Mohon tunggu...
Diva Asfira Demokraty
Diva Asfira Demokraty Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Swim n sleep

You can change your mind and you can change your world

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Berpulang

28 Februari 2022   17:18 Diperbarui: 28 Februari 2022   23:58 666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar : Pict from Google. 

5 tahun yang lalu... 
     Dio, lelaki berumur 33 tahun itu pernah tersesat di suatu perjalanan pulang.
     Malam itu adalah kelabu yang menemani jedanya untuk berhenti berlari tak tentu arah. Angin berisik berantakan, mengacaukan seluruh pikirannya yang sedang bertentangan dan bergemeletuk bingung akan kepasrahannya yang sudah menemui ujung akhir.
     Ia merasa bahwa pulang ke rumah adalah suatu tindakan yang sia-sia. Ia juga tidak menemukan apa yang dicari untuk menyambut tibanya pada suatu langkah untuk menetap. Rumah kosong miliknya tak lagi berpenghuni. Karena sekarang, Dio hanya punya diri sendiri untuk menyewa hidup di bumi yang sepi baginya ini.
     "Perlu berapa lama lagi untuk memanjangkan waktu atau periode yang aku butuhkan untuk menyewa kehidupan di bumi ini?" Pasrahnya.
     Itu pertanyaannya di ujung kelelahan, memang semestinya tak perlu di jawab dan tak ada yang tahu apa jawabannya. Namun itu suatu bentuk kepasrahan yang beberapa orang rasakan ketika ia sedang kehilangan orang yang mereka sayangi.
     Manakala netra berisi sedih itu hanya menatap bias pada langit yang berkabung duka, juga angin yang membuat tubuh kurusnya kedinginan dan menggigil.
     Bagaimana tidak sedih, ia ditinggal oleh sang istri tercinta. Belahan jiwanya. Siapapun yang kehilangan orang yang tersayang, pasti akan merasakan hal yang sama seperti Dio.
     tapi tunggu, sepertinya ia melupakan sesuatu akibat terlalu mendalami kesedihan ini.
     Kalau hujan tidak turun bersama kedatangan anak kecil kira-kira berumur 5 tahun yang manis dan cantik itu, mungkin raganya akan ikut terlelap kaku di samping gundukan tanah yang menyembunyikan sang istri. Dengan tangan kosong, dengan kematian yang lebih cepat dijemputnya, dengan segala hal yang dilakukan tidak semestinya dan mendahului takdir tertulis.
     Bisa di tebak siapakah anak kecil itu? ya, dialah Clara Putri Adelin. Malaikat kecil pelengkap keluarga Dio setelah dirinya dan mendiang sang istri. Dio hampir saja melupakan bahwa ia masih memiliki alasan untuk hidup. Ia masih punya tanggung jawab, ia tidak boleh begini.
     "Ayah... Ayah kenapa hujan-hujanan? Rara membawakan payung untuk ayah. Ayah jangan menangis, Bunda pasti sudah bahagia kan di surga sana? Rara tidak ingin Bunda sedih, jadi Rara menahan air mata Rara supaya tidak menangis," Ucap Clara kecil dengan nada polosnya.
     Siapapun yang mendengar kalimat itu pasti akan sedih bercampur dengan rasa terharu yang membuat hati siapapun merasa hangat.
     Ya, itulah awal kisah dimana Dio menjadi ayah sekaligus ibu bagi Clara, putri kesayangannya.
     Ya. Dio harus bertahan untuk Malaikat kecilnya.

     Saat itu Dio kehilangan makna pulang.

 
***


     Pagi itu, Dio sedang mengingat kilas balik bagaimana kejadian yang sangat menyayat hatinya 5 tahun yang lalu diputar kembali dengan secara perlahan di dalam pikirannya. Ia tidak merasa sedih, tidak juga merasakan senang. Ia melakukan itu sambil menyeruput secangkir kopi yang telah ia buat. namun tiba-tiba lamunannya terbuyar, karena putri semata wayangnya memanggilnya.
     "Ayah, ayo antarkan Clara berangkat ke sekolah. Nanti Clara telat bagaimana? Clara tidak mau bolos Ayah, Clara ingin menjadi dokter seperti apa kata Bunda." Ucap Clara, gadis kecil berusia sekitar 10 tahunan itu.
     Dio tersenyum, ia sangat bangga memiliki putri kecil yang ternyata sangat mirip ibunya itu. Clara seperti kloningan Rania, mendiang istrinya.
     "Iya Sayang, sebentar yaa. Ayah ambilkan kunci mobil dulu. Ayah kan mau pergi ke kantor juga," Jawabnya sambil mengusap-usap kepala anaknya itu.
     Namun, sang empu yang diperlakukan seperti itu malah mencebik kesal karena rambutnya kembali berantakan. Bukannya kesal, itu malah memberikan kesan lucu pada dirinya.
     Ketika sampai di sekolah, seperti biasanya Clara pamit pada ayah kesayangannya itu.
     "Clara, ingat ya jangan makan seb--" Ucapan Dio terpotong karena Clara sudah hafal diluar kepalanya.
     "Iya. Jangan makan seblak, jangan makan gorengan, jangan minum yang dingin-dingin. Clara sudah bawa bekal ayah, mana mungkin Clara jajan lagi, ayah mau punya anak gendut memang?" Ungkap Clara dengan nada kesal karena ayahnya itu sudah berkali-kali mengatakan hal yang sama.
     "Hahaha, rupanya Kau sudah hafal. Baiklah, belajar yang benar ya, Nak. Supaya kelak mimpimu terwujud." Jawab Dio tertawa sambil mengusap pelan pipi Clara dan memperlihatkan senyuman manisnya yang tidak pernah luntur.
     "Iya Ayah, Clara janji. Sampai jumpa, Ayah! Hati-hati di jalan, Ayah juga semangat ya kerjanya," Ucap Clara pada Dio sambil menampilkan deretan giginya yang rapi.
     Akhirnya Clara masuk ke gerbang sekolah, Dio tak mengalihkan pandangannya sedikitpun dari Clara sampai Clara hilang dari pandangannya. Ia tidak menyangka bahwa dirinya sudah membesarkan gadis kecilnya itu.
     Dio ingat malam pertama Clara menangis di ruang bersalin, ia menyematkan nama 'Clara Putri Adelin' sambil mengecup dahinya dengan bercucuran air mata dan tak henti-hentinya mengucap syukur karena telah diberikan putri secantik Clara.
     Benar-benar nampak seperti malaikat kecil bagi Dio. Ya walaupun Clara kadangkala suka membuat tensinya naik.
     Dio memberikan nama kepada Clara bukan tanpa alasan, namun ada makna yang ia sematkan sebagai doanya kepada sang pencipta untuk Clara. Adapun arti dari namanya adalah perempuan yang ceria dan berbudi tinggi. Ia berharap putrinya akan selalu seperti itu. Namun, yang ia sesali adalah ia tidak menyematkan nama mendiang sang istri di nama Clara, sehingga Rania pergi meninggalkannya. Entah itu berkaitan atau tidak tapi kadang-kadang selalu mengganggu pikiran Dio ketika sedang dilanda banyak pikiran.
     Nama adalah doa, betul? Dio ingin Clara selalu ceria yang paling utamanya. Namun, tidak ada yang tahu. Takdir berkata lain, bagian ini lah yang akan menceritakan bagaimana keceriaan yang dimiliki putrinya itu perlahan mulai direnggut cahayanya.


***


     Drrrtt... drrrtt...
     Ponsel Dio bergetar menandakan ada panggilan masuk, rupanya dari Clara.
     "Halo Ayah. Hari ini Clara mau main ke rumah Kala, boleh yaa? Boleh ya Ayah? Boleh Boleh Boleh, iya kan?" Belum juga Dio membalas sapa, Clara sudah mencecarnya dengan begitu banyak pertanyaan.
     "Halo, anak Ayah. Hmmm boleh tidak yaaa?" Dio sengaja menggoda putri cantiknya.
     "Boleh dong Ayah. Clara janji akan mengerjakan PR juga bersama kala, bagaimana?" Rupanya anaknya ini pintar bernegosiasi juga ya, tidak salah lagi.
     "Oke, boleh. Nanti pulangnya Ayah yang jemput ya? Jangan nakal, Clara. Harus jadi anak baik." Jawab Dio dengan mengiyakan permintaan putrinya itu.
     "Yeaaayyy.... Baiklah Ayah, terima kasih. Clara janji tidak akan nakal. Sampai jumpa, Ayah!" Tutup Clara dengan sorakan bahagia.
     Begitulah percakapan Clara yang meminta izin Dio untuk bermain dirumah temannya.
     Namun pada malam hari, sehabis pulang dari rumah Kala tadi sore, tiba-tiba Clara demam tinggi. Dio bingung dan menerka-nerka penyebab anaknya ini demam. Namun ia berfikir bahwa Clara hanya masuk angin yang besoknya langsung sembuh. Jadi ia hanya memberikan obat penurun demam yang biasa Clara minum.
     Esok harinya, sebenarnya Dio tidak ingin meninggalkan Clara di rumah sendirian. Namun ada pekerjaan yang tak bisa Dio tinggal, sehingga mengharuskan presensi dirinya dalam rapat yang di adakan oleh perusahaannya.
     "Pagi Clara, Ayah ke kantor dulu ya. Ada rapat, sebentar saja. Nanti Kau jangan lupa sarapan ya, sudah Ayah siapkan di meja makan lengkap dengan obat yang harus Kau minum hari ini," Sapa Dio pada Clara yang baru bangun tidur, sepertinya ia merasa terusik akibat gorden kamarnya yang baru saja Dio buka.
     "Eungg, pagi Ayah. Ayaaahh, Clara hari ini ada kerja kelompok sama Amara." Jawab Clara dengan mengangkat kedua tangannya ke atas untuk mengurangi rasa pegal.
     "Dimana?" Jawab Dio.
     "Di taman kota. Soalnya mau bikin video gitu, Clara dengan Amara memakai latar Taman Kota karena disana indah." Jawab Clara dengan sedikit menerawang bagaimana indah dan sejuknya taman kota.
     "Kau yakin mau kerja kelompok padahal jelas-jelas Kau sedang demam? Izin saja apa tidak bisa, Clar?" Jawab Dio dengan tegas, menandakan ia khawatir akan kondisi Clara yang memang kurang fit.
     "Tidak bisa ayah. Clara kuat, lagipula demam Clara sudah turun kan? Ayah sendiri yang mengeceknya pagi buta. Kumohon, boleh ya Ayah?" Jawab Clara dengan nada memohon.
     "Ya sudah, hati-hati ya. Kalau sudah selesai kerja kelompoknya, jangan lupa kabari ayah," Final Dio. Ia tahu, ia tidak akan pernah bisa menolak permintaan putrinya itu.
     "Siap Pak Komandan, laksanakan!" Jawab Clara dengan nada semangat sambil gaya hormat ala-ala tentara pada komandannya.


***


     Dio pun menyelesaikan tugasnya sebagai atasan, CEO di perusahaan miliknya itu. Namun tiba-tiba, ponsel Dio bergetar. Ini panggilan. Dari Jefan, teman lamanya sekaligus ayah dari Amara.
     Drrrtt.... drrrtt....
     Dio mengangkat satu alisnya, karena merasa heran. Tumben sekali Jefan temannya itu tiba-tiba menelpon pada saat jam kantor. Makin anehnya lagi banyak sekali missed call dari jefan. Karena penasaran, akhirnya Dio mengangkat telfon dari Jefan.
     "Halo, Jef. Ada apa? Tiba-tiba sekali?" Tanya Dio dengan memulai pembicaraan.
     "Dio, Kau dari mana saja? ini Aku dan Amara di Rumah Sakit Borromeus. Clara tadi pingsan di taman. Kenapa Kau tidak memberitahuku jika Clara sedang sakit hari ini? atau kasih tau Amara gitu? Tadi pada saat Ku jemput, mukanya sangat pucat." Cecar Jefan pada Dio karena merasa kesal Dio tidak memberitahu Jefan apapun soal kondisi Clara yang memang sedang tidak fit.
     Degggg...
     Dio jelas terkejut menerima kabar bahwa anaknya bisa sampai pingsan dan dilarikan ke rumah sakit.
     "Ya Tuhan, oke tunggu. Aku berangkat sekarang. Kabari Aku kalau ada apa-apa dengan Clara. Tadi pagi jelas-jelas Aku sudah melarang dia untuk pergi kerja kelompok, namun anaknya memang memaksa untuk tetap pergi dan mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja," Jawab Dio dengan tergesa-gesa.
     "Ya sudah. Hati-hati di jalan, jangan ngebut. Tadi dokter bilang dia hanya kelelahan, kurang istirahat. Tapi tadi dia baru di ambil darah." Jelas Jefan pada Dio.
     Dio mengendarai mobilnya seakan-akan tidak ada waktu lagi untuk bisa sampai tujuan. Jantungnya terasa berdegup 3 kali lebih cepat. Clara biasanya tidak sampai segininya apabila sedang sakit, Dio sangat khawatir. Karena sepengetahuan Dio, Clara adalah anak yang sangat kuat. Sekalinya tumbang itu adalah pada saat ia terkena DBD 2 tahun yang lalu.
     Sepertinya, rutinitas Clara memang lebih padat dari sebelumnya hingga bisa membuat Clara drop seperti ini. Dio merasa kali ini Clara sedang tertekan, namun ia tidak tahu hal apakah yang mengganggu Clara karena Clara tidak pernah cerita mengenai kegelisahannya.
     Saat sudah sampai sana, sepertinya Clara memang kelelahan saja karena aktifitasnya yang padat. Begitu kata dokter. Clara di anjurkan untuk menginap selama semalam di rumah sakit, untuk melihat perkembangannya. Apabila pada saat diperiksa nanti tidak ada hal yang serius, Clara besok di perbolehkan untuk pulang ke rumah.
     Dio melihat dari jendela ruang inap Clara bagaimana Clara tidur dengan begitu pulasnya. Ia merasa kasihan pada Clara karena mungkin saja ia terpikirkan kurang kasih sayang seorang ibu.
     "Maafkan Ayah ya, Clara. Ayah belum bisa menjadi Ayah yang baik bagimu. Tapi Ayah janji, apapun yang Kau mau, Ayah pasti akan kabulkan," Monolognya dengan suara yang lirih.
     Ah, sudahlah. memikirkannya saja mampu membuat kepala Dio pusing dan hati sesak. Dio hanya berharap kebahagian dan keceriaan Clara selalu tumbuh pada diri anaknya itu, seperti arti namanya.


***


     Pada keesokan harinya, Clara sudah diperbolehkan untuk pulang karena dokter bilang jika Clara sudah baik-baik saja. Ia sudah bisa beraktifitas kembali seperti sebelumnya.
     Dio bernafas lega mendengar kabar baik itu. Namun tiba-tiba ia mendapat kabar mendadak yang menyatakan bahwa nanti siang ia harus pergi ke luar kota untuk urusan pekerjaannya. Ia merasa sedih karena lagi-lagi tidak bisa menemani Clara untuk istirahat.
     "Clara, Ayah minta maaf. Lagi-lagi ayah tidak bisa menemanimu. Nanti siang Ayah antarkan Kau ke rumahnya Amara ya? Ayah harus pergi ke luar kota. Ayah sudah bilang sama Jefan," Jelas Dio dengan nada sedih.
     "Oh iya. Tidak apa-apa, Ayah. Clara juga kan sudah sembuh. Ayah pergi juga buat kerja kan? Masa mau Clara halang-halangi. Clara senang juga tinggal di rumah Amara. Masakan mamanya Amara enak, terus mama dan ayahnya Amara juga baik sekali padaku. Ayah tidak usah khawatir," Jawab Clara menenangkan supaya ayahnya tidak merasa bersalah.
     "Kau anak yang baik, Nak. Ayah sangat bangga padamu," Jawab Dio pada Clara sambil tersenyum dan mengusap pelan-pelan kepala Clara.
     Sang empu yang diperlakukan seperti itupun tersenyum dan merasa nyaman.
     Setelah mengantarkan Clara ke rumah Amara, Dio langsung tancap gas menuju tempat dimana ia akan mengurusi urusan pekerjaannya.
     Dio hari ini memang sangat sibuk bahkan hingga malam hari tiba, namun tiba-tiba..
     Drrrtt.... drrrtt....
     Ada pesan masuk dari Rumah Sakit Borromeus.
     Tunggu... Siapa yang sakit? bukankah sudah jelas Clara tadi pagi sudah pulang, mengapa ini ada pesan dari Rumah Sakit Borromeus? Baiklah daripada Ia bergelut dalam pikirannya, lebih baik ia membuka pesannya.
     Rupanya isinya adalah hasil lab Clara tentang tes darahnya yang dilakukan tempo lalu.
     "Hmm, hasil lab Clara rupanya. Baiklah." Gumam Dio pada dirinya sendiri.
     Namun 2 menit kemudian, ponselnya kembali bergetar menampilkan profile Rumah Sakit Borromeus. Dio sedikit heran tapi ia tetap mengangkatnya.
     "Halo. Selamat malam Bapak Dio Adelin. Saya Brita, salah satu staf di Rumah Sakit Borromeus. Saya hanya ingin memastikan apakah hasil laboratorium untuk anak bapak atas nama Clara Putri Adelin sudah diterima?" Tanya wanita bernama Brita di ujung sana.
     "Halo, sudah Mbak. Baru saja saya terima," Jawab Dio seadanya.
     "Baik. Jika sudah bapak terima filenya, dan apabila bapak berkenan, Saya akan merekomendasikan spesialis Onkologi dan juga dokter spesialis Anak yang ada di rumah sakit kami," Lanjut Staf Rumah Sakit itu.
     Tunggu, Dio merasa semakin heran. Untuk apa ia ditawari spesialis-spesialis itu?
     "Sebentar, spesialis Onkologi? Bukannya itu spesialis yang menangani pasien yang mengidap kanker ya? Maaf, anak Saya sakit apa ya? Bukannya kemarin dokter bilang jika anak Saya hanya kelelahan karena aktifitas yang berat?" Dio bertanya pada staf itu secara bertubi-tubi, seakan tidak ada hari esok lagi untuk bertanya. Jujur saja ia terkejut tiba-tiba di telepon dan disuguhi kabar seperti ini.
     "Menurut file yang telah dikirimkan tadi, dari hasil tes darah yang telah dikeluarkan terlihat bahwa ada bentuk sel darah yang tidak normal. Dugaan sementara setelah berdiskusi dengan dokter spesialis kami, anak Bapak di diagnosa mengidap Acute Lymphoblastic Leukemia (ALL). Untuk konsultasi dan pemeriksaan lebih lanjut, kami juga memiliki spesialis Hematologi. Tetapi kami sarankan untuk langsung bertemu dengan Spesialis Anak dan Spesialis Onkologi untuk melakukan tahap pemeriksaan lebih lanjut berupa Bone Marrow Puncture (BMP) atau pengambilan sampel sumsum tulang untuk melihat bagaimana perkembangan sel kanker pada tubuh anak Bapak." Jelas staf itu dengan panjang lebar.
     Degggg...
     Dio terdiam, ia masih berusaha mencerna kata-kata yang di sampaikan oleh staf yang sedang meneleponnya saat ini.
     "Halo, Pak? Apa bapak masih disana? Apa ada yang ingin ditanyakan lagi?" Tanya staf itu.
     "Ha-halo. Tidak, Saya rasa sudah cukup. Apabila ada sesuatu, nanti Saya akan datang ke Rumah Sakitnya langsung atau menghubungi Mbak kembali." Jawab Dio dengan sedikit terbata.
     "Baik. Jika tidak ada yang ingin ditanyakan lagi, panggilan ini akan saya akhiri ya. Terima kasih."
     Tutt... tutt... tutt...
     Bunyi sambungan telepon yang putus.
     Jika Dio harus jujur, jujur saja ia merasa seperti habis di sambar petir walaupun ia tidak tahu bagaimana rasanya. Berlebihan. Tapi memang itu yang terjadi. Tubuhnya terasa kaku, lututnya terasa lemas seakan-akan ia tidak memiliki kendali akan tubuhnya sendiri.
     Bagaimana bisa yang kemarin katanya hanya kelelahan sekarang malah di diagnosis mengidap penyakit ganas. Apa tidak salah sambung?
     Ia pun langsung bergegas menelepon Jefan untuk mengetahui keadaan Clara sekarang. Ia khawatir, sangat.
     "Halo, ada apa?" Tanya Jefan di ujung sana.
     "Halo, Jef. Clara mana?" Tanya Dio to the point.
     "Lagi main di atas sama Amara. Ada apa memang?" Tanya Jefan penasaran.
     "Aku pulang sebentar lagi, ini mau siap-siap dulu. Suruh Clara untuk bersiap-siap karena Aku akan menjemputnya." Jelas Dio
     Jefan mengernyit, ia bingung. Temannya itu kenapa.
     "Bukannya Kau baru pergi tadi ya? Besok kan masih bertemu client bukannya? Kenapa Dio? Ada apa?" Tanya Jefan bertubi-tubi.
     "Beritahu Clara saja untuk siap-siap. Besok kemungkinan Aku sampai sekitar pukul 10 malam," Jawab Dio yang sebetulnya tidak nyambung dengan pertanyaan Jefan karena saking paniknya.
     "Dio..." Panggil Jefan
     "Suruh Clara istirahat saja dulu untuk sekarang, ia hanya butuh itu saja, Jef." Jawab Dio.
     "Dio.." Panggil Jefan lagi dengan nada suara yang dinaikkan beberapa oktaf.
     "Kalo--" Perkataan Dio terputus karena di potong oleh Jefan.
     Jefan kesal, cukup.
     "DIO." Tegas Jefan.
     "ANAK. SAYA. SAKIT. CLARA SAKIT, JEF." Jawab Dio dengan suara lantang sambil menekankan tiap katanya. Membuktikan bahwa ia sangat tertekan sekaligus panik dalam situasi saat itu.
     "Sakit? Sakit apa? Dia terlihat sehat-sehat saja dari tadi main sama Amara? Dia memang agak demam. Tapi, normalnya flu memang gitu bukan? lagi pula dia juga tadi sudah minum obat. Don't worry, she's fine." Jelas Jefan dengan sedikit menenangkan Dio, agar Dio tidak menggebu-gebu seperti tadi.
     Jefan berpikir Dio hanya panik saja.
     "Right? She's fine, right? Mereka salah pasti," Adu Dio pada Jefan.
     "Mereka siapa? Dio gini, ini sudah malam. Dan kau menyetir sendiri, lewat jalan tol pula. Bahaya, apalagi dengan kondisimu yang sekarang jauh dari kata baik-baik saja. Kau sedang panik Dio. Jika Kau khawatir pada Clara, Kau bisa jemput dia besok. bukan sekarang. Aku bisa jamin kalau Clara akan baik-baik saja bersamaku malam ini, oke? Karena Aku yakin Clara akan lebih mengkhawatirkanmu jika dirimu menyetir malam-malam dengan waktu yang tidak sebentar." Jefan berusaha menenangkan Dio dengan kata-katanya.
     "Sekali lagi Aku titip Clara padamu ya, Jef. Akan Aku usahakan besok pagi setelah tandatangani kontrak kerja sama dengan perusahaan lain, Aku akan segera jemput Clara. Besok Clara tidak usah sekolah dulu. Kabarin juga kalau dia merasakan sesuatu entah itu demam, pusing, atau apapun itu ya Jef. Aku sangat khawatir. Aku akan berusaha menyelesaikan urusanku malam ini," Jawab Dio panjang lebar.
     "Oke, Dio. Tenang saja. Baiklah, sudah tenang bukan? Aku tutup yaa, akan kubiarkan dirimu merenung dan menyelesaikan urusanmu itu. sampai jumpa, Dio." Tutup Jefan.
     Menyangkal.
     Adalah sikap yang Dio lakukan semalaman itu. semalam suntuk sambil mengerjakan beberapa draft yang harusnya ia kerjakan esok hari sembari berkali-kali mengatakan bahwa,
     "Clara baik-baik saja."
     "Ia sehat dan akan selalu sehat."
     "Pasti data yang diberikan itu tertukar dengan Clara lainnya, bukan Clara Putri Adelin. Bukan Clara putriku."
     Ya. Menyangkal.


***


     Pada keesokan paginya, Clara menghubungi Dio. Ia mengungkapkan kekesalannya pada Dio yang memerintahkan Jefan agar dirinya tidak bersekolah hari ini.
     "Ayaaahh, Kenapa Clara tidak boleh masuk sekolah? Gara-gara Aku tidak sekolah, Amara juga jadi tidak ikut masuk sekolah tau. Huh, Ayah menyebalkan," Keluh Clara pada Dio, ada nada kesal di ujung sana.
     "Kau demam tidak? Atau ada yang sakit, apa gitu? Semacam sakit kepala?" Bukannya menjawab pertanyaan Clara, Dio malah mencecarnya dengan pertanyaan lain.
     "Tidak Ayah, Aku baik-baik saja. Aku sudah sembuh, Ayah tidak usah khawatir," Jawab Clara.
     "Baiklah kalau begitu. Kau harus banyak istirahat, Clara. Ini Ayah mau pulang, mau dibawakan apa?" Tanya Dio sebelum mengakhiri percakapan.
     "Aku mau Soto Naylaaaaa," Jawab Clara dengan semangat.
     Ya, Soto Nayla adalah makanan favorit Clara.
     Dari percakapannya dengan Clara di telepon tadi, Dio merasa bahwa Clara memang baik-baik saja. Tak ada yang berbeda darinya. Ia harus memastikan kembali ke rumah sakit sekarang sebelum pulang ke rumah.
     Ketika Dio sudah sampai di rumah sakit, ia langsung datang ke bagian resepsionis sesuai arahan sebelumnya.
     "Selamat pagi, Pak. Ada yang bisa Saya bantu?" Tanya resepsionis tersebut dengan ramah.
     "Selamat pagi, Mbak. Kemarin malam saya menerima hasil lab anak saya atas nama Clara Putri Adelin, lalu Saya di hubungi oleh salah satu staf di rumah sakit ini. Beliau mengatakan bahwa anak saya perlu konsultasi lebih lanjut dengan spesialis onkologi dan spesialis anak. Saya juga telah menerima diagnosa dari penyakit yang di alami anak Saya berdasarkan hasil tes darah tersebut. Mohon maaf sebelumnya, Saya ingin memastikannya kembali. Takutnya ada kesalahan informasi, jadi Saya merencanakan untuk tes ulang. Bisakah saya pagi ini mendaftarkan ulang anak saya untuk di tes ulang?" Jelas Dio panjang lebar pada resepsionis ber-name tag 'Olivia' tersebut.
     "Baik Pak, sebentar kami cek kembali ya Pak untuk hasil lab anak Bapak," Jawab resepsionis tersebut.
     Setelah menunggu sekitar beberapa menit, dan  resepsionis tadi telah menerima data, ia kembali pada hadapan Dio.
     "Mohon maaf, Pak. Tetapi hasil tes telah kami cek kembali agar tidak ada data ataupun informasi yang tertukar dengan pasien lain. Tingkat akurasinya pun tinggi, Pak. Kami tidak menemukan adanya kesalahan pada informasi yang telah kami berikan pada Bapak. Tetapi, apabila saya diperbolehkan menyarankan, Bapak bisa berkonsultasi langsung dengan dokter spesialis anak untuk membicarakan hasil laboratorium tempo lalu milik anak Bapak. Pendaftaran bisa dilakukan saat ini juga, apabila Bapak berkenan, Saya akan langsung daftarkan saat ini juga Pak. Dokter Al, spesialis anak. Jam praktek hari ini pada pukul 3 sore sampai dengan pukul 8 malam," Jelasnya panjang lebar.
     "Baik, Saya daftarkan anak Saya untuk sore ini ya," Akhirnya Dio ternyata harus membawa Clara kembali ke tempat seperti ini lagi, tempat dengan bau khas obat.


***


     Dio sudah menjemput Clara dari rumah Jefan. Kali ini ia bingung bagaimana caranya membujuk anaknya itu agar ia mau ke rumah sakit untuk di suntik ambil darah lagi menindaklanjuti pengobatannya. Ia harus memutar otak dan pintar bernegosiasi dengan anaknya yang takut dengan jarum suntik itu.
     Dio terus melirik ke bangku sebelah kemudinya, menunggu waktu yang pas untuk bicara dengan anaknya itu.
     "Clara..." Panggil Dio untuk mengawali percakapan
     "Hmmm..." Clara hanya menjawab begitu, menandakan ia sedang malas berbicara.
     "Aduh, Aku harus ngomong apalagi ya?" Monolog Dio dalam hati.
     Ah! tiba-tiba Dio teringat sesuatu.
     "Clar, mau ke Gramedia tidak? nanti Ayah belikan majalah dan komik kesukaanmu, dan Kau bisa memilih sebanyak yang Kau inginkan," Tawar Dio kepada Clara dengan menaik-turunkan alisnya.
     Clara tampak menimang perkataan Dio tadi.
     "Ayah, kalau Ayah mau bilang 'tapi Kau harus ranking 1 dulu di kelas' Clara sudah bilang ya, di kelasku ada Abel! Dia sangat pintar, anak itu sangat menyebalkan! Aku sepertinya tidak bisa mengalahkannya tahun ini," Sorot matanya nampak sedikit kesal, mungkin teringat kejadian di sekolahnya.
     "Hahahaha, bukan. Kalau Kau mau, Ayah bisa mengantarmu sekarang. Tapi pulangnya nanti, mau ya di ambil darah sekali lagi? Di suntik gitu--" Akhirnya Dio bisa menyampaikan ini padanya, namun dengan cepat Clara memotong pembicaraannya.
     "-TIDAK." Potong Clara cepat.
     Dio menghela nafas panjang.
     "Sekali saja, Nak. Nanti Ayah--" Ucapan Dio terhenti.
     Dio melihat cairan merah timbul perlahan dari hidung mungil Clara.
     Darah.
     Clara mimisan.
     Dio buru-buru mengambil tisu di dashboard mobilnya. Tapi anaknya ini sudah lebih dulu menyadarinya dan mengusapnya menggunakan punggung tangannya.
     Merasa seperti diberikan ide secara tiba-tiba, Clara memperlihatkan deretan giginya pada Dio.
     Dio mengernyitkan dahinya, heran. Anak ini kenapa?
     "Wah! Kebetulan sekali. Ayah kan butuh darah Clara, ambil saja darah ini," Tunjuknya pada darah mimisannya.
     Dio melotot heran, anaknya ini entah menganggap mimisannya enteng atau bagaimana. Tapi ia sangat santai menanggapinya. Dio takjub pada putrinya ini.
     "Kau jangan melihat ke atas. Tidak apa-apa kau menunduk saja, sini ayah tadangin," Perintahnya pada Clara.
     Ia hanya mengangguk patuh dan menuruti perintah Dio, menunduk.


***


     Setelah perdebatan tadi di mobil, Clara akhirnya mau di ambil darah di rumah sakit. Untung saja Dio punya 1001 macam bujukan untuk Clara agar anak itu mau menuruti permintaan ayahnya.
     Kini Dio dan Clara sedang menunggu di ruang antrian untuk menunggu giliran tes darah.
     "Ayah sudah tidak menyayangiku, ya?"
     "Ayah, padahal tadi darah yang keluar dari hidungku itu banyak. Mengapa tidak darah itu saja yang Kau gunakan untuk diberikan pada rumah sakit ini?"
     "Ayah, ayo pulang. Lama sekali, bisa beli ice cream di kantin dulu inimah."
     "Ayah, Clara takut jarum suntik. Ayah kan tahu. Emang darah Clara itu untuk apa sih?"
     Dan berbagai ocehan lainnya Clara keluarkan dari mulutnya yang tidak pernah merasa lelah karena keseringan bicara. Dio pun heran, Clara memang benar-benar kloningan ibunya.
     Dio hanya memperhatikan bagaimana Clara berbicara, tanpa berniat membalas perkataan anaknya itu. Ia menikmati situasi ini, takutnya nanti tidak bisa.
     Tanpa ia sadari, perasaan ini merupakan firasat yang sebenarnya akan berkaitan dengan peristiwa yang tidak pernah ia bayangkan.
     "Andai saja Rania masih ada. Sayang, lihatlah anak kita dia sangat pintar bicara, sama sepertimu." Gumam Dio dalam hati.
     Hingga akhirnya Clara mendapat gilirannya.
     "Ayaaaahhhhh.... Takut...." Rengek Clara pada Dio karena kini lengan atas Clara sudah siap untuk di suntik tinggal menunggu Clara rileks.
     Hilang sudah sosok yang tadi terus marah-marah dan mengoceh.
     "Jangan lihat suntiknya, lihat Ayah saja ya?" Ujar Dio sembari mengelus surai hitam milik Clara.
     Wajahnya nampak pucat. Mungkin karena efek ketakutan juga. Melihatnya, Dio jadi merasa tidak tega. Tapi ini juga untuk kebaikan Clara.
     "Adek Clara, kamu cantik banget ya ampun. Lebih bagus lagi kalau kamu juga berani. Pasti kamu perempuan yang berani bukan?" Tanya perawat yang akan menyuntik Clara.
     Clara hanya mengangguk.
     "Nah. Kalau kamu berani, kamu harus mau di suntik sama suster. Gak sakit kok, kaya di gigit semut aja. Kamu nanti cuma perlu tarik nafas panjang satu kali ya? Jangan di tahan. Okee?" Bujuk perawat itu kembali dengan nada yang ramah.
     Clara mengangguk dengan gugup.
     Tangan sebelah kanannya Dio genggam untuk mengurangi ketegangan di bagian situ.
     "Clara, kita nyanyi yuk?" Ajak Dio pada Clara untuk mengalihkan perhatiannya agar tidak fokus pada suntikannya.
     "Ayah, jangan bercanda. Ini Clara sedang memperjuangkan hidup dan mati." Hiperbolanya.
     Dio melipat bibirnya ke bagian dalam, dia menahan tawanya. Anaknya lebay sekali.
     "Justru biar tidak terasa sakit, Ayah mengajakmu untuk bernyanyi," Alibi Dio pada Clara.
  "Ayo nyanyi..."
  "Twinkle, twinkle, little star..." Dio memulai nyanyiannya agar Clara mengikutinya.
     "Twinkle, twinkle, little star. How I wonder what you are. Up above the world so high. Like a diamond in the sky. Twinkle, twinkle, little star. How I wonder what you are..." Clara mulai mengikuti nyanyian Dio.
     Dio memberikan kode pada perawat yang akan menyuntik Clara untuk segera melakukan proses pengambilan darah.
     "Twinkle, twinkle, little sta--R AYAHHHHHHHH..." Clara teriak akibat suntikannya sudah dimulai.
     "Ayaaaahh.... Susternya bohong sama Clara, katanya kaya digigit semut. Kalau rasanya seperti ini bukan semut, tapi kalajengking." Adunya pada Dio berharap mendapatkan pembelaan.
     Seisi lab dibuat tertawa oleh perkataannya.
     Dio hanya menghembuskan nafasnya pelan.


***


     Sore ini Dio akan menitipkan kembali Clara di rumah Jefan. Ia akan pergi ke rumah sakit untuk mengecek hasil lab-nya Clara serta berkonsultasi dengan spesialis anak. Ia juga akan mengajak Jefan untuk menemaninya.
     Tok-tok-tok
     Dio mengetuk pintu rumah Jefan.
     Sang pemilik rumah keluar menatap Dio heran, sambil menaikkan sebelah alisnya menyiratkan "Ada apa?"
     "Aku mau menitipkan Clara lagi di sini. Kau temani aku ke rumah sakit. Mau ya?" Ungkap Dio to the point.
     "Ngapain?" Tanya Jefan heran, sambil mempersilakan Dio masuk dengan Clara yang ada di gendongannya.
     Setelah Dio menidurkan Clara di atas kasur di kamar tamu rumah Jefan, Amara datang. Matanya tampak berbinar karena kedatangan Clara.
     "Wah ada Clara," Kata Amara.
     "Maaf ya Amara, hari ini kamu jadi tidak sekolah karena menemani Clara," Ucap Dio merasa bersalah.
     "Tidak usah minta maaf Om. Aku malah-- a-aduh Papa sakit jangan dicubit!" Keluh Amara kesakitan karena dicubit oleh Jefan.
     "Kau bandel. Sudah mengerjakan PR belum?" Tanya Jefan yang baru masuk ke kamar tamu membawakan 2 gelas minum dan beberapa toples kue kering.
     Dapat Dio lihat, Jefan menatap Dio bergantian dengan menatap lengan baju Clara yang terlipat sebelah. Menampakkan perban baru disana berwarna sedikit kemerahan, padahal sudah dua kali ganti perban. Tapi darahnya sulit berhenti.
     "Amara, bilang pada mamamu jika sudah beres pekerjaan di dapur, tolong bantu gantikan perban Clara ya." Perintah Jefan pada Amara.
     Amara mengangguk mendengar perintah Jefan.
     "Titip Clara ya, Amara." Ucap Dio pada gadis kecil itu. Amara hanya mengangguk sambil tersenyum.


***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun