Mohon tunggu...
Diva Asfira Demokraty
Diva Asfira Demokraty Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Swim n sleep

You can change your mind and you can change your world

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Berpulang

28 Februari 2022   17:18 Diperbarui: 28 Februari 2022   23:58 666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar : Pict from Google. 


     Drrrtt... drrrtt... drrrtt...
     Ponsel Dio bergetar. Clara meneleponnya.
     Sekarang ia sedang berada di ruangan dokter Al setelah tadi ia dari kantin bersama dengan Jefan, makan. Seharian ia belum makan, tidak ada nafsu.
     Dio mengangkat teleponnya.
     "Ayah. Ayah dimana?" Tanya Clara dari ujung sana.
     "Ayah sedang di ruangan Dokter Al, Nak. Kenapa? Ada yang sakit?" Tanya Dio khawatir.
     "Clara mau ke kamar mandi. Lemas sekali. Clara sedih, Yah. Masa Clara mau menggerakkan kaki dan bangun saja Clara tidak sanggup." Ucapnya polos.
     Hati Dio terasa sakit mendengarnya.
     "Sebentar, Ayah ke ruangan Kau ya. Tunggu, jangan bangun sendirian." Intruksinya pada Clara
     Bagaimana cara Clara mengeluh lemas, bahkan sampai tidak bisa menggerakkan bagian tubuhnya... Wah... Dio benar-benar marah saat itu. Entah kepada siapa. Mungkin kepada takdir yang membuatnya seperti itu? Tidak ada yang tahu.


***


     Akhirnya setelah beberapa hari dirawat, kondisi Clara mulai stabil dan kembali ke rumah.
     Untuk pertama kalinya, setelah Clara divonis sakit, ia mulai masuk sekolah lagi. Ia juga meminta pada Dio agar teman-temannya tidak boleh diberitahu mengenai penyakitnya ini. Kecuali Amara dan Kala.
     Dio menurutinya, mungkin Clara tidak ingin terlihat sakit di depan teman-temannya. Tapi Dio tetap memberitahu wali kelasnya. Antisipasi apabila ada hal-hal buruk terjadi padanya di sekolah.
     Menyekolahkannya saat itu merupakan pilihan tersulit. Bertemu orang lain saat imunitasnya tidak stabil, membuat Dio semakin was-was. Tapi Dio dan Dokter Al berusaha memberikan yang terbaik untuk Clara. Tidak mungkin juga Dio membiarkan Clara terus di rumah. Ia juga harus bekerja.
     Pernah satu waktu, Dio dan Clara berbincang malam-malam. waktu itu ia pulang ke rumah dengan keadaan kesal karena nilai ulangan matematikanya turun. Tentu ia banyak tertinggal, kemarin saja dari awal check up hingga kemoterapi sudah terhitung 1 minggu ia tidak masuk sekolah.
     "Kenapa wajahmu ditekuk begitu dari pulang sekolah?" Tanya Dio mengawali percakapan.
     "Clara kesal, hiks. Masa nilai ulangan matematika Clara sekarang turun. Biasanya ulangan matematika Clara ranking 2, sekarang Clara ranking 6. Malah Bian sekarang udah di atas Clara, Yah." Adunya sambil merengek.
     "Nanti kalo Clara makin di ledekin sama Abel gimana, Yah?" Tanyanya.
     "Oalah, hahaha. Ayah kira kenapa, ya sudah sekarang belajar sama Ayah mau?" Tawar Dio pada Clara.
     Akhirnya Clara menganggukkan kepalanya secara cepat. Ia kembali senang.
     Kemampuan belajarnya juga mungkin berkurang. Ada kalanya setelah minum obat malam, ia menjadi cepat mengantuk. Jujur, akademis bukanlah jadi hal utama bagi Dio. Namun nyatanya, tidak bagi Clara. Apalagi setelah menerima nilai ujian tengah semester kala itu. Ia tampak sangat sedih.
     Besok adalah jadwal kemoterapi Clara yang ke-3. Dio sudah menahan diri untuk tidak berpikiran yang negatif. Namun tetap saja, ia khawatir berlebihan.
     Setelah bergelut dengan pikirannya, Dio baru menyadari. Hari ini Clara hanya diam saja. Fokus membaca buku pelajarannya. Bahkan hingga di meja makan saat ini.
     "Clara, Ayo makan dulu. Nanti makanannya keburu dingin." Perintah Dio.
     "Bentar, Yah." Jawabnya.
     "Belajarnya bisa nanti lagi, sekarang Kau harus makan dulu." Ucap Dio.
     "Sebentar Ayah! Nanti kalo Clara makan terus kenyang, nanti minum obat terus malah jadi ngantuk. Dan tidak jadi belajarnya!" Jawab Clara dengan meninggikan suaranya sampai beberapa oktaf.
     Dio menghela nafas kasar dan memutuskan untuk mengambil piring didepannya lalu menyuapi Clara agar ia makan sembari belajar.
     Tapi, aktifitas Dio harus berhenti kala melihat cairan merah yang keluar dari hidung mungil Clara. Buru-buru Dio mengambil tisu didepannya dan merebut buku yang sedang dipegang Clara secara kasar.
     "Bisa tidak Kau dengarkan Ayah terlebih dahulu? Makanya kalau dibilang Ayah itu nurut dulu!!" Dio teriak tanpa sadar, panik menguasai emosi Dio tentu saja.
     Sudah beberapa minggu ini Clara tidak mimisan lagi. Yang dimarahi hanya diam saja. Tapi nafasnya terdengar berderu. Cairan merah itu tidak mau berhenti keluar dari hidungnya. Bahkan sampai tisu mulai berserakan di bawah meja makan.
     Tiba-tiba Clara berdiri. Ia lari menjauhi Dio, dan pergi ke kamar mandi. Dio ikut mengejarnya. Clara menundukkan kepalanya di wastafel, Dio mengusap punggungnya pelan. Memintanya untuk bersabar dikit.
     Tetapi yang terdengar malah isak tangis. Clara menangis. Dio tersentak, memegang tubuhnya yang seakan-akan melemas.
     "Clara, Sayang. Kok nangis? ayo bersihkan dulu darahnya, habis ini istirahat." Ujar Dio melunak.
     "Hiks... Clara sudah tidak pintar lagi Ayah. Abel juga bilang kalau Clara sekarang bodoh. Clara ingin kembali seperti dulu lagi, Yah. Hiks... Clara mau jajan di luar sekolah... beli cilor, cimin, cilok, dan semua makanan yang dulu suka Clara makan bersama Amara. Clara mau, Yah. Hiks..." Ungkapnya dengan nada tersendat-sendat karena menahan tangisan.
     Ya Tuhan. Dio pikir selama sebulan ini saat Clara menjalani sekolah, ia akan baik-baik saja. Clara tidak pernah mengeluh dengan semua aktifitas barunya seperti memakai masker, tidak mengikuti kegiatan olahraga di sekolah, makan bekal, dan minum obat. Dio pikir Clara memang sudah terbiasa.
     Nyatanya berat baginya selama ini.
     Tapi apa yang Dio harapkan dari anak kecil berusia 11 tahun yang masih ingin merasakan asiknya bermain dengan teman sebaya, mencoba hal-hal baru. Perasaan Clara pasti hancur karena penyakit ini.
     Tidak ada yg bisa Dio lakukan selain memeluknya dalam dekapan malam itu. Lagi-lagi sambil mengucapkan beribu kata maaf pada kuping Clara.
     Malam itu, Clara nampak rapuh dan tak berdaya.
     Andaikan teman-temannya boleh Dio beritahu, mereka pasti akan mengerti kondisi Clara. Tapi Clara tetaplah Clara, ia berusaha nampak kuat terus dari luar.
     Kejadian malam itu membuat fisik Clara terpengaruh. Jelas saja. Untuk penyakit seperti ini, mengendalikan pikiran menjadi kunci untuk tetap sehat. Tidak boleh stress, terlalu banyak pikiran, dan berbagai macam larangan lainnya sepertinya sudah dilanggar Clara tadi malam.
     Pagi itu Dio cerita pada Jefan. Jefan malah memarahi dirinya. Tak apa, memang sepantasnya Dio dimarahi.
     Sepertinya Dio belum sepenuhnya memandang segala hal dari sudut pandang Clara. Pasti berat baginya untuk menjalani hal ini. Apalagi Clara adalah anak yang sangat kompetitif.
     Berlanjut ke masa kemoterapi Clara yang ke-3.
     Ya, hari ini adalah kemoterapi-nya yang ke-3.
     Namun ternyata semesta kali ini lebih jahat pada Clara. Pasalnya, kemoterapi yang ke-3 ini adalah pertama kalinya tubuh Clara menolak obat yang masuk ke tubuhnya.
     Dio sangat panik.
     Clara lebih banyak mengeluh bahkan jauh lebih tidak berdaya dari sebelumnya. Tubuhnya seakan menolak semua obat.
     "Ayah, sakit sekali. Clara tidak tahan" Itu adalah ucapan Clara yang selalu keluar dari mulut kecilnya.
     Dokter bahkan memberikan obat penahan rasa sakit. Tubuhnya muncul ruam-ruam, bahkan ada beberapa sisi yang terlihat menghitam menjelajahi kulitnya yang putih mulus.
     Dio benar-benar tidak sanggup melihatnya. Ia sempat berfikir bahwa ia akan kehilangan Clara-nya hari itu juga.
     "Dio. Gimana Clara? Sudah ada perkembangan?" Tanya Jefan.
     "Tidak. Tidak sama sekali. Masih terus dikasih dosis tinggi penahan rasa sakit." Jawab Dio seadanya.
     "Kenapa bisa gitu? Lalu langkah selanjutnya apa?" Tanya Jefan kembali.
     "Aku tidak tahu. Bahkan dokter juga tidak tahu pasti. Bisa jadi karena Clara stress atau karena antibodinya menolak, dan banyak hal lain yang tidak aku mengerti." Jawab Dio sekenanya.
     "Untuk langkah selanjutnya, ya ganti obat. Tapi harus lebih rutin. Kalau kemarin 2 minggu sekali, sekarang harus seminggu sekali. Tambah radio terapi." Lanjutnya lagi.
     Jefan tertegun mendengarnya.
     "Dio..." Panggilnya melunak
     "Ya. Dia tidak akan bisa masuk sekolah," Dio sudah bisa menebak pertanyaan apa yang ada di kepala Jefan.
     "Apa hanya itu pilihannya?" Tanya Jefan.
     "Iya. Hanya itu yang terbaik. " Dio pasrah.
     "Donor sumsum tulang? Tidak bisa kah?" Tanya Jefan memastikan.
     "Tidak bisa. Jenis kanker yang dimiliki Clara berbeda dari kanker lainnya kata Dokter Al. Satu-satunya jalan yang bisa di tempuh hanya melalui kemoterapi ini." Jelasnya.
     "Ya sudah, berarti jalani saja prosedur yang diberikan dokter." Ungkap Jefan
     "Pertanyaannya adalah apa dia mau, berhenti sekolah?" Tanya Dio.
     Ia khawatir Clara akan terpukul karena kenyataan ini.
     "Homeschooling, Dio." Saran Jefan.
     "Dia adalah salah satu siswa teraktif di sekolah. Kenyataan ini akan membuat dia kecewa, Jef." Ucap Dio.
     "Jujur, Aku juga tidak tahu harus memberikan saran apa lagi. Aku paham, Aku mengerti perasaanmu dan juga perasaan Clara." Jawab Jefan putus asa.
     "Tidak apa-apa, Jef. Aku hanya ingin kamu tahu tentang ini." Ucap Dio.
     "Tetap semangat, Dio." Jefan menyemangati.


***


     Esok harinya Dio terpaksa harus meninggalkan Clara, ia harus pergi ke kantor. Sudah 1 bulan sejak Clara kemoterapi, ia meninggalkan tugasnya sebagai atasan.
     Tapi ternyata, Clara membutuhkan dirinya.
     Drrrtt... drrrtt...
     Ponsel Dio bergetar, panggilan masuk dari Clara.
     "Halo Ayah." Sapa Clara dari ujung sana.
     "Halo, Sayang. Maaf ya Ayah harus pergi ke kantor sebentar buat tandatangan berkas dan hal lainnya." Ucapnya sedih.
     "Kamu baik-baik saja? Mau apa? Mau makan apa? Mau ngemil apa? Ayah carikan ya." Tawar Dio.
     "Mau Ayah." Jawab Clara.
     Hanya dua kata, tapi mampu membuat dirinya stagnan.
     "Aku mau Ayah disini, apa bisa?" Ucapnya sekali lagi menegaskan.
     "Oke, Ayah akan segera kesana ya. Kau sudah makan?" Tanya Dio memastikan.
     "Belum" Jawab Clara seadanya.
     "Oke, nanti makan ya. Ayah temani, Ayah tutup dulu ya teleponnya." Ucap Dio mengakhiri.
     Dio harus segera ke rumah sakit, Clara membutuhkannya.
     Tapi...
     Tok-tok-tok
     Pintu ruangan Dio berbunyi.
     "Masuk." Dio mempersilakan.
     "Selamat siang, Pak. Ini Klien untuk project baru, baru saja sampai. Saya langsung arahkan ke ruangan Bapak atau bagaimana ya Pak?" Tanya pegawai tersebut.
     "Duh, tolong ucapkan permohonan maaf Saya pada mereka. Saya tidak bisa menemui mereka hari ini, anak Saya membutuhkan Saya di rumah sakit. Dia meminta Saya untuk segera kembali ke rumah sakit." Jelas Dio pada pegawai tersebut.
     "Pak, minggu lalu kita sudah kehilangan klien karena ketidakhadiran Bapak. Apabila klien ini juga gagal, kita hanya memiliki beberapa vendor untuk menopang perusahaan kita." Jelas pegawai bernama 'Azzam' tersebut.
     "Anak Saya butuh Saya." Ucap Dio bersikeras.
     "Perusahaan ini juga butuh Bapak." Azzam tidak mau kalah.
     "Gini ya Dio, hentikan semua omong kosong. Aku akan bicara dari sudut pandang ku sebagai teman kuliahmu." Jawab Azzam berbeda nada.
     "Aku paham anakmu sakit. Aku sangat paham bahwa dia prioritasmu. Tapi Kau punya perusahaan yang tidak bisa Kau lepas tanggung jawab gitu saja, Dio. Mau sampai kapan Kau menelantarkan karyawan-karyawan perusahaanmu?" Ungkap Azzam mengeluarkan emosi.
     "1 bulan, Dio. Kita seperti tidak punya pekerjaan. Complain sana-sini, klien banyak yang mundur. Bahkan vendor kita sekarang ragu. Aku paham Kau mau menemani anakmu. Tidak ada yang lebih penting dari keluarga. Tapi kalau Kau membuat perusahaan ini jatuh, mau Kau kasih makan apa anakmu nanti? Obat dia tidak sedikit. Biaya rumah sakit mahal. Kau tidak bisa seperti ini terus-menerus." Azzam mengeluarkan semua keluh kesahnya selama ini.
     "Maaf, Zam." Dio hanya menjawabnya dengan permintaan maaf.
     "Oke. Maaf, Aku hilang kendali. Maaf kalau Aku tidak sopan." Azzam menyerah.
     "Klien ini akan Saya tangani semampu Saya. Tanpa Bapak, Saya akan buat alasan terkait kenapa Bapak tidak hadir. Jika kami tidak berhasil, Saya mohon maaf." Ucapnya mengakhiri percakapan.
     "Baik, Terima kasih dan maaf Azzam." Jawab Dio.


***


     Dio kembali ke rumah sakit.
     "Anak Ayah yang cantik, kok belum makan? Eh makasih ya, Sus." Ujar Dio sembari membiarkan perawat yang tadi menjaga Clara pergi.
     "Tidak nafsu makan." Jawab Clara seadanya.
     Dio menghela nafasnya pelan. Ia membuka jas kerjanya, dan meletakkannya asal di sofa.
     "Kenapa gitu? Nanti makin sakit gimana? Nanti makin lama keluar dari sini." Dio memperingati Clara.
     "Kalau gitu, Ayah saja yang makan. Clara makan pun tetap lama keluar dari tempat ini." Jawab Clara seperti menantang.
     "CLARA!" Panggil Dio dengan nada tinggi yang ia naikkan beberapa oktaf.
     Dio menatapnya serius. Yang diteriaki tersentak tetapi memutuskan untuk tidak menghiraukannya.
     Dio mengusap wajahnya kasar. Jujur saja ia lelah.
     "Kau tahu tidak? Gara-gara Kau nakal, tidak mau makan seperti ini... Kau jadi susah sembuh. imunitasnya turun." Ujar Dio.
     Sang empu yang dimarahi menatap Dio marah.
     "Ayah tahu rasanya mual seperti yang Clara rasakan?" Tanyanya.
     Dio menghela nafas kasar. Mengalah sesuai dengan arahan Jefan, lalu duduk di samping kasurnya.
     "Iya, maaf ya. Sekarang lebih baik Kau makan dulu ya? Kalau Kau tidak makan, nanti perutnya sakit." Dio membujuknya.
     Clara memalingkan pandangannya, enggan menatap Dio. Entah bagaimana, Dio malah ingin membuka percakapan dengan Clara mengenai jadwal kemoterapi barunya.
     "Clara, dengarkan Ayah baik-baik. Pengobatanmu yang kemarin, itu sama sekali tidak bekerja." Ucap Dio.
     Clara menatap Dio bingung.
     "Kita harus ganti obat. Jadi kita tidak akan memakai obat yang kemarin lagi, tapi kau harus kemoterapi setiap seminggu sekali..." Lanjut Dio.
     "ENGGAAKKKK!!!" Clara berteriak menolak.
     Dio tahu, Clara pasti menolaknya. Tapi ia mencoba memberi pengertian.
     "Clar, kalau tidak gitu kau akan makin lama penyembuhannya. Nanti kau makin sakit, terus--" Ucapan Dio terpotong.
     "Clara tidak mau disuntik seminggu sekali, Ayah." Ujarnya.

     Disuntik adalah kata lain Clara untuk menyebut kemoterapi.
     "Clara..." Panggil Dio melunak.
     "Ayah Tidak akan pernah tahu bagaimana sakitnya saat disuntik kemo kemo itu." Ujarnya lagi dengan nafas yang memburu.
     "Pokoknya Aku tidak mau disuntik lagi. Clara sudah tidak mau sehat, Ayah saja yang disuntik. Clara capek." Ucapnya secara tidak sadar.
     "CLARA!" Dio berteriak.
     Kesabaran Dio sudah habis akibat mendengar kata-kata Clara yang seolah-olah sudah putus harapan.
     "Ayah kerja. Setiap hari sambil mengurusmu. Kau tidak tahu kalau Ayah selalu memprioritaskanmu daripada klien ayah? Kau dengan mudah bicara kalau Kau tidak mau sembuh dan mau nyerah? Bukan hanya Kau saja yang capek, Ayah juga. Ayah capek tiap harus kepikiranmu. Ayah mau liat Kau sembuh, Clara. Tapi kalau Kau menolak dan berlaku seperti ini terus, Ayah harus gimana Clara?" Dio mengungkapkan semuanya secara tidak sadar.
     Dio tersulut emosi, nafasnya memburu. Dio tahu ia salah.
     Clara menatapnya takut.
     "-Clar-a.. Maafkan Ayah. Ayah kelepasan." Dio mendekatinya. Tapi ia malah menjauh.
     "Clara merepotkan Ayah. Clara beban bagi Ayah. Clara cuma bikin Ayah capek. Jawab Aku, Clara cuma jadi beban ya buat Ayah?" Tanyanya sambil menangis.
     Dio tak tega melihatnya. Ia salah. Hatinya mengernyit sakit. Dio benar-benar merasa bodoh, bagaimana bisa ia meluapkan masalah kantor pada Clara.
     "Tidak Sayang, Clara tidak merepotkan Ayah. Sama sekali tidak. Ayah salah. Maafkan Ayah." Ujar Dio meminta maaf sambil menarik Clara ke dalam. dekapannya.
     Awalnya Clara memberontak. Tapi perlahan-lahan malah tangis yang terdengar. Dio merasa sangat bersalah.
     "Hiks. Maafkan Clara, Ayah. Clara tidak mau disuntik lagi. Clara lelah, lelah disuntik. Clara ingin kembali hidup seperti dulu. Hiks. Badan Clara sakit semua. Dulu... Dulu juga Clara pinter, Yah. Sekarang Clara sudah bodoh, tidak mengerti apa yang di terangkan oleh guru Clara. Clara takut sudah tidak bisa membanggakan Ayah lagi." Ujarnya sembari sesenggukan.
     Dio mengelus-elus punggungnya. Setelahnya suara tangisnya makin kencang. Bersamaan dengan itu, air mata juga keluar dan turun dari pipi Dio. Dio ikut menangis mendengarnya.
     Jujur Dio tidak pernah memikirkannya hingga kesana. Bagaimana akademiknya, bagaimana ia sedih mengejar ketertinggalannya dibanding teman-temannya. Dio pikir itu hanya angin lalu. Dan ternyata Clara berfikir kalau ia takut sudah tidak bisa Dio banggakan lagi. Ya Tuhan. Jika Dio diberikan kesempatan untuk menukar sakitnya Clara dengan dirinya, Dio rela. sangat. Bagaimanapun Dio bangga memiliki Clara, menyayangi Clara, mengurus Clara. Semua itu Dio lakukan atas dasar sayang.
     "Sayang, Ayah bangga sama Clara apapun keadaannya. Clara tidak bodoh karena Clara disuntik. Kita cari solusi sama-sama ya biar Clara kembali seperti dulu lagi." Ujar Dio sembari mengelus surai hitamnya Clara.
     Namun sang empu yang ia ajak ngobrol ini tampaknya telah tidur, terdengar suara dengkuran halus. Mungkin Clara kelelahan, sehingga Dio membaringkannya diatas kasur dan menyelimutinya.
     Saat Dio membalikkan badannya untuk keluar ruangan Clara, ia bertemu dengan Jefan. Jefan sepertinya melihat semuanya.
     Dio mengingatnya dengan jelas, bagaimana Jefan berbicara padanya memberikan sebuah nasihat yang bisa sampai kepadaku.
     Sebagai ayah, Dio harus lebih keras lagi berusaha untuk Clara.
     "Komunikasi dan kejujuran akan berbuah pengertian." Ucapan bijak dari Jefan siang itu.
     Setelah ia setuju, Clara menjalani kemoterapi-nya yang ke-3 dengan obat baru. Yang jelas efek obat yang sekarang ini tidak sedahsyat yang sebelumnya.
     Ada 2 kemungkinan, obatnya yang lebih sedikit efek sampingnya atau tubuhnya yang sudah beradaptasi dengan rasa sakit.
     Tapi yang jelas, Clara jadi lebih sering tidur. Dio sudah jarang melihatnya tersenyum, tertawa, maupun hal acak lainnya setelah 4 hari ia menjalankan kemoterapinya itu.
     Bahkan untuk dikunjungi Amara saja ia menolak.
     Mengenai sekolahnya, pihak sekolah menyarankan agar Clara tetap sekolah walaupun Online. Karena sangat disayangkan sekolah yang tinggal beberapa bulan lagi namun memilih untuk homeschooling, Clara juga anak yang berpotensi tinggi, ia juga cepat tanggap. Jadi ia pasti masih bisa mengikuti meskipun dalam keadaan seperti ini.
     Beberapa hari setelah ia sekolah online, semuanya tampak lancar saja. Clara juga menikmatinya.
     Namun ia akhir-akhir ini sedang dalam banyak pikiran. sehingga membuat suhu tubuhnya tidak stabil. Ia stres, tiap malam selalu demam.
     Hingga akhirnya ia dinyatakan kritis.
     Iya, kritis.
     Dio ingat saat terbangun di sisi Clara, Amara pagi-pagi menangis mencoba membangunkan Clara. Ia menangis sambil menepuk-nepuk lengan Clara.
     Saat itu Dio pikir ia akan kehilangan Clara.
     Tapi ternyata Tuhan masih berbaik hati pada Dio.
     "Maaf Bapak, berat dikatakan bahwa sel kanker yang ada pada tubuh Clara sudah menyebar ke paru-paru. Itu menjadi penyebab Clara kemarin susah bernafas." Jelas Dokter Al pada Dio.
     Dio mengacak-acak rambutnya, ia frustasi. Setelah kejadian Clara tidak sadarkan diri, ia dipindah ke ICU. Sampai saat ini Clara masih belum sadarkan diri. Masih terlalu dini untuk mengatakan bahwa ia koma. Tapi yang jelas Clara sudah melewati masa kritisnya.
     Kemarin jerit histeris Amara juga menjadi suara yang paling Dio ingat. Bisa-bisanya Dio tertidur, tidak mengetahui bahwa Clara sedang berjuang sendirian. Lagi-lagi Dio merasa gagal. Dio hampir saja kehilangan Clara kemarin.
     "Tidak usah dipikirkan terus, dia akan baik-baik saja." Ucap Jefan menenangkan.
     "Gimana Amara?" Tanya Dio.
     "Masih shock, dia kaget kemarin." Jawab Jefan seadanya.
     "Jef, gimana kalau Clara tidak bisa keluar dari ruangan itu?" Tanya Dio ketakutan.
     "Kau menyerah pada Clara?" Jefan berbalik nanya.
     "Tidak. Aku hanya takut kehilangannya saja." Jawab Dio sambil membuang nafas kasar.
     Setelah lewat beberapa hari, akhirnya Clara sadar. Dio sangat bersyukur masih bisa melihat cahayanya itu.
     Sambil menahan tangis, Dio menatap manik mata Clara.
     Sayu.
     Dio juga menggenggam tangan Clara, terasa dingin. Tapi setidaknya ia sadar.
     "Ayah...." Panggil Clara dengan pelan. Mulutnya tertutup masker oksigen yang menempel di wajahnya.
     "Iya, Nak. Ayah disini, Kau mau apa?" Tanya Dio sambil menahan tangis.
     Dio mengusap surai hitam panjang milik Clara.
     Tapi, rontok.
     "M-mau burger..." Jawabnya.
     Ya, burger makanan kesukaannya.
     Ia membuat Dio tertawa sampai mengeluarkan air mata. Dio mengucapkan ribuan terima kasih pada Tuhan karena masih diberi kesempatan untuk mendengar suaranya.
     "Iya... Nak. Ayah akan membelikanmu burger nanti. Mau berapa? 100? 100 burger untukmu." Ucap Dio.
     Tapi Clara menggeleng lemah. Ia mengangkat tangannya dan membentuk 2 jari, menandakan ia hanya ingin 2 burger.
     "Eh? 2 saja?" Tanya Dio.
     "Nanti tidak habis." Jawab Clara.
     "Ah, baiklah. Nanti Ayah belikan 2 burger untukmu ya." Jawab Dio dengan berusaha memberikan senyuman tampannya.
     Clara tersenyum puas. Tangan Dio digenggam lebih erat dari sebelumnya. Matanya bertemu dengan mata Dio.
     "Clara... i-ingin s-sembuh, A-ayah." Ucapnya.


***


     Beberapa hari berlalu. Clara dipindahkan kembali ke kamar rawat inap asalnya. Kamar 90 dengan nuansa hangat.
     Kondisi Clara kala itu bisa disebut stagnan.
     Dokter tidak bisa berbuat banyak padanya.Setelah proses penyebaran sel kanker, tubuhnya tidak bisa diberikan dosis kemoterapi lebih banyak. Bahkan untuk sementara waktu radio terapinya juga di hentikan.
     "Seperti melihat tubuh anakku digerogoti pelan-pelan." Gumam Dio pelan.
     Tubuh Clara nampak sangat kurus. Rambutnya juga tidak setebal dulu. Ia tidak begitu aktif seperti sebelumnya. Tidur adalah aktifitas favoritnya sekarang.
     Ada satu yang tidak berubah. Senyumnya yang sehangat matahari, senyumnya yang selalu membuat Dio ceria.
     Satu minggu berlalu begitu cepat. Namun ajaibnya kondisi Clara kian stabil. Clara memang terkenal ambisius. Apapun yang ia inginkan pasti harus ia dapatkan dengan cara apapun. Jadi, Dio tidak terkejut bila dalam seminggu ini Clara melakukan tahap pengobatan tanpa keluhan apapun.
     Minggu ini merupakan ujian semester hari terakhir. Sesuai dengan perjanjian Clara dengan gurunya, ia akan melakukan ujian di rumah sakit apabila kondisinya masih belum bisa pergi ke sekolah. Menurut Dio itu solusi yang bagus. Dio jadi bisa memantau terus keadaan Clara.
     Waktu itu, permasalahan baru juga muncul saat Amara yang ingin meluangkan waktunya untuk bermain dengan Clara. Akan tetapi malah bertengkar cukup hebat karena masalah sepele.
     Dio merasa, sekarang Clara lebih sensitif.
     Berubah? Ya. Anak itu memang terasa sedikit lebih emosional. Lebih banyak memikirkan dirinya sendiri, seperti bukan Clara.
     Namun, Dio meyakinkan diri bahwa itu efek obat dan mood swing saat orang sedang sakit.
     Setelah masa ujiannya selesai dan juga hasil tes diberikan, Dio dan Clara siap untuk kembali ke rumah. Clara akan menjalani perawatan di rumah supaya ia tidak suntuk di rumah sakit terus.
     Dio tidak tahu, namun saat itu tiba-tiba semuanya berjalan lancar masa depan mereka terasa sangat cerah.
     Dio dan Clara mulai menyusun banyak rencana. Memanfaatkan kesempatan ini sebelum Clara mengikuti kemoterapi yang telah dijadwalkan.
     Tentu saja dengan prosedur rumit. Misal jadwal makan khusus, berbagai kegiatan yang dilarang, dan sejenisnya yang berkaitan dengan prosedur medis.
     Dio pun memotret jadwal rencana Clara tepat sehari sebelum mereka pulang ke rumah.

5 Wishlist Clara!!!

  1. Foto buku tahunan
  2. Mengunjungi tempat Bunda 
  3. Pergi ke Time Zone & Bioskop
  4. Makan Burger sama Ayah
  5. Beli hadiah buat : 

Ayah, Amara, Om Jefan, Ms Dewi, Kala, Abel.  


     Clara tidak tahu bahwa Dio sudah tahu rencananya yang ingin memberikan Dio hadiah.
     Hari dimana Clara dan Dio akhirnya kembali ke rumah adalah hari yang paling melegakan. Kembali merasakan udara segar tanpa bau khas rumah sakit yang dominan obat-obatan.
     Mungkin itu juga yang dirasakan Clara, ia tersenyum sepanjang hari.
     Hari pertama dirumah, mereka habiskan dengan nostalgia. Clara memang sudah lama tidak pulang ke rumah, jadi mungkin banyak merindukan sudut-sudut rumahnya yang sudah jarang ia lihat.
     Salah satunya adalah figura berisikan mendiang bundanya.
     "Ayah, Bunda cantik ya." Ujarnya.
     "Tentu saja. Kan istrinya Ayah." Jawab Dio tersenyum.
     "Pantas saja Tuhan mengambil Bunda duluan dari kita. Soalnya Bunda terlalu cantik." Ujarnya lagi.
     "Clara kangen banget sama Bunda. Kita main kesana yuk? Boleh kan yah?" Tanyanya.
     "Iya boleh..." Jawab Dio seadanya.
     Tidak tahu saja, saat ini Dio sedang menahan agar air matanya tidak keluar dari matanya.
     Sesuai dengan permintaan Clara, Dio dan Clara kali ini sedang berada di tempat dimana mendiang istri Dio beristirahat. Mereka berdua berkunjung setelah sekian lama.
     Clara duduk di hadapan nisan bundanya, ia memberikan bunga yang sebelumnya ia beli bersama Dio di toko bunga.
     Clara tersenyum. Senyum yang membuat Dio takut.
     "Hai Bunda. Sudah lama kita tidak bertemu, tungguin Clara sebentar lagi ya. Sebentar lagi kita akan bertemu dan tinggal bersama." Ujarnya tiba-tiba.
     Dio mengernyit bingung.
     "Kenapa bentar lagi, Clar?" Tanya Dio bingung.
     "Iya, Clara itu sering sekali memimpikan Bunda. Nanti deh liat, malam ini pasti Clara mimpiin Bunda lagi. Kalau Clara benar, belikan Clara 2 burger ya!" Ucapnya tersenyum lebar.
     "Ah, mungkin itu akal-akalan kamu saja." Ucap Dio berusaha tidak memikirkannya.
     Takut.
     Itulah yang Dio rasakan saat Clara mengucapkan hal itu. Kala itu, ucapan Clara menjadi suara yang tidak ingin Dio dengar.


***


     Setelah 2 minggu Clara menyelesaikan beberap wishlistnya (kecuali makan 2 burger) tampaknya ia sangat senang.
     Salah satunya adalah saat Clara ikut foto tahunan. Mendengarnya berceloteh tentang hari itu, membuat Dio tersenyum lagi. Sudah lama dari terakhir kali ia mendengar celotehan hebohnya.
     Banyak hal yang Clara ceritakan. Dari ia yang berbaikan dengan 'musuh lamanya' Abel, bermain dengan Amara juga Kala, dan lainnya.
     Walau setelah itu, ia demam cukup tinggi selama 2 hari. Wajar saja, ia kelelahan. Fisiknya memang tidak sekuat dulu. Tapi untungnya tidak ada hal buruk yang terjadi. Hingga akhirnya Dio memutuskan untuk mengajak Clara pergi ke Time Zone dan pergi nonton film yang diinginkannya ke bioskop. Seperti wishlist yang ditulisnya tempo lalu.
     Dio dan Clara bermain dari pagi sampai menjelang matahari tenggelam. Sambil memotret tiap memori menggunakan kamera pemberian Jefan saat itu. Ini merupakan kenang-kenangan yang berharga untuk Dio dan Clara. Bermain dan tertawa, berlarian sana sini untuk memainkan semua game yang ada di Time Zone.
     Walau benar, Dio tidak menyadari bahwa mataharinya itu ikut tenggelam bersama matahari di sore itu.


***


     Dio masuk kerja saat itu, banyak sekali pekerjaan yang menunggunya untuk dikerjakan.
     Namun tiba-tiba...
     Drrrtt... drrrtt...
     Ponsel Dio bergetar, ada panggilan masuk dari Clara.
     "Halo, Sayang. Bentar ya, Ayah sedang mengerjakan beberapa dokumen di ruang kerja. Ada apa?" Tanyanya memulai percakapan.
     "Ayah, Clara bisa sembuh kan? Clara bakalam sakit seperti ini terus ya Ayah?" Tanyanya tiba-tiba.
     "Kenapa ngomongnya gitu? Kan Clara sudah berusaha, sudah minum obat. Tidak nakal juga. Pasti sembuh, sabar ya, Nak. Sebentar lagi pasti sembuh." Ujar Dio menyemangati.
     "Tapi ini sudah setahun, Ayah...." Ungkapnya putus asa.
     Ya. Memang betul, sudah setahun tepat hari ini.
     "Iya. Ayah tahu." Jawab Dio sekenanya.
     "Tuhan tidak sayang Clara lagi ya, Yah?" Tanyanya.
     Dio mengerti, Clara merasa sia-sia perjuangannya selama ini. Akan ada saatnya ia merasakan perasaan ini.
     "Clar, tidak boleh ngomong seperti itu. Tuhan sayang sama Clara." Ucap Dio menenangkan.
     "Kalau Tuhan sayang sama Clara, kenapa Clara dikasih sakit? Kenapa cuma Aku saja? Temen-temen yang lain Tidak." Tanya Clara.
     Dio kelabakan sendiri.
     "Karena Kau spesial, Clara. Tidak semua orang bisa sehebat Clara menghadapi ini. Tuhan yakin Kau bisa menghadapinya, karena Kau kuat... Anaknya Ayah." Ucap Dio sambil menitikkan air mata.
     "Maafkan Ayah ya, Nak" Ujar Dio dalam hati.
     "Ya sudah. Belikan Clara Burger dulu." Ucapnya
     "Iya Besok ya." Jawab Dio sekenanya.
     Iya, karena Clara belum boleh makan junk food. Jadi Dio selalu beralasan.


***


     Satu hal yang Dio sesali saat itu. Tidak mengajaknya makan burger seperti wishlist-nya.
     Karena hal ini lebih dulu terjadi...
     Hari itu Dio banyak sekali pekerjaan di kantor. Sehingga ia tidak sempat mengecek ponselnya.
     Namun ternyata ada banyak panggilan tak terjawab dari Clara.
     Tentu saja Dio khawatir.
     Ia menghubungi kembali Clara, namun yang dikatakan Clara adalah begini...
     "A-ayah, Ayah ce-pat kembali-i. Clara sudah tidak ku-at menahannya. Clara lelah..." Ujarnya di seberang telepon dengan nafas yang tersendat-sendat.
     Clara sempat dirawat di rumah selama kurang lebih 3 minggu. Sampai akhirnya Dio memutuskan untuk membawa Clara kembali lagi ke rumah sakit karena kondisi Clara yang tidak stabil.
     Di kamar yang sama, seperti memulai mimpi buruk Dio dari awal lagi.
     Kondisi Clara bisa dibilang sangat tidak stabil. Siang hari ia bisa berceloteh, tampak sehat-sehat saja. Lalu kesakitan malam harinya.
     Ia juga kerap demam untuk jangka waktu yang lebih panjang dari biasanya.
     Tidak ada yang bisa Dio lakukan selain berdoa. Berdoa adalah hal yang paling membuat Dio merasa lemah karena sadar ia tidak bisa membantu apapun selain berdoa.
     Tanpa disadari, Clara sudah dirawat di rumah sakit selama beberapa minggu. Sekolah sudah masuk hari pembagian rapot. Jujur saja, Dio tidak ingin membahasnya. Takut menjadi beban pikiran bagi Clara.
     Tapi teman-temannya malah memutuskan untuk mengunjungi Clara. Memberikan semangat untuk kesembuhannya.
     Kamar rawat Clara menjadi penuh canda tawa saat itu. Clara tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya, ia sangat terlihat senang hari itu. Ia diberikan piagam penghargaan oleh teman-temannya karena telah bertahan melawan sakitnya selama ini.
     Iya. Mereka sebenarnya sudah tau tentang penyakitnya selama ini.
     Teman-teman Clara membuat kamar rawatnya menjadi lebih berwarna, mereka juga membawakan hadiah-hadiah lucu untuk Clara. Menurut Dio, ucapan dari mereka sangat berharga untuk Clara. Seharian penuh senyuman itu tak luput dari bibirnya.
     Clara tersenyum bahagia malam itu, sambil memeluk ia mengatakan terima kasih kepada Dio berkali-kali.
     "Clara sangat bahagia memiliki Ayah seperti Ayah. Terima kasih, Ayah. Clara sangat menyayangi Ayah." Ucapnya sambil tersenyum lebar.
     "Ayah juga sayang Clara." Balasnya dengan memberikan senyuman yang selalu menawan.
     Dio tidak sadar, ia telah menitikkan air matanya. Ia terharu.
     Sulit dikatakan bahwa setiap ada hujan pasti ada pelangi. Namun setiap ada pelangi... Mereka juga akan pudar seiringan waktu.
     Ya. Seperti saat ini.
     Dio mengirimkan pesan chat pada Jefan, kurang lebih seperti ini.
     "Jef. Tolong datang ke rumah sakit. Clara kembali tak sadarkan diri. Dokter mengatakan bahwa kemungkinan dia meninggalkan kita saat koma ini lebih besar. Aku takut."
     Ya. Dio sangat takut. Sampai-sampai Dunia terasa runtuh tepat di pundaknya saat itu juga.
     Hari itu datang, hari dimana Clara dinyatakan koma.
     Tidak ada lagi senyum yang menghangatkan perasaan Dio. Clara tidur sangat dalam hingga entah kapan ia akan kembali.
     Clara membuat Dio takut setengah mati.
     Keadaannya tidak pernah stabil. Dio sudah berangkat kerja lagi. Setiap hari ia mencoba untuk mendengarkan perkembangan demi perkembangan terkait Clara.
     Tapi nihil, tidak ada perkembangan berarti yang Dio dapatkan dari hari ke hari.
     Hal yang membuat dadanya sakit adalah mengetahui kenyataan bahwa malam dimana Clara kedatangan temannya adalah malam terakhirnya bisa bercanda dan tertawa sebelum ia koma seperti ini.
     Rasa takut mengerubunginya.
     Akankah Dio mendengar kembali ucapan "Clara sayang Ayah." dari mulut Clara?


***


     "Bagaimana keadaan Clara?" Tanya Jefan menghampiri Dio.
     "Masih tidur, Jef. Sepertinya dia kelelahan karena semalam bermain dengan teman-temannya." Ujar Dio.
     Jefan miris mendengarnya. Jelas saja ini sudah lewat 3 bulan Clara koma.
     "Dio. Ini sudah 3 bulan." Ucap Jefan mengingatkan.
     Dio melotot marah.
     "Terus maksudmu Aku harus gimana? Kalau Kau masih mau memberikan saran yang sama seperti sebelumnya kepadaku, Aku tidak bisa Jef. Tidak akan ada Ayah yang rela melepas kepergian anaknya. Aku akan menunggu Clara. 10 tahun dia koma pun Aku akan menunggunya." Ucap Dio bersikeras.
     "Kau tidak boleh egois Dio! Kau tidak kasihan padanya?" Tanya Jefan menusuk.
     "Kau tidak kasihan melihatku?" Tanya Dio balik.
     "Bolehkah Aku bicara dengan Dokter Al sebentar?" Tanya Jefan akhirnya. Ia tidak mau sama-sama keras kepala.
     "Silahkan. Tapi kalaupun Dokter Al menyuruh hal yang sama seperti yang kau bilang tadi, Aku tidak akan mau. 100 tahun juga akan Aku tunggu untuk kesehatan Clara." Ucap Dio final.
     Ia keras kepala.
     Dio dengan egonya.
     Dio benar-benar terlihat seperti ayah yang egois setelah mengucapkan kata-kata itu.
     Jefan kembali menghampirinya.
     "Dio. Kondisi Clara menurun setiap harinya. Bisa di bilang tidak ada perkembangan sama sekali. Dan Kau masih bilang kalau dia tidak merasakan sakit? Kupingku yang mendengar sendiri dari penjelasan Dokter Al. Kau tidak bisa seperti ini terus. Alat-alat itu yang membantu Clara, Dio. Alat itu yang membantu dia bertahan. Tapi itu juga alat yang menyakitinya secara perlahan." Ucap Jefan secara terang-terangan sembari menunjuk alat yang menempel pada tubuh Clara.
     "Jef. Kau mau Clara meninggal ya? Jujur saja padaku." Ucap Dio menyalahkan.
     "Astagfirullah Dio. Kau kalau bicara yang benar saja. Aku juga sayang sama Clara. Bahkan dengan memikirkan ini, Aku merasa kalau Aku lebih sayang Clara ketimbang dirimu. Sekarang Kau pikirkan ucapanku baik-baik. Kau tidak mau melepas Clara dengan alasan apa? Kau tidak mau merasakan sakit karena kehilangan orang yang Kau sayangi lagi, Dio. Kau tidak mau terpuruk lagi, Kau tidak mau sedih lagi. Kau mau perasaanmu terus bahagia karena bersama Clara. Yang Kau pikirkan itu dirimu sendiri, perasaanmu sendiri. Pernah Kau berfikir bagaimana sakitnya Clara merasakan semua ini? Clara tidak mau kehilanganmu. Dia juga tidak pernah mau meninggalkanmu. Tapi setiap hari dia sakit, Dio. Puluhan jenis obat masuk ke dalam tubuhnya. Kau menyiksanya, Dio. Dia menderita. Kalaupun dia bangun nanti, belum tentu dia kembali seperti dulu. Kau sudah mendengarnya sendiri dari Dokter Al kan? Jangan tutup mata dan kupingmu. Biarkan Bundanya yang menjaganya kali ini ya, Dio? Ucap Jefan panjang lebar.
     Dio merasa egois. Ia hanya memikirkan kebahagiannya sendiri.
     Tiba-tiba Amara menghampiri dirinya yang sedang duduk termenung didepan pintu kamar rawat Clara.
     Ia mengatakan bahwa Clara telah membuatkan Dio hadiah juga. Sebelumnya Clara memang memberikan hadiah pada semua orang yang masuk dalam list-nya. Bahkan Abel yang namanya sudah tercoret pun mendapatkan hadiah dari Clara. Tapi tidak dengan Dio.
     Ia sempat bingung. Tapi hari ini Amara bilang kalau Clara sudah menyiapkan hadiah untuk Dio di iPad-nya.
     Isinya adalah sebuah notes yang mungkin maksudnya adalah surat namun berbentuk digital, dan sebuah dasi berwarna navy. Ya, warna kesukaan Dio.
     Kurang lebih isi suratnya begini,
     
Untuk Ayahku yang tampan, dari anakmu yang paling cantik.
     Hai, Ayah!!!
     Ayah, Clara itu sangat suka memanggil Ayah. Kenapa? Karena Ayah seperti superhero yang selalu menolong banyak orang. Sama seperti Ayah yang selalu menjagaku.
     Ayah...
     Ayah jangan nangis ya? Clara tidak suka, soalnya tidak cocok dengan Ayah. Badan Ayah kan besar, masa kalah sama Amara. Maafkan Clara, Yah. Tahun ini Clara tidak bisa membawakan piala juara kelas untukmu. Tapi, Clara punya piala buat Ayah. Piala juara 1 Ayah terbaik untuk Clara.
     Terima kasih. Terima kasih karena Ayah sudah mau menjadi Ayahku. Ayah pasti lelah ya jagain Clara terus? Lelah karena harus menjagaku dan juga harus bekerja untukku? Ayah banyak istirahat ya nanti. Jangan sampai sakit kaya Clara gini. Tidak enak, Yah. Sakit, capek. Tapi kalau mikirin Ayah, jadi hilang lelahnya. Jadi semangat lagi, karena Clara mau sembuh untuk Ayah. Ayah, kalau Clara harus pergi meninggalkan Ayah, Ayah jangan sedih ya? Dulu waktu Bunda pergi, Ayah bilang kita semua pasti akan bertemu lagi kan? Jadi, Ayah jangan sedih ya?
     Senyum Ayah bagus, Clara suka.
     Sudah dulu ya Ayah. Clara capek, mau tidur dulu.
     Dadah Ayah! Sampai jumpa lagi!
     Clara sayang sama Ayah Dio!!<3

Dari anak Ayah yang paling cantik,


Clara Putri Adelin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun