Mohon tunggu...
Diva Asfira Demokraty
Diva Asfira Demokraty Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Swim n sleep

You can change your mind and you can change your world

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Berpulang

28 Februari 2022   17:18 Diperbarui: 28 Februari 2022   23:58 666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover : Pict from deviantart.com via pinterest. 

     Entah mengapa Dio tak pernah bisa membacanya sampai akhir. Matanya terus-menerus berair ditengah-tengah waktu Dio membaca isi surat tersebut.
     Tak lupa, ia membuka kotak hadiahnya yang berisikan dasi berwarna navy kesukaannya. Ia akan selalu memakainya. Setiap hari.
     Hingga akhirnya waktu itu datang.
     "CLARA! BANGUN, NAK!! YA TUHAN. KAU TIDAK BISA MENINGGALKAN AYAH BEGINI. DOK TOLONG DOK, LAKUKAN YANG TERBAIK UNTUK CLARA." Dio berteriak panik. Lebih seperti orang kesetanan.
     Tiba-tiba mesin EKG berbunyi nyaring.
     Dokter berhamburan masuk berusaha menyelamatkan Clara, yang Dio juga tidak paham apa yang terjadi dengan tubuhnya.
     Salah satu dokter naik ke atas kasur milik Clara. Memberikan CPR padanya agar jantungnya tetap berdetak.
     Disaat yang bersamaan, Jefan memasuki ruangan yang ribut ini. Ia memegangi tubuh Dio agar tetap berada di sisi ranjang Clara untuk jarak yang agak jauh. Tentunya Dio tolak. Dio harus membangunkan Clara. Hanya Dio yang bisa membangunkannya.
     "Nak, bangun Sayang. Ayo kamu bisa. Jangan tinggalkan Ayah..." Ucapnya.
     Dokter yang tadi memberikan CPR malah turun dari kasur Clara. Bunyi mesin masih belum terdengar seperti biasanya. Ini tidak normal.
     Dio menatapnya marah.
     "KENAPA KALIAN BERHENTI HAH?! KALIAN MENYERAH DENGAN ANAK SAYA?! KALIAN TAHU? SAYA MEMBAYAR PERAWATAN CLARA MAHAL? APA TIDAK ADA TIMBAL BALIK YANG AKAN KALIAN BERIKAN PADA CLARA HAH?!! SAYA MENGERAHKAN SEMUANYA. KALIAN HARUS BISA MENYELAMATKAN CLARA" Dio berteriak. Nafasnya memburu.
     "Pak, tidak banyak yang bisa kami lakukan." Ucap salah satu dokter.
     "KALIAN BISA KAN CPR LAGI?!" Dio membentak keras para dokter.
     "Pak, tulang rusuk Clara bisa patah. Mohon maaf. Kami juga tidak bisa berbuat apa-apa, Clara kesakitan." Ucapnya.
     Jefan menepuk pundak Dio pelan.
     "Dio, sudah ya?" Jefan berusaha menenangkan.
     "Dio, kumohon. Biarkan Clara pergi ya? Biar sekarang giliran Bundanya yang menjaganya disana." Ucap Jefan kembali.
     Dio tidak akan pernah bisa melepaskan Clara. Clara satu-satunya yang ia punya. Clara satu-satunya harta karun yang berharga bagi Dio.
     Dokter bilang, Clara tidak ada harapan lagi. Ini perkara melepaskan atau menunggu ia pergi sendiri. Dio tidak pernah tahan melihat satu jarum pun yang menusuk tubuh Clara. Tapi kali ini di tubuh Clara tertempel berbagai alat yang Dio saja tidak tahu untuk apa gunanya.
     Dio begitu egois.
     Dio melangkah maju, memperhatikan tiap sudut wajah Clara yang pucat tertutup masker oksigen.
     "Clara, anak Ayah yang cantik. Sakit ya, Nak? Sakit ya tubuhnya di pasang ini? Jagoan Ayah yang paling hebat, yang paling kuat. Terima kasih sudah bertahan selama ini untuk Ayah ya, Nak. Tapi kau masih mau bertahan lagi untuk Ayah kan, Nak? Jangan tinggalkan Ayah. Nanti siapa yang mau menemani Ayah makan burger? Nak... Ya Tuhan..." Ucap Dio sambil menangis.
     Pertahanan Dio runtuh. Dio menggenggam tangan Clara dengan erat, enggan melepaskan. Tubuhnya dingin, tidak sehangat biasanya. Apakah matahari sudah enggan menemani tubuhnya?
     Jefan menepuk pelan bahu Dio, menenangkannya. Tidak ada lagi emosi yang menggebu seperti tadi saat dokter mengatakan tidak ada lagi yang bisa dilakukan oleh mereka.
     "Dio, mau melihat Clara bahagia kan?" Tanya Jefan.
     Dio mengangguk. Ia tahu kemana arah pembicaraan ini. Tapi ia tidak akan pernah siap untuk melaksanakannya.
     Sampai tiba-tiba Dio melihat ada bulir air mata keluar dari sudut mata Clara yang tertutup rapat.
     Clara mendengarnya. Ia tahu ada Dio disisinya. Dan mungkin ia merasakan sakitnya. Lebih dari siapapun.
     "Clara, Sayang. Kau sudah mau pergi, Nak? Sudah lelah ya berjuang untuk Ayah?" Tanyanya.
     Air mata terus mengalir dari mata Dio hingga membasahi jari kecil milik Clara. Dibelakang Dio, Jefan kerap menahan pundaknya. Berusaha memberikan kekuatan.
     "Kau mau istirahat saja, Nak? Biar alat-alat ini tidak menyakitimu lagi ya? Tapi Ayah... Ayah tidak siap, Nak. Ayah akan disini sendiri, kesepian tanpamu." Suara Dio bergetar beradu dengan suara mesin yang menandakan bahwa Clara ada disampingnya saat ini.
     Dio tidak pernah menyangka bahwa akhirnya ia akan mengatakan hal ini.
     "Nak, Ayah titip salam sama Bunda ya. Kau jagoan Ayah yang paling hebat. Kalau Kau mau istirahat, Ayah akan menjagamu dari sini. Ayah..... Ayah.... akan mengunjungi rumah barumu setiap hari sambil senyum seperti yang Kau minta, Nak. Maafkan Ayah karena telah membuatmu kesakitan seperti ini. Ayah... Ayah sayang sekali sama Clara, Nak. Putri Ayah satu-satunya." Ungkap Dio pada Clara.
     Dio mengecup lembut dahi Clara. Meluapkan seluruh kasih sayangnya pada Clara. Karena setelah ini Dio tidak akan pernah bisa mengecup dahi putri kecilnya itu. Ia mengelus surai hitam milik Clara sambil terus membisikkan kata 'sayang' disamping telinga Clara.
     "Sekarang Kau istirahat ya, Nak. Ayah sayang Clara. Selalu." Ucap Dio merelakan.
     Setelahnya terdengar suara nyaring yang entah muncul dari mana.
     "26 Februari 2022, pukul 20.15 Kunyatakan Clara Putri Adelin meninggal dunia."
     Dengan itu, seluruh yang ada pada diri Dio hancur sehancur-hancurnya. Lututnya tak lagi mampu menopang berat badannya. Seluruh tangis dan amarah yang tadinya belum bisa ia ungkapkan, meluap. Dio menjatuhkan diri ke lantai. Menangisi kepergian dunianya, keceriannya. Ia meraung-raungkan nama Clara, memintanya kembali walau ia sendiri yang melepasnya.
     "Dio... Ikhlaskan... Kasihan Clara, nanti jadi berat perjalanannya." Ucap Jefan menenangkan.
     "Clara sedih nanti jika ia melihatmu begini. Kau sudah janji padanya untuk tetap tersenyum, Kau yang bilang bahwa Kau tidak ingin melihatnya kesakitan terus." Ucapnya lagi.
     Belum lama setelah kepergian Clara, Dio mendengar suara anak perempuan masuk, pipinya nampak basah, hidungnya merah. Dia Amara, sahabat putrinya.
     Anak itu meluapkan semuanya dari mulai keluh kesahnya disekolah, kalau ia bermain nanti ia bermain dengan siapa, dan semuanya ia ceritakan sambil terisak.
     "Gapapa. Clara istirahat saja. Clara bobo saja ya? Jadi tidak usah memikirkan nilai matematika lagi. Ngeluh sakit ke Amara lagi. Terus Clara bisa bahagia setiap hari. Om Dio..." Ucapnya sambil memanggil nama Dio.
     Dia melirik Dio.
     "Om Dio biar Amara yang ikutan jaga. Clara khawatir jika Om Dio sendirian kan? Clara bilang sama Amara, Om Dio itu kayak anak kucing berwujud harimau. Suka nangis juga kayak Clara. Jadi.... Clara Tidak usah khawatir ya. Biar Amara yang menjaga Om Dio." Ucapnya membuat Dio terharu.
     "Selamat istirahat sahabat terbaiknya Amara. Amara... duh... Amaraaa s-sayang sama Clar-" Ucapannya terpotong, tidak ia lanjutkan lagi.
     Amara menangis kencang dalam pelukan ibunya.
     Dio sedikit tersenyum haru. Semuanya tampak kehilangan Clara. Jujur ia juga ingin menangis berteriak seperti tadi, karena rasanya sedikit melegakan. Namun ia harus menahannya, setidaknya ia harus tampak tegar didepan Clara untuk terakhir kalinya.

     "Kau harus bahagia, Clara. Terima kasih sudah mau berjuang untuk Ayah. Selamat istirahat mataharinya Ayah. Semoga kau tenang disana." Ucapnya dalam hati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun