Mohon tunggu...
Raditya Mahendra Putra
Raditya Mahendra Putra Mohon Tunggu... Mahasiswa - coret-coret media untuk berisik

Trah manungsa kang #beranibeda!

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Cacat Hukum KUHP dan Revisi UU ITE: Refleksi Kebebasan Berekspresi yang Dikorupsi

30 Mei 2024   18:04 Diperbarui: 30 Mei 2024   18:25 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Lagi-lagi kejanggalan terjadi terkait kebebasan individu atas hak untuk berekspresi yang dibatasi.  

UUD NRI 1945 sebagai ketentuan yuridus, termuat dalam Pasal 28, 28E, dan 28F, di mana mengatur adanya ketentuan bagi setiap individu mempunyai hak untuk menyatakan diri baik sifatnya secara lisan ataupun tertulis, serta berkomunikasi dan mencari, menerima, memiliki, menyimpan, mengolah dan kemudian mengrimkan informasi dengan menggunakan semua saluran yang tersedia.

Yang seharusnya ada dukungan untuk “sebebas-bebasnya berkespresi”, namun telah dirusak oleh undang-undang, dalam hal ini Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Baru yaitu UU Nomor 1 Tahun 2023
tentang KUHP dan Revisi UU ITE, pada khususnya yang termuat pada UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Secara substansi pada aturan tersebut masih ditemukan pasal-pasal karet yang bermasalah, yakni sebagai bentuk kediktatoran digital dengan melanggengkan kekuasaan elit yang #antikritik. Akibatnya, bagi setiap individu untuk bebas akan pemberian ekspresi melalui media online atau secara langsung terjadi pengkikisan. 

Menjadi bagian penekanan pada aspek krusial yang ada pada “KUHP baru dan revisi UU ITE” ini memuat semacam ancaman pada aktivitas kebebasan berekspresi yang mampu merusak marwah demokrasi yang sekarang ini banyak amanat yang menyebutkan demokrasi telah terjadi regresi (kemunduran).

“Kemunduran yang tidak malah diperbaiki, malah terus dikorupsi dengan pasal kontroversial agar tidak mau dimaki-maki”

Pengesahan UU KUHP dan Revisi UU ITE menjadi  genting terhadap situasi digital di Indonesia. Penulis menyebutnya, situasi yang mendekati kediktatoran itu terjadi. Misalnya, memerangi bentuk kegiatan penyerangan dan pencemaran nama baik, memberikan kriminalisasi atas penyebaran berita palsu bagi individu, menjatuhkan hukuman bagi kaum minoritas agama yang menjalankan penodaan agama itu sendiri, terlebih adanya peningkatan terhadap resiko korban yang mengalami re-viktimasi, serta  pemutusan akses kepada publik akan lebih memperpanjang ancaman bagi masyarakat untuk memperoleh informasi dan hak kebebasan berekspresi di Indonesia nantinya.

Beberapa ambiguitas yang ada dalam penjelasan pasal-pasal tersebut nampaknya juga memberikan musibah bagi kalangan minoritas gender atau hak-hak pada perempuan. Tentu, sangat memprihatinkan dan perlu tindak penegasan untuk memberikan keadilan pada perlindungan kebebasan berekspresi dan mereka para aktivitas yang berjuang untuk memerdekakan bentuk hukum yang berkonotasi merusaki demokrasi.

Bukti: klausul UU KUHP baru misalnya pada Pasal 218-220 yang didalamnya memuat adanya pelarangan untuk melakukan tindakan yang menghina presiden. Kemudian diperluas melalui  Pasal 240 dan 241 yang memasukkan penghinaan pada lembaga-lembaga negara. Sehingga, apapun bentuk penghinaan yang dilontarkan dianggap sebagai perbuatan-perbuatan pelanggaran pidana. Terlebih, Pasal 353-354 juga menegaskan adanya penjatuhan hukuman (berupa penjara) atas penghinaan yang ditargetkan kepada kekuasaan publik dan lembaga-lembaga negara.

Konkritnya, melalui mekanisme hukum seperti itu, dengan pasal-pasal karet kemudian dijadikan alat untuk membungkam kebebasan berekspresi publik berupa kritikan kepada pejabat publik yang ada dalam tatanan lembaga-lembaga negara tersebut. Pelaksanaan hak atas kebebasan berpendapat-pun akan terhambat disini. 

Terhambatnya kritik masyarakat yang diajukan kepada pemerintah atau pihak-pihak yang terlibat dengan otoritas atas kekurangan yang ada serta sistem atau peristiwa disebabkan oleh potensi distorsi kritik yang menyebabkan pelanggaran itu berada di bawah hukum pidana, sehingga menimbulkan kesulitan untuk terbukanya hak-hak berekspresi.

Dari sini tentu mengingatkan pada lèse-majesté, bahwa ketentuan yang dibentuk tujuannya untuk menjaga kehormatan seorang kepala negara dalam monarki.

Kasus Haris-Fatia dan Daniel Frits yang tidak lama terjadi, menjadi bukti dari sikap represi digital dan penyalahan hukum yang ada di Indonesia dewasa ini.  

Melalui UU KUHP baru dan UU ITE pastinya akan kerap disalahgunakan untuk memerangi banyak orang karena menggunakan hak kebebasan berekspresi. Ini menjadi pola baru yang menguntungkan para pejabat untuk menekan terjadinya kritik keras terhadap dirinya, agar bebas memainkan kekuasaan hanya melalui undang-undang yang pikirnya mudah untuk diekploitasi.

Pada hakikatnya, apa yang kita tahu bahwa hak kebebasan berekspresi dan berpendapat ialah hak yang dimiliki semua orang untuk mengemukakan pendapatnya dan juga untuk mendengar pendapat orang lain. Kebebasan ini tidaklah suatu hak yang hanya berdiri sendiri, melainkan suatu “1igure” dari hak-hak lainnya. Hak untuk melakukan demonstrasi, hak untuk menerima  informasi, dan bahkan hak untuk diam adalah hak-hak yang muncul sebagai turunan dari hak kebebasan berekspresi. 

Terakhir, sebagaimana yang menjadi amanat dari reformasi untuk terbentuknga check and  balances, maka sudah menjadi kewajiban bagi masyarakat untuk mengawasi jalannya pemerintahan, termasuk para pejabat publik sebagai aktor penggerak roda pemerintahan itu sendiri. 

Maka dari itu, sebagai bagian dari tuntutan reformasi pun tumbuh dan berkembang di negara yang berdemokrasi, seluruh elemen masyarakat yang ada menjadi keterharusan untuk selalu menjunjung tinggi kebebasan berekspresi dan berpendapat. Idealnya, negara demokrasi adalah negara yang dapat menerima dan/atau membolehkan kritik perlawanan dari masyarakat untuk terciptanya kondisi pemerintahan yang responsif, transparan, bertanggung jawab, efektif dan efisien, serta mengikuti aturan-aturan hukum yang diberlakukan sebagai amanah dalam menjalankan UUD NRI 1945, bahwa pada Pasal 1 ayat (3) menyatakan “Indonesia adalah negara Hukum”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun