkejut tiba-tiba di telepon dan disuguhi kabar seperti ini.
     "Menurut file yang telah dikirimkan tadi, dari hasil tes darah yang telah dikeluarkan terlihat bahwa ada bentuk sel darah yang tidak normal. Dugaan sementara setelah berdiskusi dengan dokter spesialis kami, anak Bapak di diagnosa mengidap Acute Lymphoblastic Leukemia (ALL). Untuk konsultasi dan pemeriksaan lebih lanjut, kami juga memiliki spesialis Hematologi. Tetapi kami sarankan untuk langsung bertemu dengan Spesialis Anak dan Spesialis Onkologi untuk melakukan tahap pemeriksaan lebih lanjut berupa Bone Marrow Puncture (BMP) atau pengambilan sampel sumsum tulang untuk melihat bagaimana perkembangan sel kanker pada tubuh anak Bapak." Jelas staf itu dengan panjang lebar.
     Degggg...
     Dio terdiam, ia masih berusaha mencerna kata-kata yang di sampaikan oleh staf yang sedang meneleponnya saat ini.
     "Halo, Pak? Apa bapak masih disana? Apa ada yang ingin ditanyakan lagi?" Tanya staf itu.
     "Ha-halo. Tidak, Saya rasa sudah cukup. Apabila ada sesuatu, nanti Saya akan datang ke Rumah Sakitnya langsung atau menghubungi Mbak kembali." Jawab Dio dengan sedikit terbata.
     "Baik. Jika tidak ada yang ingin ditanyakan lagi, panggilan ini akan saya akhiri ya. Terima kasih."
     Tutt... tutt... tutt...
     Bunyi sambungan telepon yang putus.
     Jika Dio harus jujur, jujur saja ia merasa seperti habis di sambar petir walaupun ia tidak tahu bagaimana rasanya. Berlebihan. Tapi memang itu yang terjadi. Tubuhnya terasa kaku, lututnya terasa lemas seakan-akan ia tidak memiliki kendali akan tubuhnya sendiri.
     Bagaimana bisa yang kemarin katanya hanya kelelahan sekarang malah di diagnosis mengidap penyakit ganas. Apa tidak salah sambung?
     Ia pun langsung bergegas menelepon Jefan untuk mengetahui keadaan Clara sekarang. Ia khawatir, sangat.
     "Halo, ada apa?" Tanya Jefan di ujung sana.
     "Halo, Jef. Clara mana?" Tanya Dio to the point.
     "Lagi main di atas sama Amara. Ada apa memang?" Tanya Jefan penasaran.
     "Aku pulang sebentar lagi, ini mau siap-siap dulu. Suruh Clara untuk bersiap-siap karena Aku akan menjemputnya." Jelas Dio
     Jefan mengernyit, ia bingung. Temannya itu kenapa.
     "Bukannya Kau baru pergi tadi ya? Besok kan masih bertemu client bukannya? Kenapa Dio? Ada apa?" Tanya Jefan bertubi-tubi.
     "Beritahu Clara saja untuk siap-siap. Besok kemungkinan Aku sampai sekitar pukul 10 malam," Jawab Dio yang sebetulnya tidak nyambung dengan pertanyaan Jefan karena saking paniknya.
     "Dio..." Panggil Jefan
     "Suruh Clara istirahat saja dulu untuk sekarang, ia hanya butuh itu saja, Jef." Jawab Dio.
     "Dio.." Panggil Jefan lagi dengan nada suara yang dinaikkan beberapa oktaf.
     "Kalo--" Perkataan Dio terputus karena di potong oleh Jefan.
     Jefan kesal, cukup.
     "DIO." Tegas Jefan.
     "ANAK. SAYA. SAKIT. CLARA SAKIT, JEF." Jawab Dio dengan suara lantang sambil menekankan tiap katanya. Membuktikan bahwa ia sangat tertekan sekaligus panik dalam situasi saat itu.
     "Sakit? Sakit apa? Dia terlihat sehat-sehat saja dari tadi main sama Amara? Dia memang agak demam. Tapi, normalnya flu memang gitu bukan? lagi pula dia juga tadi sudah minum obat. Don't worry, she's fine." Jelas Jefan dengan sedikit menenangkan Dio, agar Dio tidak menggebu-gebu seperti tadi.
     Jefan berpikir Dio hanya panik saja.
     "Right? She's fine, right? Mereka salah pasti," Adu Dio pada Jefan.
     "Mereka siapa? Dio gini, ini sudah malam. Dan kau menyetir sendiri, lewat jalan tol pula. Bahaya, apalagi dengan kondisimu yang sekarang jauh dari kata baik-baik saja. Kau sedang panik Dio. Jika Kau khawatir pada Clara, Kau bisa jemput dia besok. bukan sekarang. Aku bisa jamin kalau Clara akan baik-baik saja bersamaku malam ini, oke? Karena Aku yakin Clara akan lebih mengkhawatirkanmu jika dirimu menyetir malam-malam dengan waktu yang tidak sebentar." Jefan berusaha menenangkan Dio dengan kata-katanya.
     "Sekali lagi Aku titip Clara padamu ya, Jef. Akan Aku usahakan besok pagi setelah tandatangani kontrak kerja sama dengan perusahaan lain, Aku akan segera jemput Clara. Besok Clara tidak usah sekolah dulu. Kabarin juga kalau dia merasakan sesuatu entah itu demam, pusing, atau apapun itu ya Jef. Aku sangat khawatir. Aku akan berusaha menyelesaikan urusanku malam ini," Jawab Dio panjang lebar.
     "Oke, Dio. Tenang saja. Baiklah, sudah tenang bukan? Aku tutup yaa, akan kubiarkan dirimu merenung dan menyelesaikan urusanmu itu. sampai jumpa, Dio." Tutup Jefan.
     Menyangkal.
     Adalah sikap yang Dio lakukan semalaman itu. semalam suntuk sambil mengerjakan beberapa draft yang harusnya ia kerjakan esok hari sembari berkali-kali mengatakan bahwa,
     "Clara baik-baik saja."
     "Ia sehat dan akan selalu sehat."
     "Pasti data yang diberikan itu tertukar dengan Clara lainnya, bukan Clara Putri Adelin. Bukan Clara putriku."
     Ya. Menyangkal.


***


     Pada keesokan paginya, Clara menghubungi Dio. Ia mengungkapkan kekesalannya pada Dio yang memerintahkan Jefan agar dirinya tidak bersekolah hari ini.
     "Ayaaahh, Kenapa Clara tidak boleh masuk sekolah? Gara-gara Aku tidak sekolah, Amara juga jadi tidak ikut masuk sekolah tau. Huh, Ayah menyebalkan," Keluh Clara pada Dio, ada nada kesal di ujung sana.
     "Kau demam tidak? Atau ada yang sakit, apa gitu? Semacam sakit kepala?" Bukannya menjawab pertanyaan Clara, Dio malah mencecarnya dengan pertanyaan lain.
     "Tidak Ayah, Aku baik-baik saja. Aku sudah sembuh, Ayah tidak usah khawatir," Jawab Clara.
     "Baiklah kalau begitu. Kau harus banyak istirahat, Clara. Ini Ayah mau pulang, mau dibawakan apa?" Tanya Dio sebelum mengakhiri percakapan.
     "Aku mau Soto Naylaaaaa," Jawab Clara dengan semangat.
     Ya, Soto Nayla adalah makanan favorit Clara.
     Dari percakapannya dengan Clara di telepon tadi, Dio merasa bahwa Clara memang baik-baik saja. Tak ada yang berbeda darinya. Ia harus memastikan kembali ke rumah sakit sekarang sebelum pulang ke rumah.
     Ketika Dio sudah sampai di rumah sakit, ia langsung datang ke bagian resepsionis sesuai arahan sebelumnya.
     "Selamat pagi, Pak. Ada yang bisa Saya bantu?" Tanya resepsionis tersebut dengan ramah.
     "Selamat pagi, Mbak. Kemarin malam saya menerima hasil lab anak saya atas nama Clara Putri Adelin, lalu Saya di hubungi oleh salah satu staf di rumah sakit ini. Beliau mengatakan bahwa anak saya perlu konsultasi lebih lanjut dengan spesialis onkologi dan spesialis anak. Saya juga telah menerima diagnosa dari penyakit yang di alami anak Saya berdasarkan hasil tes darah tersebut. Mohon maaf sebelumnya, Saya ingin memastikannya kembali. Takutnya ada kesalahan informasi, jadi Saya merencanakan untuk tes ulang. Bisakah saya pagi ini mendaftarkan ulang anak saya untuk di tes ulang?" Jelas Dio panjang lebar pada resepsionis ber-name tag 'Olivia' tersebut.
     "Baik Pak, sebentar kami cek kembali ya Pak untuk hasil lab anak Bapak," Jawab resepsionis tersebut.
     Setelah menunggu sekitar beberapa menit, dan  resepsionis tadi telah menerima data, ia kembali pada hadapan Dio.
     "Mohon maaf, Pak. Tetapi hasil tes telah kami cek kembali agar tidak ada data ataupun informasi yang tertukar dengan pasien lain. Tingkat akurasinya pun tinggi, Pak. Kami tidak menemukan adanya kesalahan pada informasi yang telah kami berikan pada Bapak. Tetapi, apabila saya diperbolehkan menyarankan, Bapak bisa berkonsultasi langsung dengan dokter spesialis anak untuk membicarakan hasil laboratorium tempo lalu milik anak Bapak. Pendaftaran bisa dilakukan saat ini juga, apabila Bapak berkenan, Saya akan langsung daftarkan saat ini juga Pak. Dokter Al, spesialis anak. Jam praktek hari ini pada pukul 3 sore sampai dengan pukul 8 malam," Jelasnya panjang lebar.
     "Baik, Saya daftarkan anak Saya untuk sore ini ya," Akhirnya Dio ternyata harus membawa Clara kembali ke tempat seperti ini lagi, tempat dengan bau khas obat.


***


     Dio sudah menjemput Clara dari rumah Jefan. Kali ini ia bingung bagaimana caranya membujuk anaknya itu agar ia mau ke rumah sakit untuk di suntik ambil darah lagi menindaklanjuti pengobatannya. Ia harus memutar otak dan pintar bernegosiasi dengan anaknya yang takut dengan jarum suntik itu.
     Dio terus melirik ke bangku sebelah kemudinya, menunggu waktu yang pas untuk bicara dengan anaknya itu.
     "Clara..." Panggil Dio untuk mengawali percakapan
     "Hmmm..." Clara hanya menjawab begitu, menandakan ia sedang malas berbicara.
     "Aduh, Aku harus ngomong apalagi ya?" Monolog Dio dalam hati.
     Ah! tiba-tiba Dio teringat sesuatu.
     "Clar, mau ke Gramedia tidak? nanti Ayah belikan majalah dan komik kesukaanmu, dan Kau bisa memilih sebanyak yang Kau inginkan," Tawar Dio kepada Clara dengan menaik-turunkan alisnya.
     Clara tampak menimang perkataan Dio tadi.
     "Ayah, kalau Ayah mau bilang 'tapi Kau harus ranking 1 dulu di kelas' Clara sudah bilang ya, di kelasku ada Abel! Dia sangat pintar, anak itu sangat menyebalkan! Aku sepertinya tidak bisa mengalahkannya tahun ini," Sorot matanya nampak sedikit kesal, mungkin teringat kejadian di sekolahnya.
     "Hahahaha, bukan. Kalau Kau mau, Ayah bisa mengantarmu sekarang. Tapi pulangnya nanti, mau ya di ambil darah sekali lagi? Di suntik gitu--" Akhirnya Dio bisa menyampaikan ini padanya, namun dengan cepat Clara memotong pembicaraannya.
     "-TIDAK." Potong Clara cepat.
     Dio menghela nafas panjang.
     "Sekali saja, Nak. Nanti Ayah--" Ucapan Dio terhenti.
     Dio melihat cairan merah timbul perlahan dari hidung mungil Clara.
     Darah.
     Clara mimisan.
     Dio buru-buru mengambil tisu di dashboard mobilnya. Tapi anaknya ini sudah lebih dulu menyadarinya dan mengusapnya menggunakan punggung tangannya.
     Merasa seperti diberikan ide secara tiba-tiba, Clara memperlihatkan deretan giginya pada Dio.
     Dio mengernyitkan dahinya, heran. Anak ini kenapa?
     "Wah! Kebetulan sekali. Ayah kan butuh darah Clara, ambil saja darah ini," Tunjuknya pada darah mimisannya.
     Dio melotot heran, anaknya ini entah menganggap mimisannya enteng atau bagaimana. Tapi ia sangat santai menanggapinya. Dio takjub pada putrinya ini.
     "Kau jangan melihat ke atas. Tidak apa-apa kau menunduk saja, sini ayah tadangin," Perintahnya pada Clara.
     Ia hanya mengangguk patuh dan menuruti perintah Dio, menunduk.


***


     Setelah perdebatan tadi di mobil, Clara akhirnya mau di ambil darah di rumah sakit. Untung saja Dio punya 1001 macam bujukan untuk Clara agar anak itu mau menuruti permintaan ayahnya.
     Kini Dio dan Clara sedang menunggu di ruang antrian untuk menunggu giliran tes darah.
     "Ayah sudah tidak menyayangiku, ya?"
     "Ayah, padahal tadi darah yang keluar dari hidungku itu banyak. Mengapa tidak darah itu saja yang Kau gunakan untuk diberikan pada rumah sakit ini?"
     "Ayah, ayo pulang. Lama sekali, bisa beli ice cream di kantin dulu inimah."
     "Ayah, Clara takut jarum suntik. Ayah kan tahu. Emang darah Clara itu untuk apa sih?"
     Dan berbagai ocehan lainnya Clara keluarkan dari mulutnya yang tidak pernah merasa lelah karena keseringan bicara. Dio pun heran, Clara memang benar-benar kloningan ibunya.
     Dio hanya memperhatikan bagaimana Clara berbicara, tanpa berniat membalas perkataan anaknya itu. Ia menikmati situasi ini, takutnya nanti tidak bisa.
     Tanpa ia sadari, perasaan ini merupakan firasat yang sebenarnya akan berkaitan dengan peristiwa yang tidak pernah ia bayangkan.
     "Andai saja Rania masih ada. Sayang, lihatlah anak kita dia sangat pintar bicara, sama sepertimu." Gumam Dio dalam hati.
     Hingga akhirnya Clara mendapat gilirannya.
     "Ayaaaahhhhh.... Takut...." Rengek Clara pada Dio karena kini lengan atas Clara sudah siap untuk di suntik tinggal menunggu Clara rileks.
     Hilang sudah sosok yang tadi terus marah-marah dan mengoceh.
     "Jangan lihat suntiknya, lihat Ayah saja ya?" Ujar Dio sembari mengelus surai hitam milik Clara.
     Wajahnya nampak pucat. Mungkin karena efek ketakutan juga. Melihatnya, Dio jadi merasa tidak tega. Tapi ini juga untuk kebaikan Clara.
     "Adek Clara, kamu cantik banget ya ampun. Lebih bagus lagi kalau kamu juga berani. Pasti kamu perempuan yang berani bukan?" Tanya perawat yang akan menyuntik Clara.
     Clara hanya mengangguk.
     "Nah. Kalau kamu berani, kamu harus mau di suntik sama suster. Gak sakit kok, kaya di gigit semut aja. Kamu nanti cuma perlu tarik nafas panjang satu kali ya? Jangan di tahan. Okee?" Bujuk perawat itu kembali dengan nada yang ramah.
     Clara mengangguk dengan gugup.
     Tangan sebelah kanannya Dio genggam untuk mengurangi ketegangan di bagian situ.
     "Clara, kita nyanyi yuk?" Ajak Dio pada Clara untuk mengalihkan perhatiannya agar tidak fokus pada suntikannya.
     "Ayah, jangan bercanda. Ini Clara sedang memperjuangkan hidup dan mati." Hiperbolanya.
     Dio melipat bibirnya ke bagian dalam, dia menahan tawanya. Anaknya lebay sekali.
     "Justru biar tidak terasa sakit, Ayah mengajakmu untuk bernyanyi," Alibi Dio pada Clara.
  "Ayo nyanyi..."
  "Twinkle, twinkle, little star..." Dio memulai nyanyiannya agar Clara mengikutinya.
     "Twinkle, twinkle, little star. How I wonder what you are. Up above the world so high. Like a diamond in the sky. Twinkle, twinkle, little star. How I wonder what you are..." Clara mulai mengikuti nyanyian Dio.
     Dio memberikan kode pada perawat yang akan menyuntik Clara untuk segera melakukan proses pengambilan darah.
     "Twinkle, twinkle, little sta--R AYAHHHHHHHH..." Clara teriak akibat suntikannya sudah dimulai.
     "Ayaaaahh.... Susternya bohong sama Clara, katanya kaya digigit semut. Kalau rasanya seperti ini bukan semut, tapi kalajengking." Adunya pada Dio berharap mendapatkan pembelaan.
     Seisi lab dibuat tertawa oleh perkataannya.
     Dio hanya menghembuskan nafasnya pelan.


***


     Sore ini Dio akan menitipkan kembali Clara di rumah Jefan. Ia akan pergi ke rumah sakit untuk mengecek hasil lab-nya Clara serta berkonsultasi dengan spesialis anak. Ia juga akan mengajak Jefan untuk menemaninya.
     Tok-tok-tok
     Dio mengetuk pintu rumah Jefan.
     Sang pemilik rumah keluar menatap Dio heran, sambil menaikkan sebelah alisnya menyiratkan "Ada apa?"
     "Aku mau menitipkan Clara lagi di sini. Kau temani aku ke rumah sakit. Mau ya?" Ungkap Dio to the point.
     "Ngapain?" Tanya Jefan heran, sambil mempersilakan Dio masuk dengan Clara yang ada di gendongannya.
     Setelah Dio menidurkan Clara di atas kasur di kamar tamu rumah Jefan, Amara datang. Matanya tampak berbinar karena kedatangan Clara.
     "Wah ada Clara," Kata Amara.
     "Maaf ya Amara, hari ini kamu jadi tidak sekolah karena menemani Clara," Ucap Dio merasa bersalah.
     "Tidak usah minta maaf Om. Aku malah-- a-aduh Papa sakit jangan dicubit!" Keluh Amara kesakitan karena dicubit oleh Jefan.
     "Kau bandel. Sudah mengerjakan PR belum?" Tanya Jefan yang baru masuk ke kamar tamu membawakan 2 gelas minum dan beberapa toples kue kering.
     Dapat Dio lihat, Jefan menatap Dio bergantian dengan menatap lengan baju Clara yang terlipat sebelah. Menampakkan perban baru disana berwarna sedikit kemerahan, padahal sudah dua kali ganti perban. Tapi darahnya sulit berhenti.
     "Amara, bilang pada mamamu jika sudah beres pekerjaan di dapur, tolong bantu gantikan perban Clara ya." Perintah Jefan pada Amara.
     Amara mengangguk mendengar perintah Jefan.
     "Titip Clara ya, Amara." Ucap Dio pada gadis kecil itu. Amara hanya mengangguk sambil tersenyum.


***


     "Selamat sore, Pak." Sapa seorang dokter bertubuh tinggi itu. Di lehernya tergantung sebuah stetoskop berhiaskan boneka kecil. Sangat mencirikan bahwa ia adalah seorang dokter anak.
     "Lho, Claranya tidak ikut Pak?" Tanya dokter itu pada Dio. Karena dia mengira Clara ikut ternyata yang ikut bersamanya adalah Jefan.
     "Malam, Dok. Hahaha, ini teman Saya. Clara sudah Saya bawa pulang tadi karena saya takut dia kelelahan." Jawab Dio pada dokter ber-name tag  'Al' itu.
     Dokter Al hanya ber-oh ria.
     "Untung tadi sebelum masuk lab sempat diperiksa dulu oleh dokter umum. Jadi saya masih bisa lihat rekap datanya. Ini hasil tesnya yang baru, Pak. Baru saja sampai beberapa menit yang lalu," Ucap dokter Al sambil memeriksa hasil lab Clara tadi siang dan membandingkannya dengan hasil lab Clara tempo lalu yang Dio tolak.
     Dio mengangguk gugup. Tangannya berkeringat dingin, ia takut mendapat kabar buruk lagi.
     Setelah beberapa menit, dokter Al menatap Dio serius. Tatapannya sulit dimengerti. Dio jadi ketakutan sendiri.
     "Bapak, hasil tes kedua ini isinya masih sama. Dan saya bisa nyatakan bahwa hal ini memang benar adanya. Sesuai dengan rekam medis dari dokter umum, saya juga dapat menyimpulkan bahwa anak bapak divonis Acute Lymphoblastic Leukemia atau yang biasa kita sebut dengan kanker darah." Jelas dokter Al panjang lebar.
     Degggg...
     Jefan menatap Dio terkejut.
     Ternyata begini jika Dio mendengarnya langsung dari mulut dokter terkait. Ia merasa seluruh yang ada di langit-langit runtuh dan menimpanya saat itu juga. Ia takut.
     "Dok, Anda serius?" Tanya Jefan memulai percakapan padahal ia daritadi diam saja. Ia mewakili salah satu pertanyaan yang ingin Dio tanyakan juga.
     Dio merasa kelu.
     Saat ini Dio merasa seperti jantungnya tidak ada di tempatnya. Ia sangat terkejut dan tidak ingin menerima apapun penjelasan yang dokter Al katakan pada Jefan.
     "Pak, denial dan ragu itu pasti di alami oleh semua orang tua yang anaknya divonis sakit. Tapi kita harus sama-sama menerima ini dan berusaha mencari obat terbaik untuk menyembuhkan pasien." Ujar dokter Al.
     Dio merasa ingin menangis detik itu juga. Namun ia tahan dengan egonya sendiri.
     "Pengobatan terbaik apakah yang bisa diberikan pada Clara, Dok?" Tanya Jefan.
     Untung saja Dio mengajak Jefan bersamanya. Kalau tidak, bisa Dio bayangkan mungkin sekarang hanya keheningan yang hinggap di ruangan ini.  Ternyata Jefan sangat membantu Dio yang saat ini tidak bisa bicara apa-apa. Jelas saja, Dio sangat terkejut.
    "Kami belum tahu pasti tindakan apa yang harus dijalani oleh anak Clara. Karena dibutuhkan beberapa tes seperti BMP atau pengambilan sampel sumsum tulang darah, dan beberapa tes lainnya yang dibutuhkan untuk mengetahui pasti kondisi sel kanker dan stadiumnya. Setelah itu baru kami bisa memutuskan. Akankah dengan kemoterapi atau dengan radiologi, atau bahkan dengan donor sumsum tulang belakang," Jelasnya dengan panjang.
    Dio tentu saja menyimak setiap perkataan yang dokter Al jelaskan. Tanpa terkecuali.
    "Besok Saya juga ada di jam praktek yang sama. Clara bisa dibawa kesini untuk saya periksa dan penentuan untuk jadwal tes lainnya. Lebih cepat akan lebih baik. Karena jujur saja, kanker adalah persoalan tentang permainan waktu dan pola hidup." Jelas dokter Al lagi.
    "Apa Clara bisa sembuh, Dok?" Kali ini Dio yang bertanya. Ia sudah tidak tahan. Karena hal itu yang paling penting untuknya sekarang.
    Dokter Al tersenyum.
    "Kami akan melakukan yang terbaik." Jawabnya.
    Mungkin, inilah patah hati seorang Ayah. Saat dihadapi bahwa anaknya sedang tidak baik-baik saja. Dio tidak bisa membayangkan dengan usia sekecil Clara, ia harus menahan semua rasa sakit itu dan berjuang untuk hidupnya sendiri.
    Dunia benar-benar terasa runtuh tepat di atas kepala Dio saat itu.
    Berkali-kali Dio menyalahkan tuhan dalam hati.
    "Mengapa bukan Aku? Mengapa harus anakku yang mengalaminya?" Tanya Dio dalam hati.
    Tapi tidak ada satupun jawaban yang muncul malam itu. Hanya sendu tak berkehabisan.


***


     "Dio! Tunggu!" Panggil Jefan
     Dio meninggalkan Jefan dibelakang. Setelah selesai konsultasi, Dio langsung bergegas keluar dari ruangan berbau khas obat itu. Berjalan menjauh. Ia ingin cepat-cepat pulang dan tidur berharap kalau semua ini hanyalah mimpi.
     "DIOO!!" Teriak Jefan bersamaan dengan pundaknya yang tertarik ke belakang karena pegangan Jefan.
     "Aku yang nyetir." Ujar Jefan.
     Jefan berusaha merebut kunci mobil di tangan Dio. Tapi Dio menggenggamnya erat. Enggan melepasnya.
     "Dio..." Panggil Jefan melunak.
     "Jef, Aku harus gimana? Aku... Aku tak tahu harus apa? Aku harus ngapain? Aku harus bereaksi bagaimana? Ini mimpi kan, Jef? BILANG KALAU INI MIMPI DAN CEPAT BANGUNKAN AKU!" Frustasi Dio.
     Di parkiran yang tidak ramai ini, Dio menjatuhkan lututnya ke tanah. Ia menangis. Pertahanan yang dibangun tinggi olehnya tadi mendadak runtuh semua.
     "Dio, jangan begini. Ayo kita pulang dulu, kita bicarakan di rumahmu." Ajak Jefan pada Dio.
     "Dia bahkan takut dengan jarum suntik, Jef. Kau tahu bagaimana tadi susahnya membujuk dia supaya dia mau di ambil darah? Jef, melihatnya tadi siang di suntik saja hatiku sakit sekali. Menjadi Ayah saja aku tidak benar. Aku tidak pantas dipanggil Ayah. AKU TIDAK PANTAS MENJADI AYAHNYA CLARA." Ungkap Dio putus asa.
     "Dio. Kau tidak bisa menyelesaikan masalah jika kau terus begini. Ayo Dio, kau bisa. Kita bisa. Ada Aku, ada Amara. Kita akan membantumu.  Dunia belum berakhir. Kita pasti bisa mencari jalan keluar untuk kesembuhan Clara. Kau harus yakin. Clara pasti sembuh. Jika kau begini terus dan ragu, gimana nanti Clara?" Ucap Jefan berusaha menenangkan Dio.
     Jefan menarik lengan Dio untuk bangun dari posisi berlutut. Ia memegang bahu Dio dengan kedua tangannya, menatap Dio serius.
     "Kau tidak boleh terlihat lemah seperti ini di hadapan Clara. Kau harus kuat. Kau harus lebih kuat dari Clara. Dia butuh Kau, hanya Kau yang dia punya sekarang. Kau harus bisa membawa Clara untuk tetap tegar dan kuat menghadapi ini semua," Jefan berusaha menguatkan Dio.
     Pikiran Dio kembali berkelana ke bagian bagaimana kebersamaan dan chemistry antara ayah dan anak itu. Bagaimana ia menghabiskan waktu dengan Clara, bagaimana tingkah Clara yang selalu membuat dirinya tertawa.
     Clara terlalu sempurna untuk semua kegelapan ini. Ia adalah cahaya matahari yang terlalu bersinar. Karena hal tersebut juga, Dio jadi meragukan perkataannya. Bagaimana bisa, sinar teriknya diredupkan bahkan saat usianya masih belia seperti sekarang?
     Jefan membukakan pintu mobil di belakang Dio. Entah sejak kepan ia mengambil alih kunci mobil yang ia genggam erat tadi.
     "Yuk, masuk. Clara pasti menunggu ayahnya pulang." Ajak Jefan pada Dio.
     Baiklah, ini sudah saatnya. Ia harus baik-baik saja di depan Clara.


***


     Dio membawa Clara pulang ke rumah. Ia mendekap tubuh mungil anaknya itu seolah tidak ada hari esok. Tubuh Clara terasa sangat hangat. Sampai-sampai Dio bisa terlelap di sampingnya sembari menggumamkan doa-doa dan cerita yang ia ucapkan dalam hati yang ia jadikan sebagai tanda bahwa ia tidak ada tempat berserah diri dan tempat cerita lain selain mengadu kepada Tuhan yang menciptakan semuanya. Termasuk penyakit Clara.
     Kurang lebih beginilah isi dari doa dan harapannya,
     "Tolong bangunkan Aku dari mimpiku. Kembalikanlah keceriaan anakku." Gumam Dio dalam hati.


***


     Drrrtt... drrrtt.... drrrtt.....
     Ponsel Dio bergetar, ada telepon masuk dari Jefan.
     "Halo..." Dio mengangkatnya dan menyapa orang di ujung sana.
     "Halo, Dio. Jam berapa mau ke rumah sakit? Aku mau ikut." Tanya Jefan pada Dio.
     "Tidak usah. Aku saja sama Clara." Tolak Dio.
     "Yakin?" Tanya Jefan memastikan.
     "Jam 5 sore." Jawab Dio pada akhirnya.
     "Tapi, Jef. Haruskah Aku memberitahunya?" Tanya Dio ragu.
     "Tentang apa?" Tanya Jefan kembali.
     "Ya tentang ini, sakitnya dia." Jawab Dio.
     "Dio. Itu tubuhnya. Dia seharusnya tahu apa yang terjadi pada tubuhnya. Harus. Kau tidak boleh menyembunyikan 1 fakta pun tentang penyakitnya dia." Jelas Jefan.
     "Aku takut, Jef. Takut kalau setelah Aku beritahu, dia tidak akan seceria dulu lagi. Aku takut dia bakal down." Aku Dio.
     "Dio. Sekarang Aku tanya, siapa yang dulu memelukmu, membantu menggenggam tanganmu, memberikan mu payung, dan menyuruhmu untuk tidak menangis setelah pemakaman istrimu? Dia Clara. Di umurnya yang masih 5 tahun, tidak mengerti apapun. Padahal dia juga kehilangan ibunya. Harusnya dia yang lebih sedih gak sih? Tapi Kau lihat apa yang dia lakukan? Apa pernah dia jadi murung dan tidak bersemangat setelah itu? Dia malah membantumu, menghiburmu. Membantumu untuk bangkit dari keterpurukan. Hanya itu yang bisa ku ingatkan padamu. Sekarang kau bantu dia untuk bangkit, semangati, bantu dia mengembalikan cahaya terangnya. Paham? Aku akan menjemput Amara dan Clara di sekolah. Kau langsung saja pergi ke rumah sakit, Kita menyusul." Jefan berusaha mengingatkan Dio tentang sesuatu yang mengungkit memori yang telah Dio kubur selama bertahun-tahun.
     Tuttt... tutt... tutt...
     Sambungan telepon terputus.
     Jefan benar. Clara selama ini tidak pernah mengeluh walau harus hidup dengan satu orang tua saja, tanpa seorang ibu. Ia selalu tau cara tersenyum, bahagia, ceria. Ia juga selalu tau cara menarik Dio kembali dari kegelapan.
     Wah.
     Memikirkannya saat ini pun mampu membuat Dio benar-benar ingin menangis.


***


     "AYAAAHHHHH." Clara berteriak memanggil Dio.
     "Wah. Wah, benar-benar deh, Ayah. Ayah mau lihat Clara ngamuk dan berubah jadi barongsai, ya? Kenapa Clara dibawa ke rumah sakit lagi sama Om Jefan? Kata Om Jefan, Om Jefan janjian sama Ayah di sini. Ini tangan Clara saja belum sembuh, Ayah. Bagaimana bisa mau di suntik lagi?" Clara marah-marah pada Dio.
     "Maaf ya, Clar. Om Jefan bawa kamu kesini karena ada yang mau ketemu dan bicara sama kamu." Kata Jefan.
     "Tapi Clara Tidak mau di suntik lagi ya!" Ucap Clara menegaskan.
     "Iyaaa, Cepat sini masuk ke ruangannya. Dia sudah menunggumu." Jawab Dio.
     Dio membiarkan Dokter Al untuk berbicara dengan Clara mengenai keadaan tubuhnya yang sekarang. Dio berfikir bahwa Dokter Al akan mempunyai bahasa yang bisa lebih dimengerti oleh anak seumuran Clara.
     "Clara..." Panggil Dio.
     Clara dan Dio sudah keluar dari ruangan Dokter Al. Clara tampak memperhatikan seluruh penjelasan dari Dokter Al dengan seksama. Ia juga tidak memberikan respon seperti marah ataupun berteriak seperti tadi sebelum masuk ruangan Dokter Al. Ia hanya duduk diam mendengarkan, itu aneh.
     Jantung Dio lagi-lagi terasa berdetak kencang. Takut kalau semua yang ada di kepala Dio benar. Dio mengajaknya duduk di kantin rumah sakit membicarakan semua hasil diskusinya bersama Dokter Al. Tentu saja sambil memesan minuman favoritnya, Susu Coklat.
      "Ayah..." Panggil Clara.
      Dio menatapnya, merasa gugup. Tetapi saat Dio menatap maniknya, tidak ada raut sedih maupun kecewa disana.
      Dio mengerutkan kening, bingung.
      "Jadi... Clara sakit kayak yang di film-film itu ya?" Tanyanya polos.
      Dio mengangguk pelan.
      "Oh..." Lanjutnya pelan
      Hah?
      Tatapan Dio berubah menjadi kebingungan. Bagaimana bisa responnya sesantai itu? Apakah Clara sangat shock?
      "Clara, apa Kau tidak sedih?" Tanya Dio pada Clara. Pertanyaan retoris tentunya.
      "Sedih. Tentu saja sedih sekali. Pasti nanti Clara akan merasakan sakit seperti saat flu kemarin bukan? Tapi kalau Clara sedih terus, nanti Ayah juga ikut sedih. Clara tidak mau jika Ayah ikut sedih. Lagipula, kata Dokter Al Clara bisa sembuh kok. Tapi harus sabar dan tidak boleh bandel, kan?" Jelasnya.
      Manik mata Clara bertemu dengan manik mata Dio yang sudah sedikit berkaca-kaca. Ia memikirkan Dio jauh sebelum memikirkan dirinya sendiri. Ia takut Dio sedih. Clara jauh lebih tegar dan kuat dari yang Dio bayangkan.
      "Tuh kan, Ayah nangis. Clara tidak mau melihat Ayah seperti ini. Ayah... Clara gak jadi sedih deh-" Ucap Clara terpotong.
      Belum ia menyelesaikan kalimatnya, Dio sudah merengkuhnya dalam pelukan Dio. Menitikkan air mata sambil mendekapnya.
      "Ayaaahhh, Sudah ya. Malu di liatin orang-orang, malu juga sama Amara." Ujarnya sambil menunjuk Amara yang tampak memperhatikan Dio dan Clara.
      "Yah... Tapi jujur... Clara takut. Clara beneran bisa sembuh kan?" Tanyanya.
      Dio terdiam mendengar pertanyaannya. Tapi ia mengingat perkataan Jefan. Dio tersenyum pasti dan menggenggam kedua tangan Clara. Mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh Clara.
      "Bisa. Anaknya Ayah kan kuat. Clara pasti sembuh. Percaya ya sama Ayah?" Tanya Dio sambil menyalurkan energi pada Clara.
      Clara mengangguk pasti.
      "Ayah..." Panggil Clara
      "Hmmm..." Dio hanya menjawabnya dengan deheman.
      "Satu lagi. Clara mau diobati tapi tidak mau di suntik." Ungkapnya.
      Duh, inilah masalah utamanya.
      Jefan duduk di samping Dio. Ia menatap Dio dengan tatapan bingung sambil melirik Clara bergantian dengan menatap Dio. Ia heran bagaimana bisa Clara sesantai itu dan kembali bermain dengan Amara setelah ia membicarakannya dengan Dio.
      Dio tersenyum penuh makna. Dio bangga pada Clara, bahkan sampai kapanpun.


***


     "Clara." Panggil Dio.
     Clara menoleh.
     "Besok jangan makan apa-apa ya? Dari pagi. Tapi nanti malam Ayah belikan Soto Nayla kesukaan Clara." Dio sedang bernegosiasi.
     "Lho? Kenapa, Yah? Kita mau puasa ya?" Tanyanya bingung.
     "Iya. Kita juga mau tes, kan kemarin sudah janji sama Dokter Al. Oke kan?" Tanya Dio memastikan
     "Iya, Oke Ayah. Ayah sudah bilang pada Dokter Al?" Tanyanya.
     "Bilang apa?" Jawab Dio
     "Bilang kalau Clara tidak mau disuntik." Jawabnya polos.
     Dio kikuk.
     "Sudah sana tidur." Dio mengalihkan pembicaraan.
     "IH JAWAB DULU AYAH." Clara berteriak.
     "Tidak Tahu, Dokter Al kan bukan teman Ayah." Jawab Dio seadanya.
     Sang empu tidak mendapat jawaban puas. Ia hanya menggembungkan pipinya kesal, lucu sekali anak itu.


***


     "Ayah, Clara lapar..." Ucap Clara.
     Itu adalah hal pertama yang Clara ucapkan saat ia sudah mengganti bajunya dengan baju khusus rumah sakit.
     Hari itu ia akan melaksanakan tes yang dimaksud. Ia akan menjalani tes BMP.
     BMP kurang lebih prosedurnya seperti gambar dibawah ini. Mungkin untuk yang lebih lanjut dan lebih pastinya bisa dicari di internet.

Gambar : Pict from Google. 
Gambar : Pict from Google. 

     Clara tampak pucat, gugup, dan wajahnya terlihat sangat tidak tenang walaupun ia terus berlagak ingin terlihat baik-baik saja.
     Dio paham. Ia takut.
     Clara meminum obat yang diberikan oleh dokter. Perlahan-lahan ia mulai mengantuk, lalu Dio membaringkannya sembari mengelus surai hitamnya.
     Kala itu menjadi hari yang paling menyayat hati bagi Dio. Bagiamana tidak, Dio menyaksikan dengan jelas bagaimana jarum besar itu masuk ke punggung Clara. Bukan sebuah pemandangan yang ingin Dio lihat. Ditambah lagi, suara rintihan Clara yang meminta untuk segera dihentikan, ia kesakitan. Sangat. Saat bahkan sudah diberi anestesi sebelumnya.
     "Ayah... sakit..." Lirihnya.
     Dio menggenggam tangan Clara, berusaha untuk menyalurkan kekuatan yang ia punya. Tapi nihil. Ia tetap melenguh kesakitan tak berdaya.
     "Aaaaaa..... Sakit.... Aku sudah tidak tahan lagi" Begitu ucapannya.
     Hati Dio sakit mendengarnya.
     Dari situ perasaan Dio sebagai seorang ayah lagi-lagi hancur karena ia tahu, ia tidak bisa melakukan apapun untuk mengurangi rasa sakit yang Clara derita.


***


     "Ayah..." Panggil Clara.
     Ini hari ketiga setelah Clara menjalani BMP. Dari kemarin lusa ia tak bisa menghilangkan rasa tidak nyaman yang menjulur hingga ke kaki. Kepalanya pusing karena nyeri.
     Bagaimana Dio tahu?
     Tentu saja dari celotehan Clara yang tidak pernah berhenti. Tidak terhitung sudah berapa kali ia mengucapkan "Yah, sakit..." dalam 3 hari ini.
     "Sakit, Yah." Ujarnya sambil menahan sakit.
     Dio akan mulai menghitung kata ini sekarang agar bisa mengingatkannya pada perjuangan Clara.
     "Sabar ya Sayang..." Dio berusaha menenangkan Clara.
     Dio bingung.
     "Ini sakit banget. Badan Clara seperti ditusuk puluhan jarum. Kakinya pegel banget. Sakit, Yah." Keluhnya lagi.
     "Sabar. Soalnya virus jahatnya lagi di bunuh-bunuhin. Makanya sakit banget. Sabar ya?" Lagi-lagi Dio berusaha menenangkan Clara dengan kata 'sabar'.
     Clara mengangguk pasrah. Ia mengambil ponsel miliknya, dan mulai membuka aplikasi yang menyediakan tontonan yang biasa ia tonton. Dengan itu, setidaknya Clara tidak akan mengeluh sakit sampai 2 jam kedepan.


***


     Hari-hari setelah Clara menjalani tes berlalu begitu cepat. Rangkaian hasil tes sudah di infokan begitu pula dengan tahap pengobatan selanjutnya.
     Clara malam ini tiba-tiba demam tinggi. Tadi Dio sempat khawatir takut Clara kenapa-kenapa. Besok juga Clara akan menjalani kemoterapi pertamanya. Akan tetapi, setelah ia tanyakan pada Dokter Al rupanya itu wajar. Clara masih ada traumatic fever akibat BMP-nya tempo lalu. Tidak ada yang perlu di khawatirkan. Yang penting hari esok trombositnya sudah mencukupi untuk mengikuti kemoterapi.
     Namun yang Dio khawatirkan adalah, bagaimana caranya ia membujuk Clara kembali agar ia mau menjalani pengobatan yang ada suntiknya.
     Dio kebingungan sendiri. Sampai akhirnya ia menghubungi Jefan, sahabatnya.
     "Duh, Jef. Aku bingung." Ucap Dio di telepon pada Jefan.
     "Bingung kenapa?" Tanyanya di ujung sana.
     "Clara besok mau Chemo pertama, tapi karena dia demam, Aku konsultasi sama dokternya katanya suruh cek darah dulu. Harus sogok pake apa lagi ya, bingung" Jelas Dio.
     "Oh iya, besok Chemo pertamanya Clara ya? Aku bawakan hadiah saja nanti. Aku tanya Amara dia sedang ingin apa." Ucap Jefan.
     "WADUH. Makasih Ya, Jef."
     Oke, Clear.
     "AYAH, TAU GA? Tadi Om Jefan membawakan hadiah untukku. Ia membelikan kamera Instax yang Clara idam-idamkan." Teriaknya bahagia.
     Baru saja memasuki kamar rawat inapnya, Dio di serbu teriakan bahagia dari Clara.
     Dio tersenyum.
     Clara sangat ceria, seperti namanya. Sepertinya rasa takutnya tadi pagi sudah hilang dalam sekejap.
     "Oh? Bagus dong. Sudah bilang terima kasih?" Tanya Dio pura-pura tidak tahu.
     "Sudahhh!" Jawabnya antusias.
     "Ya sudah, sekarang Clara ambil darah dulu ya sekalian di infus?" Tanya Dio sedikit ragu-ragu. Takut ia menolak
     "Oke. Tapi Ayah sambil bantu aku mengatur Kamera Instax-nya ya?" Ujarnya.
     Lho, Anak ini mudah sekali disogok. Sepertinya ia melupakan bagaimana rasanya disuntik.
     Tapi syukurlah. Dio berterimakasih pada Jefan, ia di selamatkan.
     Itu pikir Dio. Sebelum kegelapan kembali merenggut kebahagiaan yang Clara miliki saat ini.
     Setelah hasil cek lab keluar dan penandatanganan ini itu, kemoterapi dimulai. Dulu Dio pikir, kemoterapi adalah sebuah prosedur yang sangat rumit. 

Seperti masuk ke dalam ruangan lalu melakukan ini dan itu. Nyatanya, kemoterapi seperti di infus biasa. Bedanya adalah dari cairannya. Cairan itu adalah cairan obat yang akan membuatmu duduk tidak nyaman untuk seharian penuh. Atau mungkin lebih.
     Clara awalnya masih tenang saja, sambil bermain dengan kamera Instax barunya. Tapi selang setengah jam menerima cairan tersebut, badannya mulai gusar. Berkali-kali ia terdiam, lalu memainkan hp dan bergantian dengan kameranya lagi.
     Intensitasnya semakin sering sampai ia memutuskan untuk berhenti. Tangannya mencengkram selimut cukup kuat, sampai buku-buku kukunya berwarna putih. Hingga Dio menyadarinya.
     "Clara? Kau kenapa?" Tanya Dio khawatir.
     "S-sakit, Yah. Perutnya mual banget." Ujarnya terbata-bata.
     Mual adalah salah satu efek dari kemoterapi yang telah diberitahukan dari awal oleh dokter. Dio mengambilkan wadah yang tersedia di sisinya, lalu meletakkannya di pangkuan Clara.
     "Gapapa Sayang, muntahkan saja. Biar mualnya cepat hilang." Jawab Dio sambil memijit bagian pundak Clara agar Clara kembali rileks.
     Lalu, setelah itu berkali-kali rentetan muntah terjadi. Dio sampai memanggil perawat. Dio merasa obatnya ada yang salah. Tapi jawaban seorang perawat membuat Dio ternganga.
     "Iya, Pak. Tidak apa-apa. Itu merupakan salah satu efek samping yang sangat normal untuk kemoterapi," Ucap perawat itu.
     Sangat normal katanya?
     Bayangkan, Dio yang mendengarnya saja bergidik ngeri. Bagaimana bisa Clara menahan semua kengerian ini. Bayangkan saat melihat anakmu hampir terbujur lemas tak berdaya karena sibuk mengeluarkan isi perut yang hampir tidak ada isinya?
     Dio tentunya merasa marah. Ini rumah sakit. Seharusnya Clara merasa lebih baik, bukan malah semakin kesakitan seperti ini. Dio kembali ke kamar dengan kondisi marah, sangat. Saat itu pengobatan hampir selesai.
     Clara tidak lagi memainkan kameranya. Ia menarik nafas panjang, mungkin untuk mengurangi rasa mual di perutnya. Tapi nafas tersebut nampak sakit. Sehingga Dio memanggil kembali perawat dan akhirnya Clara diberikan alat bantu nafas entahlah apa namanya Dio tidak bertanya. Yang jelas Dio ingin Clara merasa nyaman saat itu, walaupun pada kenyataannya tidak. Clara menggunakan alat bantu nafas itu mungkin karena rasa sakitnya, kadar oksigen dalam tubuhnya juga ikut turun.
     Sekarang Clara terdiam. Tapi bukan karena ia merasa tidak mual lagi. Ia sangat lemas, bahkan sampai tidak sanggup untuk bergerak ataupun mengeluh lagi.
     Hati Dio terasa sangat sakit melihatnya. Berkali-kali ia mengucapkan kata maaf dan menggenggam tangan Clara. Dio mengelus surai hitam Clara berusaha menguatkannya. Tapi Clara tetap diam, matanya terpejam walau ia tidak tidur.
     Kini Dio tersadar, mataharinya perlahan-lahan mulai direnggut cahayanya.
     Efek kemoterapi yang Dio pikir hanya berlaku beberapa jam saja ternyata benar-benar salah. Setelah semua pengobatan benar-benar berakhir, Clara malah nampak seperti orang sakit sungguhan.
     Nafsu makannya turun drastis. Bahkan Soto Nayla kesukaannya yang sengaja Dio belikan pun tak ia sentuh sama sekali. Dio sampai kehabisan cara untuk membujuknya makan.
     "Claraaaaa!!!" Teriak Amara dari pintu.
     Jefan mencoba membawa Amara setelah mendengar cerita Dio via telepon. Clara menoleh ke arah Amara, ia tersenyum. Senyum yang telah hilang selama beberapa jam ini.
     Amara mengajaknya main, memainkan kamera barunya Clara. Amara anak yang pintar, ia benar-benar tidak membahas tentang segala pengobatannya Clara. Ia lebih memilih untuk mengesampingkan itu semua dan mengalihkan pikiran Clara.
     Sambil bermain, Dio berinisiatif untuk memberikan susu coklat kesukaan Clara yang ia beri sedotan secara diam-diam. Itu hal favoritnya. Tanpa basa-basi, Dio menyodorkan sedotannya ke mulut Clara. Mungkin karena ia keasyikan bermain, ia melupakan rasa sakitnya dan mulai menyesap susu tersebut sambil asyik bermain dengan Amara.
     "Sekali lagi terima kasih, Jef, Jen." Ucap Dio dalam hati.


***


     Drrrtt... drrrtt... drrrtt...
     Ponsel Dio bergetar. Clara meneleponnya.
     Sekarang ia sedang berada di ruangan dokter Al setelah tadi ia dari kantin bersama dengan Jefan, makan. Seharian ia belum makan, tidak ada nafsu.
     Dio mengangkat teleponnya.
     "Ayah. Ayah dimana?" Tanya Clara dari ujung sana.
     "Ayah sedang di ruangan Dokter Al, Nak. Kenapa? Ada yang sakit?" Tanya Dio khawatir.
     "Clara mau ke kamar mandi. Lemas sekali. Clara sedih, Yah. Masa Clara mau menggerakkan kaki dan bangun saja Clara tidak sanggup." Ucapnya polos.
     Hati Dio terasa sakit mendengarnya.
     "Sebentar, Ayah ke ruangan Kau ya. Tunggu, jangan bangun sendirian." Intruksinya pada Clara
     Bagaimana cara Clara mengeluh lemas, bahkan sampai tidak bisa menggerakkan bagian tubuhnya... Wah... Dio benar-benar marah saat itu. Entah kepada siapa. Mungkin kepada takdir yang membuatnya seperti itu? Tidak ada yang tahu.


***


     Akhirnya setelah beberapa hari dirawat, kondisi Clara mulai stabil dan kembali ke rumah.
     Untuk pertama kalinya, setelah Clara divonis sakit, ia mulai masuk sekolah lagi. Ia juga meminta pada Dio agar teman-temannya tidak boleh diberitahu mengenai penyakitnya ini. Kecuali Amara dan Kala.
     Dio menurutinya, mungkin Clara tidak ingin terlihat sakit di depan teman-temannya. Tapi Dio tetap memberitahu wali kelasnya. Antisipasi apabila ada hal-hal buruk terjadi padanya di sekolah.
     Menyekolahkannya saat itu merupakan pilihan tersulit. Bertemu orang lain saat imunitasnya tidak stabil, membuat Dio semakin was-was. Tapi Dio dan Dokter Al berusaha memberikan yang terbaik untuk Clara. Tidak mungkin juga Dio membiarkan Clara terus di rumah. Ia juga harus bekerja.
     Pernah satu waktu, Dio dan Clara berbincang malam-malam. waktu itu ia pulang ke rumah dengan keadaan kesal karena nilai ulangan matematikanya turun. Tentu ia banyak tertinggal, kemarin saja dari awal check up hingga kemoterapi sudah terhitung 1 minggu ia tidak masuk sekolah.
     "Kenapa wajahmu ditekuk begitu dari pulang sekolah?" Tanya Dio mengawali percakapan.
     "Clara kesal, hiks. Masa nilai ulangan matematika Clara sekarang turun. Biasanya ulangan matematika Clara ranking 2, sekarang Clara ranking 6. Malah Bian sekarang udah di atas Clara, Yah." Adunya sambil merengek.
     "Nanti kalo Clara makin di ledekin sama Abel gimana, Yah?" Tanyanya.
     "Oalah, hahaha. Ayah kira kenapa, ya sudah sekarang belajar sama Ayah mau?" Tawar Dio pada Clara.
     Akhirnya Clara menganggukkan kepalanya secara cepat. Ia kembali senang.
     Kemampuan belajarnya juga mungkin berkurang. Ada kalanya setelah minum obat malam, ia menjadi cepat mengantuk. Jujur, akademis bukanlah jadi hal utama bagi Dio. Namun nyatanya, tidak bagi Clara. Apalagi setelah menerima nilai ujian tengah semester kala itu. Ia tampak sangat sedih.
     Besok adalah jadwal kemoterapi Clara yang ke-3. Dio sudah menahan diri untuk tidak berpikiran yang negatif. Namun tetap saja, ia khawatir berlebihan.
     Setelah bergelut dengan pikirannya, Dio baru menyadari. Hari ini Clara hanya diam saja. Fokus membaca buku pelajarannya. Bahkan hingga di meja makan saat ini.
     "Clara, Ayo makan dulu. Nanti makanannya keburu dingin." Perintah Dio.
     "Bentar, Yah." Jawabnya.
     "Belajarnya bisa nanti lagi, sekarang Kau harus makan dulu." Ucap Dio.
     "Sebentar Ayah! Nanti kalo Clara makan terus kenyang, nanti minum obat terus malah jadi ngantuk. Dan tidak jadi belajarnya!" Jawab Clara dengan meninggikan suaranya sampai beberapa oktaf.
     Dio menghela nafas kasar dan memutuskan untuk mengambil piring didepannya lalu menyuapi Clara agar ia makan sembari belajar.
     Tapi, aktifitas Dio harus berhenti kala melihat cairan merah yang keluar dari hidung mungil Clara. Buru-buru Dio mengambil tisu didepannya dan merebut buku yang sedang dipegang Clara secara kasar.
     "Bisa tidak Kau dengarkan Ayah terlebih dahulu? Makanya kalau dibilang Ayah itu nurut dulu!!" Dio teriak tanpa sadar, panik menguasai emosi Dio tentu saja.
     Sudah beberapa minggu ini Clara tidak mimisan lagi. Yang dimarahi hanya diam saja. Tapi nafasnya terdengar berderu. Cairan merah itu tidak mau berhenti keluar dari hidungnya. Bahkan sampai tisu mulai berserakan di bawah meja makan.
     Tiba-tiba Clara berdiri. Ia lari menjauhi Dio, dan pergi ke kamar mandi. Dio ikut mengejarnya. Clara menundukkan kepalanya di wastafel, Dio mengusap punggungnya pelan. Memintanya untuk bersabar dikit.
     Tetapi yang terdengar malah isak tangis. Clara menangis. Dio tersentak, memegang tubuhnya yang seakan-akan melemas.
     "Clara, Sayang. Kok nangis? ayo bersihkan dulu darahnya, habis ini istirahat." Ujar Dio melunak.
     "Hiks... Clara sudah tidak pintar lagi Ayah. Abel juga bilang kalau Clara sekarang bodoh. Clara ingin kembali seperti dulu lagi, Yah. Hiks... Clara mau jajan di luar sekolah... beli cilor, cimin, cilok, dan semua makanan yang dulu suka Clara makan bersama Amara. Clara mau, Yah. Hiks..." Ungkapnya dengan nada tersendat-sendat karena menahan tangisan.
     Ya Tuhan. Dio pikir selama sebulan ini saat Clara menjalani sekolah, ia akan baik-baik saja. Clara tidak pernah mengeluh dengan semua aktifitas barunya seperti memakai masker, tidak mengikuti kegiatan olahraga di sekolah, makan bekal, dan minum obat. Dio pikir Clara memang sudah terbiasa.
     Nyatanya berat baginya selama ini.
     Tapi apa yang Dio harapkan dari anak kecil berusia 11 tahun yang masih ingin merasakan asiknya bermain dengan teman sebaya, mencoba hal-hal baru. Perasaan Clara pasti hancur karena penyakit ini.
     Tidak ada yg bisa Dio lakukan selain memeluknya dalam dekapan malam itu. Lagi-lagi sambil mengucapkan beribu kata maaf pada kuping Clara.
     Malam itu, Clara nampak rapuh dan tak berdaya.
     Andaikan teman-temannya boleh Dio beritahu, mereka pasti akan mengerti kondisi Clara. Tapi Clara tetaplah Clara, ia berusaha nampak kuat terus dari luar.
     Kejadian malam itu membuat fisik Clara terpengaruh. Jelas saja. Untuk penyakit seperti ini, mengendalikan pikiran menjadi kunci untuk tetap sehat. Tidak boleh stress, terlalu banyak pikiran, dan berbagai macam larangan lainnya sepertinya sudah dilanggar Clara tadi malam.
     Pagi itu Dio cerita pada Jefan. Jefan malah memarahi dirinya. Tak apa, memang sepantasnya Dio dimarahi.
     Sepertinya Dio belum sepenuhnya memandang segala hal dari sudut pandang Clara. Pasti berat baginya untuk menjalani hal ini. Apalagi Clara adalah anak yang sangat kompetitif.
     Berlanjut ke masa kemoterapi Clara yang ke-3.
     Ya, hari ini adalah kemoterapi-nya yang ke-3.
     Namun ternyata semesta kali ini lebih jahat pada Clara. Pasalnya, kemoterapi yang ke-3 ini adalah pertama kalinya tubuh Clara menolak obat yang masuk ke tubuhnya.
     Dio sangat panik.
     Clara lebih banyak mengeluh bahkan jauh lebih tidak berdaya dari sebelumnya. Tubuhnya seakan menolak semua obat.
     "Ayah, sakit sekali. Clara tidak tahan" Itu adalah ucapan Clara yang selalu keluar dari mulut kecilnya.
     Dokter bahkan memberikan obat penahan rasa sakit. Tubuhnya muncul ruam-ruam, bahkan ada beberapa sisi yang terlihat menghitam menjelajahi kulitnya yang putih mulus.
     Dio benar-benar tidak sanggup melihatnya. Ia sempat berfikir bahwa ia akan kehilangan Clara-nya hari itu juga.
     "Dio. Gimana Clara? Sudah ada perkembangan?" Tanya Jefan.
     "Tidak. Tidak sama sekali. Masih terus dikasih dosis tinggi penahan rasa sakit." Jawab Dio seadanya.
     "Kenapa bisa gitu? Lalu langkah selanjutnya apa?" Tanya Jefan kembali.
     "Aku tidak tahu. Bahkan dokter juga tidak tahu pasti. Bisa jadi karena Clara stress atau karena antibodinya menolak, dan banyak hal lain yang tidak aku mengerti." Jawab Dio sekenanya.
     "Untuk langkah selanjutnya, ya ganti obat. Tapi harus lebih rutin. Kalau kemarin 2 minggu sekali, sekarang harus seminggu sekali. Tambah radio terapi." Lanjutnya lagi.
     Jefan tertegun mendengarnya.
     "Dio..." Panggilnya melunak
     "Ya. Dia tidak akan bisa masuk sekolah," Dio sudah bisa menebak pertanyaan apa yang ada di kepala Jefan.
     "Apa hanya itu pilihannya?" Tanya Jefan.
     "Iya. Hanya itu yang terbaik. " Dio pasrah.
     "Donor sumsum tulang? Tidak bisa kah?" Tanya Jefan memastikan.
     "Tidak bisa. Jenis kanker yang dimiliki Clara berbeda dari kanker lainnya kata Dokter Al. Satu-satunya jalan yang bisa di tempuh hanya melalui kemoterapi ini." Jelasnya.
     "Ya sudah, berarti jalani saja prosedur yang diberikan dokter." Ungkap Jefan
     "Pertanyaannya adalah apa dia mau, berhenti sekolah?" Tanya Dio.
     Ia khawatir Clara akan terpukul karena kenyataan ini.
     "Homeschooling, Dio." Saran Jefan.
     "Dia adalah salah satu siswa teraktif di sekolah. Kenyataan ini akan membuat dia kecewa, Jef." Ucap Dio.
     "Jujur, Aku juga tidak tahu harus memberikan saran apa lagi. Aku paham, Aku mengerti perasaanmu dan juga perasaan Clara." Jawab Jefan putus asa.
     "Tidak apa-apa, Jef. Aku hanya ingin kamu tahu tentang ini." Ucap Dio.
     "Tetap semangat, Dio." Jefan menyemangati.


***


     Esok harinya Dio terpaksa harus meninggalkan Clara, ia harus pergi ke kantor. Sudah 1 bulan sejak Clara kemoterapi, ia meninggalkan tugasnya sebagai atasan.
     Tapi ternyata, Clara membutuhkan dirinya.
     Drrrtt... drrrtt...
     Ponsel Dio bergetar, panggilan masuk dari Clara.
     "Halo Ayah." Sapa Clara dari ujung sana.
     "Halo, Sayang. Maaf ya Ayah harus pergi ke kantor sebentar buat tandatangan berkas dan hal lainnya." Ucapnya sedih.
     "Kamu baik-baik saja? Mau apa? Mau makan apa? Mau ngemil apa? Ayah carikan ya." Tawar Dio.
     "Mau Ayah." Jawab Clara.
     Hanya dua kata, tapi mampu membuat dirinya stagnan.
     "Aku mau Ayah disini, apa bisa?" Ucapnya sekali lagi menegaskan.
     "Oke, Ayah akan segera kesana ya. Kau sudah makan?" Tanya Dio memastikan.
     "Belum" Jawab Clara seadanya.
     "Oke, nanti makan ya. Ayah temani, Ayah tutup dulu ya teleponnya." Ucap Dio mengakhiri.
     Dio harus segera ke rumah sakit, Clara membutuhkannya.
     Tapi...
     Tok-tok-tok
     Pintu ruangan Dio berbunyi.
     "Masuk." Dio mempersilakan.
     "Selamat siang, Pak. Ini Klien untuk project baru, baru saja sampai. Saya langsung arahkan ke ruangan Bapak atau bagaimana ya Pak?" Tanya pegawai tersebut.
     "Duh, tolong ucapkan permohonan maaf Saya pada mereka. Saya tidak bisa menemui mereka hari ini, anak Saya membutuhkan Saya di rumah sakit. Dia meminta Saya untuk segera kembali ke rumah sakit." Jelas Dio pada pegawai tersebut.
     "Pak, minggu lalu kita sudah kehilangan klien karena ketidakhadiran Bapak. Apabila klien ini juga gagal, kita hanya memiliki beberapa vendor untuk menopang perusahaan kita." Jelas pegawai bernama 'Azzam' tersebut.
     "Anak Saya butuh Saya." Ucap Dio bersikeras.
     "Perusahaan ini juga butuh Bapak." Azzam tidak mau kalah.
     "Gini ya Dio, hentikan semua omong kosong. Aku akan bicara dari sudut pandang ku sebagai teman kuliahmu." Jawab Azzam berbeda nada.
     "Aku paham anakmu sakit. Aku sangat paham bahwa dia prioritasmu. Tapi Kau punya perusahaan yang tidak bisa Kau lepas tanggung jawab gitu saja, Dio. Mau sampai kapan Kau menelantarkan karyawan-karyawan perusahaanmu?" Ungkap Azzam mengeluarkan emosi.
     "1 bulan, Dio. Kita seperti tidak punya pekerjaan. Complain sana-sini, klien banyak yang mundur. Bahkan vendor kita sekarang ragu. Aku paham Kau mau menemani anakmu. Tidak ada yang lebih penting dari keluarga. Tapi kalau Kau membuat perusahaan ini jatuh, mau Kau kasih makan apa anakmu nanti? Obat dia tidak sedikit. Biaya rumah sakit mahal. Kau tidak bisa seperti ini terus-menerus." Azzam mengeluarkan semua keluh kesahnya selama ini.
     "Maaf, Zam." Dio hanya menjawabnya dengan permintaan maaf.
     "Oke. Maaf, Aku hilang kendali. Maaf kalau Aku tidak sopan." Azzam menyerah.
     "Klien ini akan Saya tangani semampu Saya. Tanpa Bapak, Saya akan buat alasan terkait kenapa Bapak tidak hadir. Jika kami tidak berhasil, Saya mohon maaf." Ucapnya mengakhiri percakapan.
     "Baik, Terima kasih dan maaf Azzam." Jawab Dio.


***


     Dio kembali ke rumah sakit.
     "Anak Ayah yang cantik, kok belum makan? Eh makasih ya, Sus." Ujar Dio sembari membiarkan perawat yang tadi menjaga Clara pergi.
     "Tidak nafsu makan." Jawab Clara seadanya.
     Dio menghela nafasnya pelan. Ia membuka jas kerjanya, dan meletakkannya asal di sofa.
     "Kenapa gitu? Nanti makin sakit gimana? Nanti makin lama keluar dari sini." Dio memperingati Clara.
     "Kalau gitu, Ayah saja yang makan. Clara makan pun tetap lama keluar dari tempat ini." Jawab Clara seperti menantang.
     "CLARA!" Panggil Dio dengan nada tinggi yang ia naikkan beberapa oktaf.
     Dio menatapnya serius. Yang diteriaki tersentak tetapi memutuskan untuk tidak menghiraukannya.
     Dio mengusap wajahnya kasar. Jujur saja ia lelah.
     "Kau tahu tidak? Gara-gara Kau nakal, tidak mau makan seperti ini... Kau jadi susah sembuh. imunitasnya turun." Ujar Dio.
     Sang empu yang dimarahi menatap Dio marah.
     "Ayah tahu rasanya mual seperti yang Clara rasakan?" Tanyanya.
     Dio menghela nafas kasar. Mengalah sesuai dengan arahan Jefan, lalu duduk di samping kasurnya.
     "Iya, maaf ya. Sekarang lebih baik Kau makan dulu ya? Kalau Kau tidak makan, nanti perutnya sakit." Dio membujuknya.
     Clara memalingkan pandangannya, enggan menatap Dio. Entah bagaimana, Dio malah ingin membuka percakapan dengan Clara mengenai jadwal kemoterapi barunya.
     "Clara, dengarkan Ayah baik-baik. Pengobatanmu yang kemarin, itu sama sekali tidak bekerja." Ucap Dio.
     Clara menatap Dio bingung.
     "Kita harus ganti obat. Jadi kita tidak akan memakai obat yang kemarin lagi, tapi kau harus kemoterapi setiap seminggu sekali..." Lanjut Dio.
     "ENGGAAKKKK!!!" Clara berteriak menolak.
     Dio tahu, Clara pasti menolaknya. Tapi ia mencoba memberi pengertian.
     "Clar, kalau tidak gitu kau akan makin lama penyembuhannya. Nanti kau makin sakit, terus--" Ucapan Dio terpotong.
     "Clara tidak mau disuntik seminggu sekali, Ayah." Ujarnya.

     Disuntik adalah kata lain Clara untuk menyebut kemoterapi.
     "Clara..." Panggil Dio melunak.
     "Ayah Tidak akan pernah tahu bagaimana sakitnya saat disuntik kemo kemo itu." Ujarnya lagi dengan nafas yang memburu.
     "Pokoknya Aku tidak mau disuntik lagi. Clara sudah tidak mau sehat, Ayah saja yang disuntik. Clara capek." Ucapnya secara tidak sadar.
     "CLARA!" Dio berteriak.
     Kesabaran Dio sudah habis akibat mendengar kata-kata Clara yang seolah-olah sudah putus harapan.
     "Ayah kerja. Setiap hari sambil mengurusmu. Kau tidak tahu kalau Ayah selalu memprioritaskanmu daripada klien ayah? Kau dengan mudah bicara kalau Kau tidak mau sembuh dan mau nyerah? Bukan hanya Kau saja yang capek, Ayah juga. Ayah capek tiap harus kepikiranmu. Ayah mau liat Kau sembuh, Clara. Tapi kalau Kau menolak dan berlaku seperti ini terus, Ayah harus gimana Clara?" Dio mengungkapkan semuanya secara tidak sadar.
     Dio tersulut emosi, nafasnya memburu. Dio tahu ia salah.
     Clara menatapnya takut.
     "-Clar-a.. Maafkan Ayah. Ayah kelepasan." Dio mendekatinya. Tapi ia malah menjauh.
     "Clara merepotkan Ayah. Clara beban bagi Ayah. Clara cuma bikin Ayah capek. Jawab Aku, Clara cuma jadi beban ya buat Ayah?" Tanyanya sambil menangis.
     Dio tak tega melihatnya. Ia salah. Hatinya mengernyit sakit. Dio benar-benar merasa bodoh, bagaimana bisa ia meluapkan masalah kantor pada Clara.
     "Tidak Sayang, Clara tidak merepotkan Ayah. Sama sekali tidak. Ayah salah. Maafkan Ayah." Ujar Dio meminta maaf sambil menarik Clara ke dalam. dekapannya.
     Awalnya Clara memberontak. Tapi perlahan-lahan malah tangis yang terdengar. Dio merasa sangat bersalah.
     "Hiks. Maafkan Clara, Ayah. Clara tidak mau disuntik lagi. Clara lelah, lelah disuntik. Clara ingin kembali hidup seperti dulu. Hiks. Badan Clara sakit semua. Dulu... Dulu juga Clara pinter, Yah. Sekarang Clara sudah bodoh, tidak mengerti apa yang di terangkan oleh guru Clara. Clara takut sudah tidak bisa membanggakan Ayah lagi." Ujarnya sembari sesenggukan.
     Dio mengelus-elus punggungnya. Setelahnya suara tangisnya makin kencang. Bersamaan dengan itu, air mata juga keluar dan turun dari pipi Dio. Dio ikut menangis mendengarnya.
     Jujur Dio tidak pernah memikirkannya hingga kesana. Bagaimana akademiknya, bagaimana ia sedih mengejar ketertinggalannya dibanding teman-temannya. Dio pikir itu hanya angin lalu. Dan ternyata Clara berfikir kalau ia takut sudah tidak bisa Dio banggakan lagi. Ya Tuhan. Jika Dio diberikan kesempatan untuk menukar sakitnya Clara dengan dirinya, Dio rela. sangat. Bagaimanapun Dio bangga memiliki Clara, menyayangi Clara, mengurus Clara. Semua itu Dio lakukan atas dasar sayang.
     "Sayang, Ayah bangga sama Clara apapun keadaannya. Clara tidak bodoh karena Clara disuntik. Kita cari solusi sama-sama ya biar Clara kembali seperti dulu lagi." Ujar Dio sembari mengelus surai hitamnya Clara.
     Namun sang empu yang ia ajak ngobrol ini tampaknya telah tidur, terdengar suara dengkuran halus. Mungkin Clara kelelahan, sehingga Dio membaringkannya diatas kasur dan menyelimutinya.
     Saat Dio membalikkan badannya untuk keluar ruangan Clara, ia bertemu dengan Jefan. Jefan sepertinya melihat semuanya.
     Dio mengingatnya dengan jelas, bagaimana Jefan berbicara padanya memberikan sebuah nasihat yang bisa sampai kepadaku.
     Sebagai ayah, Dio harus lebih keras lagi berusaha untuk Clara.
     "Komunikasi dan kejujuran akan berbuah pengertian." Ucapan bijak dari Jefan siang itu.
     Setelah ia setuju, Clara menjalani kemoterapi-nya yang ke-3 dengan obat baru. Yang jelas efek obat yang sekarang ini tidak sedahsyat yang sebelumnya.
     Ada 2 kemungkinan, obatnya yang lebih sedikit efek sampingnya atau tubuhnya yang sudah beradaptasi dengan rasa sakit.
     Tapi yang jelas, Clara jadi lebih sering tidur. Dio sudah jarang melihatnya tersenyum, tertawa, maupun hal acak lainnya setelah 4 hari ia menjalankan kemoterapinya itu.
     Bahkan untuk dikunjungi Amara saja ia menolak.
     Mengenai sekolahnya, pihak sekolah menyarankan agar Clara tetap sekolah walaupun Online. Karena sangat disayangkan sekolah yang tinggal beberapa bulan lagi namun memilih untuk homeschooling, Clara juga anak yang berpotensi tinggi, ia juga cepat tanggap. Jadi ia pasti masih bisa mengikuti meskipun dalam keadaan seperti ini.
     Beberapa hari setelah ia sekolah online, semuanya tampak lancar saja. Clara juga menikmatinya.
     Namun ia akhir-akhir ini sedang dalam banyak pikiran. sehingga membuat suhu tubuhnya tidak stabil. Ia stres, tiap malam selalu demam.
     Hingga akhirnya ia dinyatakan kritis.
     Iya, kritis.
     Dio ingat saat terbangun di sisi Clara, Amara pagi-pagi menangis mencoba membangunkan Clara. Ia menangis sambil menepuk-nepuk lengan Clara.
     Saat itu Dio pikir ia akan kehilangan Clara.
     Tapi ternyata Tuhan masih berbaik hati pada Dio.
     "Maaf Bapak, berat dikatakan bahwa sel kanker yang ada pada tubuh Clara sudah menyebar ke paru-paru. Itu menjadi penyebab Clara kemarin susah bernafas." Jelas Dokter Al pada Dio.
     Dio mengacak-acak rambutnya, ia frustasi. Setelah kejadian Clara tidak sadarkan diri, ia dipindah ke ICU. Sampai saat ini Clara masih belum sadarkan diri. Masih terlalu dini untuk mengatakan bahwa ia koma. Tapi yang jelas Clara sudah melewati masa kritisnya.
     Kemarin jerit histeris Amara juga menjadi suara yang paling Dio ingat. Bisa-bisanya Dio tertidur, tidak mengetahui bahwa Clara sedang berjuang sendirian. Lagi-lagi Dio merasa gagal. Dio hampir saja kehilangan Clara kemarin.
     "Tidak usah dipikirkan terus, dia akan baik-baik saja." Ucap Jefan menenangkan.
     "Gimana Amara?" Tanya Dio.
     "Masih shock, dia kaget kemarin." Jawab Jefan seadanya.
     "Jef, gimana kalau Clara tidak bisa keluar dari ruangan itu?" Tanya Dio ketakutan.
     "Kau menyerah pada Clara?" Jefan berbalik nanya.
     "Tidak. Aku hanya takut kehilangannya saja." Jawab Dio sambil membuang nafas kasar.
     Setelah lewat beberapa hari, akhirnya Clara sadar. Dio sangat bersyukur masih bisa melihat cahayanya itu.
     Sambil menahan tangis, Dio menatap manik mata Clara.
     Sayu.
     Dio juga menggenggam tangan Clara, terasa dingin. Tapi setidaknya ia sadar.
     "Ayah...." Panggil Clara dengan pelan. Mulutnya tertutup masker oksigen yang menempel di wajahnya.
     "Iya, Nak. Ayah disini, Kau mau apa?" Tanya Dio sambil menahan tangis.
     Dio mengusap surai hitam panjang milik Clara.
     Tapi, rontok.
     "M-mau burger..." Jawabnya.
     Ya, burger makanan kesukaannya.
     Ia membuat Dio tertawa sampai mengeluarkan air mata. Dio mengucapkan ribuan terima kasih pada Tuhan karena masih diberi kesempatan untuk mendengar suaranya.
     "Iya... Nak. Ayah akan membelikanmu burger nanti. Mau berapa? 100? 100 burger untukmu." Ucap Dio.
     Tapi Clara menggeleng lemah. Ia mengangkat tangannya dan membentuk 2 jari, menandakan ia hanya ingin 2 burger.
     "Eh? 2 saja?" Tanya Dio.
     "Nanti tidak habis." Jawab Clara.
     "Ah, baiklah. Nanti Ayah belikan 2 burger untukmu ya." Jawab Dio dengan berusaha memberikan senyuman tampannya.
     Clara tersenyum puas. Tangan Dio digenggam lebih erat dari sebelumnya. Matanya bertemu dengan mata Dio.
     "Clara... i-ingin s-sembuh, A-ayah." Ucapnya.


***


     Beberapa hari berlalu. Clara dipindahkan kembali ke kamar rawat inap asalnya. Kamar 90 dengan nuansa hangat.
     Kondisi Clara kala itu bisa disebut stagnan.
     Dokter tidak bisa berbuat banyak padanya.Setelah proses penyebaran sel kanker, tubuhnya tidak bisa diberikan dosis kemoterapi lebih banyak. Bahkan untuk sementara waktu radio terapinya juga di hentikan.
     "Seperti melihat tubuh anakku digerogoti pelan-pelan." Gumam Dio pelan.
     Tubuh Clara nampak sangat kurus. Rambutnya juga tidak setebal dulu. Ia tidak begitu aktif seperti sebelumnya. Tidur adalah aktifitas favoritnya sekarang.
     Ada satu yang tidak berubah. Senyumnya yang sehangat matahari, senyumnya yang selalu membuat Dio ceria.
     Satu minggu berlalu begitu cepat. Namun ajaibnya kondisi Clara kian stabil. Clara memang terkenal ambisius. Apapun yang ia inginkan pasti harus ia dapatkan dengan cara apapun. Jadi, Dio tidak terkejut bila dalam seminggu ini Clara melakukan tahap pengobatan tanpa keluhan apapun.
     Minggu ini merupakan ujian semester hari terakhir. Sesuai dengan perjanjian Clara dengan gurunya, ia akan melakukan ujian di rumah sakit apabila kondisinya masih belum bisa pergi ke sekolah. Menurut Dio itu solusi yang bagus. Dio jadi bisa memantau terus keadaan Clara.
     Waktu itu, permasalahan baru juga muncul saat Amara yang ingin meluangkan waktunya untuk bermain dengan Clara. Akan tetapi malah bertengkar cukup hebat karena masalah sepele.
     Dio merasa, sekarang Clara lebih sensitif.
     Berubah? Ya. Anak itu memang terasa sedikit lebih emosional. Lebih banyak memikirkan dirinya sendiri, seperti bukan Clara.
     Namun, Dio meyakinkan diri bahwa itu efek obat dan mood swing saat orang sedang sakit.
     Setelah masa ujiannya selesai dan juga hasil tes diberikan, Dio dan Clara siap untuk kembali ke rumah. Clara akan menjalani perawatan di rumah supaya ia tidak suntuk di rumah sakit terus.
     Dio tidak tahu, namun saat itu tiba-tiba semuanya berjalan lancar masa depan mereka terasa sangat cerah.
     Dio dan Clara mulai menyusun banyak rencana. Memanfaatkan kesempatan ini sebelum Clara mengikuti kemoterapi yang telah dijadwalkan.
     Tentu saja dengan prosedur rumit. Misal jadwal makan khusus, berbagai kegiatan yang dilarang, dan sejenisnya yang berkaitan dengan prosedur medis.
     Dio pun memotret jadwal rencana Clara tepat sehari sebelum mereka pulang ke rumah.

5 Wishlist Clara!!!

  1. Foto buku tahunan
  2. Mengunjungi tempat Bunda 
  3. Pergi ke Time Zone & Bioskop
  4. Makan Burger sama Ayah
  5. Beli hadiah buat : 

Ayah, Amara, Om Jefan, Ms Dewi, Kala, Abel.  


     Clara tidak tahu bahwa Dio sudah tahu rencananya yang ingin memberikan Dio hadiah.
     Hari dimana Clara dan Dio akhirnya kembali ke rumah adalah hari yang paling melegakan. Kembali merasakan udara segar tanpa bau khas rumah sakit yang dominan obat-obatan.
     Mungkin itu juga yang dirasakan Clara, ia tersenyum sepanjang hari.
     Hari pertama dirumah, mereka habiskan dengan nostalgia. Clara memang sudah lama tidak pulang ke rumah, jadi mungkin banyak merindukan sudut-sudut rumahnya yang sudah jarang ia lihat.
     Salah satunya adalah figura berisikan mendiang bundanya.
     "Ayah, Bunda cantik ya." Ujarnya.
     "Tentu saja. Kan istrinya Ayah." Jawab Dio tersenyum.
     "Pantas saja Tuhan mengambil Bunda duluan dari kita. Soalnya Bunda terlalu cantik." Ujarnya lagi.
     "Clara kangen banget sama Bunda. Kita main kesana yuk? Boleh kan yah?" Tanyanya.
     "Iya boleh..." Jawab Dio seadanya.
     Tidak tahu saja, saat ini Dio sedang menahan agar air matanya tidak keluar dari matanya.
     Sesuai dengan permintaan Clara, Dio dan Clara kali ini sedang berada di tempat dimana mendiang istri Dio beristirahat. Mereka berdua berkunjung setelah sekian lama.
     Clara duduk di hadapan nisan bundanya, ia memberikan bunga yang sebelumnya ia beli bersama Dio di toko bunga.
     Clara tersenyum. Senyum yang membuat Dio takut.
     "Hai Bunda. Sudah lama kita tidak bertemu, tungguin Clara sebentar lagi ya. Sebentar lagi kita akan bertemu dan tinggal bersama." Ujarnya tiba-tiba.
     Dio mengernyit bingung.
     "Kenapa bentar lagi, Clar?" Tanya Dio bingung.
     "Iya, Clara itu sering sekali memimpikan Bunda. Nanti deh liat, malam ini pasti Clara mimpiin Bunda lagi. Kalau Clara benar, belikan Clara 2 burger ya!" Ucapnya tersenyum lebar.
     "Ah, mungkin itu akal-akalan kamu saja." Ucap Dio berusaha tidak memikirkannya.
     Takut.
     Itulah yang Dio rasakan saat Clara mengucapkan hal itu. Kala itu, ucapan Clara menjadi suara yang tidak ingin Dio dengar.


***


     Setelah 2 minggu Clara menyelesaikan beberap wishlistnya (kecuali makan 2 burger) tampaknya ia sangat senang.
     Salah satunya adalah saat Clara ikut foto tahunan. Mendengarnya berceloteh tentang hari itu, membuat Dio tersenyum lagi. Sudah lama dari terakhir kali ia mendengar celotehan hebohnya.
     Banyak hal yang Clara ceritakan. Dari ia yang berbaikan dengan 'musuh lamanya' Abel, bermain dengan Amara juga Kala, dan lainnya.
     Walau setelah itu, ia demam cukup tinggi selama 2 hari. Wajar saja, ia kelelahan. Fisiknya memang tidak sekuat dulu. Tapi untungnya tidak ada hal buruk yang terjadi. Hingga akhirnya Dio memutuskan untuk mengajak Clara pergi ke Time Zone dan pergi nonton film yang diinginkannya ke bioskop. Seperti wishlist yang ditulisnya tempo lalu.
     Dio dan Clara bermain dari pagi sampai menjelang matahari tenggelam. Sambil memotret tiap memori menggunakan kamera pemberian Jefan saat itu. Ini merupakan kenang-kenangan yang berharga untuk Dio dan Clara. Bermain dan tertawa, berlarian sana sini untuk memainkan semua game yang ada di Time Zone.
     Walau benar, Dio tidak menyadari bahwa mataharinya itu ikut tenggelam bersama matahari di sore itu.


***


     Dio masuk kerja saat itu, banyak sekali pekerjaan yang menunggunya untuk dikerjakan.
     Namun tiba-tiba...
     Drrrtt... drrrtt...
     Ponsel Dio bergetar, ada panggilan masuk dari Clara.
     "Halo, Sayang. Bentar ya, Ayah sedang mengerjakan beberapa dokumen di ruang kerja. Ada apa?" Tanyanya memulai percakapan.
     "Ayah, Clara bisa sembuh kan? Clara bakalam sakit seperti ini terus ya Ayah?" Tanyanya tiba-tiba.
     "Kenapa ngomongnya gitu? Kan Clara sudah berusaha, sudah minum obat. Tidak nakal juga. Pasti sembuh, sabar ya, Nak. Sebentar lagi pasti sembuh." Ujar Dio menyemangati.
     "Tapi ini sudah setahun, Ayah...." Ungkapnya putus asa.
     Ya. Memang betul, sudah setahun tepat hari ini.
     "Iya. Ayah tahu." Jawab Dio sekenanya.
     "Tuhan tidak sayang Clara lagi ya, Yah?" Tanyanya.
     Dio mengerti, Clara merasa sia-sia perjuangannya selama ini. Akan ada saatnya ia merasakan perasaan ini.
     "Clar, tidak boleh ngomong seperti itu. Tuhan sayang sama Clara." Ucap Dio menenangkan.
     "Kalau Tuhan sayang sama Clara, kenapa Clara dikasih sakit? Kenapa cuma Aku saja? Temen-temen yang lain Tidak." Tanya Clara.
     Dio kelabakan sendiri.
     "Karena Kau spesial, Clara. Tidak semua orang bisa sehebat Clara menghadapi ini. Tuhan yakin Kau bisa menghadapinya, karena Kau kuat... Anaknya Ayah." Ucap Dio sambil menitikkan air mata.
     "Maafkan Ayah ya, Nak" Ujar Dio dalam hati.
     "Ya sudah. Belikan Clara Burger dulu." Ucapnya
     "Iya Besok ya." Jawab Dio sekenanya.
     Iya, karena Clara belum boleh makan junk food. Jadi Dio selalu beralasan.


***


     Satu hal yang Dio sesali saat itu. Tidak mengajaknya makan burger seperti wishlist-nya.
     Karena hal ini lebih dulu terjadi...
     Hari itu Dio banyak sekali pekerjaan di kantor. Sehingga ia tidak sempat mengecek ponselnya.
     Namun ternyata ada banyak panggilan tak terjawab dari Clara.
     Tentu saja Dio khawatir.
     Ia menghubungi kembali Clara, namun yang dikatakan Clara adalah begini...
     "A-ayah, Ayah ce-pat kembali-i. Clara sudah tidak ku-at menahannya. Clara lelah..." Ujarnya di seberang telepon dengan nafas yang tersendat-sendat.
     Clara sempat dirawat di rumah selama kurang lebih 3 minggu. Sampai akhirnya Dio memutuskan untuk membawa Clara kembali lagi ke rumah sakit karena kondisi Clara yang tidak stabil.
     Di kamar yang sama, seperti memulai mimpi buruk Dio dari awal lagi.
     Kondisi Clara bisa dibilang sangat tidak stabil. Siang hari ia bisa berceloteh, tampak sehat-sehat saja. Lalu kesakitan malam harinya.
     Ia juga kerap demam untuk jangka waktu yang lebih panjang dari biasanya.
     Tidak ada yang bisa Dio lakukan selain berdoa. Berdoa adalah hal yang paling membuat Dio merasa lemah karena sadar ia tidak bisa membantu apapun selain berdoa.
     Tanpa disadari, Clara sudah dirawat di rumah sakit selama beberapa minggu. Sekolah sudah masuk hari pembagian rapot. Jujur saja, Dio tidak ingin membahasnya. Takut menjadi beban pikiran bagi Clara.
     Tapi teman-temannya malah memutuskan untuk mengunjungi Clara. Memberikan semangat untuk kesembuhannya.
     Kamar rawat Clara menjadi penuh canda tawa saat itu. Clara tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya, ia sangat terlihat senang hari itu. Ia diberikan piagam penghargaan oleh teman-temannya karena telah bertahan melawan sakitnya selama ini.
     Iya. Mereka sebenarnya sudah tau tentang penyakitnya selama ini.
     Teman-teman Clara membuat kamar rawatnya menjadi lebih berwarna, mereka juga membawakan hadiah-hadiah lucu untuk Clara. Menurut Dio, ucapan dari mereka sangat berharga untuk Clara. Seharian penuh senyuman itu tak luput dari bibirnya.
     Clara tersenyum bahagia malam itu, sambil memeluk ia mengatakan terima kasih kepada Dio berkali-kali.
     "Clara sangat bahagia memiliki Ayah seperti Ayah. Terima kasih, Ayah. Clara sangat menyayangi Ayah." Ucapnya sambil tersenyum lebar.
     "Ayah juga sayang Clara." Balasnya dengan memberikan senyuman yang selalu menawan.
     Dio tidak sadar, ia telah menitikkan air matanya. Ia terharu.
     Sulit dikatakan bahwa setiap ada hujan pasti ada pelangi. Namun setiap ada pelangi... Mereka juga akan pudar seiringan waktu.
     Ya. Seperti saat ini.
     Dio mengirimkan pesan chat pada Jefan, kurang lebih seperti ini.
     "Jef. Tolong datang ke rumah sakit. Clara kembali tak sadarkan diri. Dokter mengatakan bahwa kemungkinan dia meninggalkan kita saat koma ini lebih besar. Aku takut."
     Ya. Dio sangat takut. Sampai-sampai Dunia terasa runtuh tepat di pundaknya saat itu juga.
     Hari itu datang, hari dimana Clara dinyatakan koma.
     Tidak ada lagi senyum yang menghangatkan perasaan Dio. Clara tidur sangat dalam hingga entah kapan ia akan kembali.
     Clara membuat Dio takut setengah mati.
     Keadaannya tidak pernah stabil. Dio sudah berangkat kerja lagi. Setiap hari ia mencoba untuk mendengarkan perkembangan demi perkembangan terkait Clara.
     Tapi nihil, tidak ada perkembangan berarti yang Dio dapatkan dari hari ke hari.
     Hal yang membuat dadanya sakit adalah mengetahui kenyataan bahwa malam dimana Clara kedatangan temannya adalah malam terakhirnya bisa bercanda dan tertawa sebelum ia koma seperti ini.
     Rasa takut mengerubunginya.
     Akankah Dio mendengar kembali ucapan "Clara sayang Ayah." dari mulut Clara?


***


     "Bagaimana keadaan Clara?" Tanya Jefan menghampiri Dio.
     "Masih tidur, Jef. Sepertinya dia kelelahan karena semalam bermain dengan teman-temannya." Ujar Dio.
     Jefan miris mendengarnya. Jelas saja ini sudah lewat 3 bulan Clara koma.
     "Dio. Ini sudah 3 bulan." Ucap Jefan mengingatkan.
     Dio melotot marah.
     "Terus maksudmu Aku harus gimana? Kalau Kau masih mau memberikan saran yang sama seperti sebelumnya kepadaku, Aku tidak bisa Jef. Tidak akan ada Ayah yang rela melepas kepergian anaknya. Aku akan menunggu Clara. 10 tahun dia koma pun Aku akan menunggunya." Ucap Dio bersikeras.
     "Kau tidak boleh egois Dio! Kau tidak kasihan padanya?" Tanya Jefan menusuk.
     "Kau tidak kasihan melihatku?" Tanya Dio balik.
     "Bolehkah Aku bicara dengan Dokter Al sebentar?" Tanya Jefan akhirnya. Ia tidak mau sama-sama keras kepala.
     "Silahkan. Tapi kalaupun Dokter Al menyuruh hal yang sama seperti yang kau bilang tadi, Aku tidak akan mau. 100 tahun juga akan Aku tunggu untuk kesehatan Clara." Ucap Dio final.
     Ia keras kepala.
     Dio dengan egonya.
     Dio benar-benar terlihat seperti ayah yang egois setelah mengucapkan kata-kata itu.
     Jefan kembali menghampirinya.
     "Dio. Kondisi Clara menurun setiap harinya. Bisa di bilang tidak ada perkembangan sama sekali. Dan Kau masih bilang kalau dia tidak merasakan sakit? Kupingku yang mendengar sendiri dari penjelasan Dokter Al. Kau tidak bisa seperti ini terus. Alat-alat itu yang membantu Clara, Dio. Alat itu yang membantu dia bertahan. Tapi itu juga alat yang menyakitinya secara perlahan." Ucap Jefan secara terang-terangan sembari menunjuk alat yang menempel pada tubuh Clara.
     "Jef. Kau mau Clara meninggal ya? Jujur saja padaku." Ucap Dio menyalahkan.
     "Astagfirullah Dio. Kau kalau bicara yang benar saja. Aku juga sayang sama Clara. Bahkan dengan memikirkan ini, Aku merasa kalau Aku lebih sayang Clara ketimbang dirimu. Sekarang Kau pikirkan ucapanku baik-baik. Kau tidak mau melepas Clara dengan alasan apa? Kau tidak mau merasakan sakit karena kehilangan orang yang Kau sayangi lagi, Dio. Kau tidak mau terpuruk lagi, Kau tidak mau sedih lagi. Kau mau perasaanmu terus bahagia karena bersama Clara. Yang Kau pikirkan itu dirimu sendiri, perasaanmu sendiri. Pernah Kau berfikir bagaimana sakitnya Clara merasakan semua ini? Clara tidak mau kehilanganmu. Dia juga tidak pernah mau meninggalkanmu. Tapi setiap hari dia sakit, Dio. Puluhan jenis obat masuk ke dalam tubuhnya. Kau menyiksanya, Dio. Dia menderita. Kalaupun dia bangun nanti, belum tentu dia kembali seperti dulu. Kau sudah mendengarnya sendiri dari Dokter Al kan? Jangan tutup mata dan kupingmu. Biarkan Bundanya yang menjaganya kali ini ya, Dio? Ucap Jefan panjang lebar.
     Dio merasa egois. Ia hanya memikirkan kebahagiannya sendiri.
     Tiba-tiba Amara menghampiri dirinya yang sedang duduk termenung didepan pintu kamar rawat Clara.
     Ia mengatakan bahwa Clara telah membuatkan Dio hadiah juga. Sebelumnya Clara memang memberikan hadiah pada semua orang yang masuk dalam list-nya. Bahkan Abel yang namanya sudah tercoret pun mendapatkan hadiah dari Clara. Tapi tidak dengan Dio.
     Ia sempat bingung. Tapi hari ini Amara bilang kalau Clara sudah menyiapkan hadiah untuk Dio di iPad-nya.
     Isinya adalah sebuah notes yang mungkin maksudnya adalah surat namun berbentuk digital, dan sebuah dasi berwarna navy. Ya, warna kesukaan Dio.
     Kurang lebih isi suratnya begini,
     
Untuk Ayahku yang tampan, dari anakmu yang paling cantik.
     Hai, Ayah!!!
     Ayah, Clara itu sangat suka memanggil Ayah. Kenapa? Karena Ayah seperti superhero yang selalu menolong banyak orang. Sama seperti Ayah yang selalu menjagaku.
     Ayah...
     Ayah jangan nangis ya? Clara tidak suka, soalnya tidak cocok dengan Ayah. Badan Ayah kan besar, masa kalah sama Amara. Maafkan Clara, Yah. Tahun ini Clara tidak bisa membawakan piala juara kelas untukmu. Tapi, Clara punya piala buat Ayah. Piala juara 1 Ayah terbaik untuk Clara.
     Terima kasih. Terima kasih karena Ayah sudah mau menjadi Ayahku. Ayah pasti lelah ya jagain Clara terus? Lelah karena harus menjagaku dan juga harus bekerja untukku? Ayah banyak istirahat ya nanti. Jangan sampai sakit kaya Clara gini. Tidak enak, Yah. Sakit, capek. Tapi kalau mikirin Ayah, jadi hilang lelahnya. Jadi semangat lagi, karena Clara mau sembuh untuk Ayah. Ayah, kalau Clara harus pergi meninggalkan Ayah, Ayah jangan sedih ya? Dulu waktu Bunda pergi, Ayah bilang kita semua pasti akan bertemu lagi kan? Jadi, Ayah jangan sedih ya?
     Senyum Ayah bagus, Clara suka.
     Sudah dulu ya Ayah. Clara capek, mau tidur dulu.
     Dadah Ayah! Sampai jumpa lagi!
     Clara sayang sama Ayah Dio!!<3

Dari anak Ayah yang paling cantik,


Clara Putri Adelin.

     Entah mengapa Dio tak pernah bisa membacanya sampai akhir. Matanya terus-menerus berair ditengah-tengah waktu Dio membaca isi surat tersebut.
     Tak lupa, ia membuka kotak hadiahnya yang berisikan dasi berwarna navy kesukaannya. Ia akan selalu memakainya. Setiap hari.
     Hingga akhirnya waktu itu datang.
     "CLARA! BANGUN, NAK!! YA TUHAN. KAU TIDAK BISA MENINGGALKAN AYAH BEGINI. DOK TOLONG DOK, LAKUKAN YANG TERBAIK UNTUK CLARA." Dio berteriak panik. Lebih seperti orang kesetanan.
     Tiba-tiba mesin EKG berbunyi nyaring.
     Dokter berhamburan masuk berusaha menyelamatkan Clara, yang Dio juga tidak paham apa yang terjadi dengan tubuhnya.
     Salah satu dokter naik ke atas kasur milik Clara. Memberikan CPR padanya agar jantungnya tetap berdetak.
     Disaat yang bersamaan, Jefan memasuki ruangan yang ribut ini. Ia memegangi tubuh Dio agar tetap berada di sisi ranjang Clara untuk jarak yang agak jauh. Tentunya Dio tolak. Dio harus membangunkan Clara. Hanya Dio yang bisa membangunkannya.
     "Nak, bangun Sayang. Ayo kamu bisa. Jangan tinggalkan Ayah..." Ucapnya.
     Dokter yang tadi memberikan CPR malah turun dari kasur Clara. Bunyi mesin masih belum terdengar seperti biasanya. Ini tidak normal.
     Dio menatapnya marah.
     "KENAPA KALIAN BERHENTI HAH?! KALIAN MENYERAH DENGAN ANAK SAYA?! KALIAN TAHU? SAYA MEMBAYAR PERAWATAN CLARA MAHAL? APA TIDAK ADA TIMBAL BALIK YANG AKAN KALIAN BERIKAN PADA CLARA HAH?!! SAYA MENGERAHKAN SEMUANYA. KALIAN HARUS BISA MENYELAMATKAN CLARA" Dio berteriak. Nafasnya memburu.
     "Pak, tidak banyak yang bisa kami lakukan." Ucap salah satu dokter.
     "KALIAN BISA KAN CPR LAGI?!" Dio membentak keras para dokter.
     "Pak, tulang rusuk Clara bisa patah. Mohon maaf. Kami juga tidak bisa berbuat apa-apa, Clara kesakitan." Ucapnya.
     Jefan menepuk pundak Dio pelan.
     "Dio, sudah ya?" Jefan berusaha menenangkan.
     "Dio, kumohon. Biarkan Clara pergi ya? Biar sekarang giliran Bundanya yang menjaganya disana." Ucap Jefan kembali.
     Dio tidak akan pernah bisa melepaskan Clara. Clara satu-satunya yang ia punya. Clara satu-satunya harta karun yang berharga bagi Dio.
     Dokter bilang, Clara tidak ada harapan lagi. Ini perkara melepaskan atau menunggu ia pergi sendiri. Dio tidak pernah tahan melihat satu jarum pun yang menusuk tubuh Clara. Tapi kali ini di tubuh Clara tertempel berbagai alat yang Dio saja tidak tahu untuk apa gunanya.
     Dio begitu egois.
     Dio melangkah maju, memperhatikan tiap sudut wajah Clara yang pucat tertutup masker oksigen.
     "Clara, anak Ayah yang cantik. Sakit ya, Nak? Sakit ya tubuhnya di pasang ini? Jagoan Ayah yang paling hebat, yang paling kuat. Terima kasih sudah bertahan selama ini untuk Ayah ya, Nak. Tapi kau masih mau bertahan lagi untuk Ayah kan, Nak? Jangan tinggalkan Ayah. Nanti siapa yang mau menemani Ayah makan burger? Nak... Ya Tuhan..." Ucap Dio sambil menangis.
     Pertahanan Dio runtuh. Dio menggenggam tangan Clara dengan erat, enggan melepaskan. Tubuhnya dingin, tidak sehangat biasanya. Apakah matahari sudah enggan menemani tubuhnya?
     Jefan menepuk pelan bahu Dio, menenangkannya. Tidak ada lagi emosi yang menggebu seperti tadi saat dokter mengatakan tidak ada lagi yang bisa dilakukan oleh mereka.
     "Dio, mau melihat Clara bahagia kan?" Tanya Jefan.
     Dio mengangguk. Ia tahu kemana arah pembicaraan ini. Tapi ia tidak akan pernah siap untuk melaksanakannya.
     Sampai tiba-tiba Dio melihat ada bulir air mata keluar dari sudut mata Clara yang tertutup rapat.
     Clara mendengarnya. Ia tahu ada Dio disisinya. Dan mungkin ia merasakan sakitnya. Lebih dari siapapun.
     "Clara, Sayang. Kau sudah mau pergi, Nak? Sudah lelah ya berjuang untuk Ayah?" Tanyanya.
     Air mata terus mengalir dari mata Dio hingga membasahi jari kecil milik Clara. Dibelakang Dio, Jefan kerap menahan pundaknya. Berusaha memberikan kekuatan.
     "Kau mau istirahat saja, Nak? Biar alat-alat ini tidak menyakitimu lagi ya? Tapi Ayah... Ayah tidak siap, Nak. Ayah akan disini sendiri, kesepian tanpamu." Suara Dio bergetar beradu dengan suara mesin yang menandakan bahwa Clara ada disampingnya saat ini.
     Dio tidak pernah menyangka bahwa akhirnya ia akan mengatakan hal ini.
     "Nak, Ayah titip salam sama Bunda ya. Kau jagoan Ayah yang paling hebat. Kalau Kau mau istirahat, Ayah akan menjagamu dari sini. Ayah..... Ayah.... akan mengunjungi rumah barumu setiap hari sambil senyum seperti yang Kau minta, Nak. Maafkan Ayah karena telah membuatmu kesakitan seperti ini. Ayah... Ayah sayang sekali sama Clara, Nak. Putri Ayah satu-satunya." Ungkap Dio pada Clara.
     Dio mengecup lembut dahi Clara. Meluapkan seluruh kasih sayangnya pada Clara. Karena setelah ini Dio tidak akan pernah bisa mengecup dahi putri kecilnya itu. Ia mengelus surai hitam milik Clara sambil terus membisikkan kata 'sayang' disamping telinga Clara.
     "Sekarang Kau istirahat ya, Nak. Ayah sayang Clara. Selalu." Ucap Dio merelakan.
     Setelahnya terdengar suara nyaring yang entah muncul dari mana.
     "26 Februari 2022, pukul 20.15 Kunyatakan Clara Putri Adelin meninggal dunia."
     Dengan itu, seluruh yang ada pada diri Dio hancur sehancur-hancurnya. Lututnya tak lagi mampu menopang berat badannya. Seluruh tangis dan amarah yang tadinya belum bisa ia ungkapkan, meluap. Dio menjatuhkan diri ke lantai. Menangisi kepergian dunianya, keceriannya. Ia meraung-raungkan nama Clara, memintanya kembali walau ia sendiri yang melepasnya.
     "Dio... Ikhlaskan... Kasihan Clara, nanti jadi berat perjalanannya." Ucap Jefan menenangkan.
     "Clara sedih nanti jika ia melihatmu begini. Kau sudah janji padanya untuk tetap tersenyum, Kau yang bilang bahwa Kau tidak ingin melihatnya kesakitan terus." Ucapnya lagi.
     Belum lama setelah kepergian Clara, Dio mendengar suara anak perempuan masuk, pipinya nampak basah, hidungnya merah. Dia Amara, sahabat putrinya.
     Anak itu meluapkan semuanya dari mulai keluh kesahnya disekolah, kalau ia bermain nanti ia bermain dengan siapa, dan semuanya ia ceritakan sambil terisak.
     "Gapapa. Clara istirahat saja. Clara bobo saja ya? Jadi tidak usah memikirkan nilai matematika lagi. Ngeluh sakit ke Amara lagi. Terus Clara bisa bahagia setiap hari. Om Dio..." Ucapnya sambil memanggil nama Dio.
     Dia melirik Dio.
     "Om Dio biar Amara yang ikutan jaga. Clara khawatir jika Om Dio sendirian kan? Clara bilang sama Amara, Om Dio itu kayak anak kucing berwujud harimau. Suka nangis juga kayak Clara. Jadi.... Clara Tidak usah khawatir ya. Biar Amara yang menjaga Om Dio." Ucapnya membuat Dio terharu.
     "Selamat istirahat sahabat terbaiknya Amara. Amara... duh... Amaraaa s-sayang sama Clar-" Ucapannya terpotong, tidak ia lanjutkan lagi.
     Amara menangis kencang dalam pelukan ibunya.
     Dio sedikit tersenyum haru. Semuanya tampak kehilangan Clara. Jujur ia juga ingin menangis berteriak seperti tadi, karena rasanya sedikit melegakan. Namun ia harus menahannya, setidaknya ia harus tampak tegar didepan Clara untuk terakhir kalinya.

     "Kau harus bahagia, Clara. Terima kasih sudah mau berjuang untuk Ayah. Selamat istirahat mataharinya Ayah. Semoga kau tenang disana." Ucapnya dalam hati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun